Pada tanggal 20 Desember 2004, Majelis Umum PBB menyetujui resolusi yang menyatakan bahwa ada tujuh unsur utama dalam sistem demokrasi: hak asasi manusia, partai dan organisasi politik, supremasi hukum, pemisahan kekuasaan, independensi peradilan, kebebasan pers, dan transparansi serta akuntabilitas publik (1).
Unsur terakhir sangat penting sejak pemilu Indonesia tahun 2019 lalu karena dibutuhkan akses informasi publik sehubungan hipotesis yang sangat mengkhawatirkan: sekitar 20 juta hingga 40 juta pemilih fiktif digunakan untuk memenangkan kandidat dan partai tertentu (2).
Bukti permulaan tentang adanya pemilih fiktif ini adalah, pada banyak wilayah pemilihan penting, jumlah pemilih terdaftar sama dengan jumlah penduduk (3). Artinya, di wilayah-wilayah ini tidak terdapat bayi atau anak kecil, karena semuanya adalah orang dewasa yang berhak memilih. Hal ini mustahil!
Oleh itu, untuk menerima atau menolak hipotesis ini, data berupa angka-angka dibutuhkan terkait tiga variabel: statistik penduduk, daftar pemilih tetap, dan hasil pemilu.
Di Indonesia, data-data ini tersedia di beberapa lembaga publik: Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Data-data juga tersedia di situs data.go.id yang dikelola Kantor Staf Presiden (KSP).
Jadi, sangat mencurigakan jika semua data ini berstatus ‘gelap’ atau secara bersamaan tidak tersedia secara daring di semua situs lembaga-lembaga di atas di semua tingkatan: kabupaten atau kota, provinsi, dan nasional; juga di situs data.go.id. (4)
Lebih mencurigakan lagi, metode pemverifikasian angka hasil pemilu akhirnya hanya bergantung kepada pernyataan KPU (5). Sistem informasi publik terkait hitungan perolehan suara (situng) dinyatakan tidak sah sebagai alat verifikasi (6). Pertanyaan yang lalu muncul, “Mengapa situng dibuat, dengan biaya mahal pula?”
Syukurnya, walaupun dengan semua kendala ini, hipotesis tentang keberadaan puluhan juta pemilih fiktif dapat dibuktikan atau ditolak dengan menggunakan statistik dan sains.
Bagaimana caranya? Melalui forensik pemilu yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip sains terbuka (7). Metode ini menggunakan ilmu statistik untuk menganalisis angka-angka hasil pemilu secara menyeluruh untuk menentukan apakah kecurangan pemilu telah terjadi, di mana, dan bagaimana.
Sains terbuka pula adalah sebuah gerakan yang mengedepankan keterbukaan dalam penelitian dan penerbitan, tidak hanya dari segi data, tapi juga niat (pra-registrasi), bahan (sumber), dan metode (kode pemrograman, standar pelaporan).
Kalau digabung, cara ini dapat dinamakan ‘forensik pemilu terbuka’. Cara ini istimewa karena satu-satunya unsur data yang dibutuhkan adalah angka-angka hasil pemilu. Kemudian, penelitian dan penerbitan terkait cara ini dapat direproduksi atau direplikasi secara publik.
Di sinilah kegelapan demokrasi Indonesia terletak. Analisis otoritatif tentang pemilu 2019 membutuhkan semua data angka-angka hasil pemilu yang secara manual dihitung KPU. Data ini, yang seharusnya dari awal tercermin di situng, hanya tercermin di akhir, ketika hasil pemilu telah diumumkan. Itupun tidak seratus persen! (8).
Untungnya, ada sumber data lain. Kawal Pemilu, sebuah inisiatif masyarakat sipil telah berhasil mengumpulkan data-data ini secara massal hingga ke tingkat TPS (9). Data ini tersedia kepada publik.
Di samping data terkait pemilu yang ‘gelap’ atau ‘digelapkan’, ada dua alasan lagi mengapa forensik pemilu terbuka perlu dilakukan terlepas dari hasil keputusan Mahkamah Konstitusi.
Pertama, penelitian atau laporan berbasis kuantitatif atau statistika (10) terkait pemilu 2019, seperti yang telah dilakukan para peneliti, media, lembaga pemikir, konsultan politik, harus mempertimbangkan hipotesis puluhan juta pemilih fiktif ini dalam analisis mereka.
Kedua, sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia adalah contoh penting bagi banyak negara lain (11). Potensi keberadaan begitu banyak pemilih fiktif di Indonesia sangat mengecewakan bagi orang-orang yang menganggap demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik dari yang terburuk.
Hipotesis puluhan juta pemilih fiktif sebenarnya telah dikemukakan sejak pemilu 2004 (12). Pada waktu itu, kekalahan petahana presiden, yang berpasangan dengan salah seorang pemimpin organisasi massa terbesar di Indonesia, serupa dengan pasangan calon presiden-wakil presiden 2019, sangat mengejutkan banyak orang.
