Manusia dalam bentuk apapun pasti menolak disebut sebagai ‘kacung’.
Tanpa tendeng aling-aling, ungkapannya itu menuai kecaman berujung hukuman pidana 3 tahun. Pernyataan Jerinx bahwa sekumpulan dokter-dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia sebagai kacung WHO, memantik keresahan publlik.
“Yakin 100 persen saya merasa yang saya lakukan itu benar, tidak bermaksud negatif atau buruk yang saya lakukan murni sebatas kritik, kritikan sebagai warga negara Indonesia,” tegas Jerinx disertai keyakinannya yang kuat.
Jikalau melihat ‘apa’ yang diutarakannya, yah seputar itu-itu saja. Berujung tudingan dan cemooh: bahwa Jerinx adalah kaum teori konspirasi. Namun bila melihat ‘kenapa’ ia senekad itu, maka mencari jawabannya ada di belakang sana.
Bagaimana ‘dapur’ mereka bekerja.
Mengintip dapur di Jenewa
Memahami bagaiman proses dibalik dapur WHO di Jenewa adalah pijakan awal menentukan seberapa ‘sehat’ sebenarnya. Pendanaan ibarat bensin, dimanapun roda organisasi bergerak adalah lumrah menerima pendanaan dari berbagai pos sektor.
Aturan main WHO menerima asupan dana dengan dua cara. Pertama, Assessed Contribution (Kontribusi yang Dinilai) dan kedua adalah Voluntary Contribution (Kontribusi Sukarela).
Assessed Contribution. Kategori dana yang disumbangkan oleh negara-negara anggota WHO. Berapa banyak bagian yang disumbangkan tergantung pada ekonomi dan populasi negara tersebut. Pendanaan inilah yang dianggap sebagai pendanaan inti WHO. Dana ini digunakan oleh organisasi untuk operasional-pengeluaran sehari-hari dan program penting mereka.
Pendanaan terbesar datang dari Amerika Serikat. Dengan menyumbang lebih dari $400 juta pada 2019. Disusul Inggris, Jerman, dan Jepang setelahnya.
Voluntary Contribution. Pendanaan sekunder yang diberikan cuma-cuma oleh negara-negara anggota, lembaga, yayasan sosial, hingga para korporasi dengan filantropis di dalamnya. Besaran jumlah dana sesuai keinginan para penyumbang. Dana dialokasikan untuk beberapa tugas khusus yang diproyeksikan WHO. Periode tahun 2017–18, sekitar 80 persen dana WHO berasal dari pos voluntary contribution.
Saat itu, Amerika Serikat dan Gates Foundation saat itu telah sepakat untuk merencanakan pendanaan sukarela sekitar 9% dari total seluruh anggaran WHO periode 2021–21.
Tahun berikutnya untuk periode 2018-2019, pemerintah AS memberikan 893 juta dolar. Angka yang berperan sebagai 20 persen dar total anggaran WHO. Pada waktu yang bersamaan Bill dan yayasannya menurunkan 531 juta dolar. Sekitar 12 persen dari total anggaran WHO.
Demi peperangan melawan pandemi virus Corona, bulan Februari 2020 Bill Gates berjanji mengalokasikan 100 juta dolar lagi. Dua bulan setelahnya, filantropis itu kembali menaikkan pendanaan sebesar 250 juta dolar pasca adanya perintah dari Trump untuk menyetop pendanaan AS terhadap WHO.
Bulan Maret 2020, datanglah pengajuan banding permintaan. WHO kembali mengajukan tambahan sebesar 675 juta dolar dan 1 miliar dolar lagi setelahnya.
Lalu, dalam voluntary contribution ada istilah ‘Kemitraan Swasta’, atau Private-public partnerships.
Kemitraan swasta inilah yang semakin memperuncing tudingan miring: bahwasanya banyak terjadi conflict of interest dalam WHO. Karena daftar para penyumbang private-public partnerships banyak terdapat nama-nama besar korporasi farmasi raksasa (big pharma), filantropis, dan organisasi internasional.
Kemitraan swasta memperbolehkan secara legal bagi WHO menerima donasi dari industri swasta, yayasan sosial dengan para filantropis dibaliknya, hingga organisasi internasional dan semacamnya.
Pertanyaannya adalah, industri swasta seperti apa yang diperbolehkan untuk menyumbangkan uang mereka secara ‘cuma-cuma’ kepada WHO?
BMGF yang tadinya berbicara penyakit seputar polio, malaria, dan TBC, mulai mengarah kepada program vaksinasi massal. Lewat GAVI yang statusnya Non-Government Organisation, pada bulan Juni 2020 Bill Gates kembali menggelontorkan dana tambahan sebesar 1,6 miliar dolar untuk 5 tahun kedepan. Dengan harapan, WHO mendukung kelanjutan layanan imunisasi rutin selama krisis COVID-19. Posisi GAVI berperan penting dalam upaya memerangi pandemi.
Penuturan dr. Astrid Stuckelberger sebagai whistleblower membuka bagaimana kedekatan WHO dengan GAVI tertuang lewat berbagai kebijakan ketika mereka masuk teritori Swiss tahun 2006.
Berstatus sebagai NGO (Non Government Organization), GAVI memiliki kontrak ekslusif yang kewenangannya justru melebihi Swiss sebagai tuan rumah. Gayung pun bersambut, Swiss menggaransi kebebasan absolut sesuai dalam perjanjian terhadap GAVI dan petingginya. Tidak bisa mengakses properti, menginvestigasi internal GAVI tanpa adanya persetujuan dari Board Of Director.
Dipersenjatai lagi dengan hak penuh imunitas dari tuntutan hukum; bilamana kedepan nanti akan terjadi sesuatu akibat tindak-tanduk mereka.
Sebuah perjanjian yang mencengangkan, bagaimana priviledge GAVI bahkan melebihi kekuasaan dari Swiss itu sendiri!
Pembelaan datang dari Diaz Herrera, selaku staf yang mengurusi hubungan eksternal antara WHO dengan para filantropi dan industri swasta. Keselarasan, kata kuncinya. Kenapa WHO mau membuka pintu sumbangan dari BMGF. Keselarasan yang sejalan dengan WHO dalam memprioritaskan kesehatan global. Sebuah alibi klasik yang dikemas begitu indah didengarnya.
Karena selain polio, yayasan Gates itu juga memiliki atensi penuh terhadap kesehatan ibu dan anak, malaria, penyakit tropis, hingga program vaksinasi global. Begitu tinggi kepedulian pria berkacamata itu.
Sejak prinsip kapitalisme adalah landasan prinsip para korporasi global, maka there’s no free lunch adalah slogan yang cukup masuk akal. Ketika berbicara take maka akan berimbas kepada sebuah give. Seperti kritikan Thomas Gebauer, Direktur pelaksana organisasi bantuan medis Medico Internasional.
“Kontribusi ini diperuntukkan untuk tujuan tertentu, memungkinkan para donor untuk secara langsung mempengaruhi pekerjaan WHO,”
“Dalam kurun waktu tiga dekade terakhir, biaya kebutuhan WHO naik drastis berkali lipat. Berdalih sebagai penanggung jawab kesehatan masyarakat global, anggaran WHO yang tadinya sebesar US$ 900 juta pada tahun 1998, membumbung tinggi hingga US$ 2.200 juta pada tahun 2017.”
Menyikapi peran Bill Gates sebagai The most powerful doctor, bila kita mencari sebagai kata kunci di Google. Ia menambahkan, “Bagian terbesar dari $25 miliar yang Gates dapat investasikan dalam program kesehatan di seluruh dunia dalam 10 tahun terakhir berasal dari pengembalian dari perusahaan terkenal di industri kimia, farmasi dan makanan yang praktik bisnisnya sering bertentangan dengan kesehatan global. upaya,” jelasnya lagi.
Penelusuran globalresearch menemukan bagaimana big pharma terkemuka dunia, seperti GlaxoSmithKline, Hoffmann–LaRoche, Sanofi Pasteur, Merck, Dohme Chibret dan Bayer AG, telah menyuntikkan dana dalam skala besar kepada WHO di tahun 2017.
Ambil contoh pada tahun 2015. Bagaimana laporan keuangan WHO tertulis resmi nama-nama penyumbang sektor privat, seperti: Novartis, Sanofi Pasteur, GlaxoSmithKline, sampai organisasi-organisasi filantropis.
Sebuah pembajakan level kakap de facto dari salah satu badan dalam PBB, yang seharusnya bertanggung jawab untuk mengoordinasikan tanggapan di seluruh dunia terhadap epidemi dan penyakit!