Secara tertutup, di antara elite-elite Indonesia, seperti pendukung kandidat dan partai, atau para aktivis yang golput, keberadaan puluhan juta pemilih fiktif ini tidak diragukan lagi (13). Namun, tidak ada dari para elite ini yang menyadari bahwa forensik pemilu terbuka dapat membuktikan dugaan ini secara definitif.
Sekarang, rezim berkuasa telah berhasil memaksa atau merangkul institusi-institusi dan individu-individu di Indonesia, seperti LSM, pers, dan kampus (14). Bahkan media sosial global seperti Facebook or Whatsapp tidak imun, sebagaimana ditunjukkan dengan pemblokiran mereka pada hari-hari setelah pengumuman hasil pemilu (15).
Jadi, hanya orang-orang yang menguasai sains dan statistik dalam bentuk forensik pemilu terbuka yang dapat membuktikan atau menolak hipotesis pemilih fiktif ini secara definitif. Hanya setelah pembuktian ini, demokrasi Indonesia dapat diselamatkan dari mati dalam kegelapan!
Catatan Redaksi: Penulis tamu artikel ini tidak ingin disebutkan namanya. Referensi dan sumber untuk semua klaim disediakan di bawah ini.
Rujukan
(1) Resolution adopted by the General Assembly on 20 December 2004:
https://undocs.org/en/A/RES/59/201
(2) (a) National news:
Ahli Prabowo-Sandi Sebut Ada 27 Juta ‘Ghost Voters’ Dalam Pemilu 2019
(2) (b) International news:
Prabowo campaign alleges millions of dodgy voters on electoral role
(3) National news:
(a) (i) Kemendagri Ungkap Temuan DPT Melebihi Jumlah Penduduk di 12 Daerah
https://tirto.id/kemendagri-ungkap-temuan-dpt-melebihi-jumlah-penduduk-di-12-daerah-cZCN
(a) (ii)
Pemilih Ganda di DPT Pemilu 2019: Kemelut Kemendagri vs KPU
https://tirto.id/pemilih-ganda-di-dpt-pemilu-2019-kemelut-kemendagri-vs-kpu-cXhc
(4) (a) KPU:
(a) (i) Electoral roll:
https://infopemilu.kpu.go.id/pilkada2018/pemilih/dpt/1/nasional
last accessible display:
(a) (ii) https://infopemilu.kpu.go.id/pilkada2018/pemilih/dps/1/nasional
last accessible display:
(b) BPS, population statistics:
https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267
last accessible display:
https://web.archive.org/web/20171123162558/https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267
(c) Kemendagri, population data:
http://dukcapil.kemendagri.go.id/detail/data-kependudukan
last accessible display:
https://web.archive.org/web/20180913021620/http://dukcapil.kemendagri.go.id/detail/data-kependudukan
(d) data.go.id
(d) (i) Electoral roll:
last accessible display:
(d) (ii) Electoral roll:
last accessible display:
(e) Twitter claims regarding missing data:
(e) (i) https://twitter.com/IreneViena/status/1141606047930617856
(e) (ii) https://twitter.com/IreneViena/status/1140107442589712384
(e) (iii) https://twitter.com/IreneViena/status/1140442747536642049
(e) (iv) https://twitter.com/IreneViena/status/1140442762946457600
(5) Blog of Prof. Dr. ir. Marsudi Wahyu Kisworo, who has been involved in designing situng since 2004:
Situng KPU dan Robot Ikhlas
(6) National news:
KPU: Penetapan Berdasar Rekapitulasi Manual, Bukan Situng
(7) Surya Darma Hamonangan, Who really won the 2019 Indonesian elections? Decide with election forensics & open science:
(8) National news:
KPU: Dari Tahun ke Tahun, Situng Tak Pernah Seratus Persen
(9) Website of Kawal Pemilu:
(10) (a) Tom Pepinsky, Religion, ethnicity, and Indonesia’s 2019 presidential election:
Religion, ethnicity, and Indonesia’s 2019 presidential election
(b) Article summary reported by the author in The Brookings Institution website:
(11) Niruban Balachandran, Democratic Indonesia exemplifies truly Asia:
https://www.thejakartapost.com/academia/2019/06/04/democratic-indonesia-exemplifies-truly-asia.html
(12) Indonesian books:
(a) Nur Hidayat Sardini, Mengeluarkan Pemilu dari Lorong Gelap: Mengenang Husni Kamil Manik 1975-2016, page 532.
(b) Bimo Nugroho, M. Yamin Panca Setia, Jokowi People Power, page 107. Note: This book is mysteriously ‘missing’ in Google Books.
(13) (a) Yusril Ihza Mahendra, tweets summary
Kisruh DPT
https://chirpstory.com/li/163153 (link mati)
Arsip via Google Translate: Link
(b) Yudi Latif
Yudi Latif: Pilpres Harus Dibatalkan
https://nasional.inilah.com/read/detail/137983/yudi-latif-pilpres-harus-dibatalkan
(14) Thomas P. Power, Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Volume 54, 2018 – Issue 3
https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00074918.2018.1549918
(15) International news:
Indonesia blocking social media to ‘maintain democracy’
https://www.dw.com/en/indonesia-blocking-social-media-to-maintain-democracy/a-48858283