“Jika Gates membawa WHO untuk mendukung program vaksinasi yang dipatenkan seperti itu, baik produsen vaksin maupun pemegang saham mereka, seperti Gates Foundation, akan diuntungkan,” kata Gebauer. Ini akan mengorbankan orang-orang di negara-negara miskin di dunia yang pemerintahnya tidak mampu membayar program vaksinasi yang biasanya mahal.” – Thomas Gebauer.
Beberapa rekapitulasi pendanaan lainnya:
- Tahun 2014. WHO menerima USD 6.157.153dari GlaxoSmithKline (GSK). Novartis AG menyumbangkan USD 5.300.000 dan 4.500.000 pada tahun 2013. Hoffmann-La Roche juga ikut mendonasikan USD 6.158.153 dan setahun sebelumnya juga telah memberikan USD 4.806.492. Tujuan donasi tersebut tidak diungkapkan kepada publik.
- Tahun 2015. Novartis menyumbangkan USD 2.834.000 di antaranya 55,8% untuk penyakit tropis terabaikan, 34,1% penyakit rawan epidemi dan penyakit rawan pandemi, 3,8% untuk kapasitas siaga dan tanggap, 2,8% untuk komunikasi strategis, akses ke obat-obatan dan teknologi kesehatan serta penguatan peraturan. kapasitas, 0,6% untuk penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, 0,1% untuk tuberkulosis dan 0,1% untuk malaria.
Tahukah anda? bahwa Tedros Adhanom yang menjabat sebagai Direktur Jenderal WHO sejak tahun 2017 adalah direktur pertama yang bukan berlatar belakang dokter medis. Meskipun menggunakan label ‘Dr.’ sebagai gelar, Tedros sebenarnya doktor filsafat dalam kesehatan masyarakat. Tedros sebelumnya Menteri Kesehatan Ethiopia dan menjadi Ketua Dewan Dana Global Melawan HIV/AIDS, TB dan Malaria yang memilik komunikasi intens dengan Gates.
Berkaca dari skandal Flu Babi
Hanya karena Edgar sakit, histeria akan terjadi setelahnya. Bocah lima tahun yang tinggal di desa La Gloria, Meksiko, adalah bocah pertama yang diklaim terserang virus flu babi, swine flu.
Hasil pengujian yang diklaim ilmiah menyatakan bahwa Edgar terinfeksi patogen jenis baru, virus flu babi. Virus yang dianggap berbahaya itu uniknya hanya ‘diselesaikan’ Edgar dalam kurun waktu empat hari saja, setelahnya ia kembali sehat sedia kala.
Edgar tercatat dalam sejarah sebagai niño cero, atau “boy zero,” orang pertama yang jatuh sakit akibat wabah baru. Virus baru ini mungkin tidak akan menarik banyak perhatian jika bukan karena kedokteran molekuler modern, dengan analisis genetik, tes antibodi, dan laboratorium rujukannya.
Kembali ke Jenewa. April 2009.
Suara Nancy Cox dari Atalanta sana membuat gusar Kenji Fukuda di Jenewa. Wanita yang menjabat Kepala Divisi Influenza Control Disease Center (CDC) Amerika Serikat, menginginkan Kenji bertindak cepat. Berkaca dari kejadian flu burung di Asia, keduanya yang pernah bekerja sama sebelumnya sepakat penanganan ekstra.
Dirjen Margareth Chan tancap gas dengan membentuk Emergency Comittee yang berisikan 15 ilmuwan ahli. Dengan pemikiran worst case scenario maka WHO tidak menginginkan untuk memperkecil sebuah resiko. Karena begitulah yang terucap lewat mulut Fukuda:
“Kami ingin melebih-lebihkan daripada meremehkan situasi,”
Nama Profesor Albert Osterhaus didampuk mengepalai komite tersebut. Osterhaus sendiri sudah berdiri dua kaki: satu dalam SAGE (Special Advisory Group Expertise) satunya lagi sebagai chairman ESWI. European Scientific Working group in Influenza. Yakni, sekumpulan para ilmuwan yang fokus pada isu virus influenza. Para mitra rekanan ESWI itu sendiri banyak pelaku industri dunia farmasi.
Sebelumnya Osterhaus pernah berdiri sebagai hub antara WHO dan institusinya. Dia selalu eksis dari setiap kepanikan permasalahan virus dalam dekade terakhir, salah satunya kematian misterius SARS di Hong Kong. Kebetulan, ketika tragedi itu, nama Margareth Chan menjadi pejabat kesehatan lokal setempat. Ehm, menarik.
SAGE juga ‘tidak begitu sehat’. Kelompok ahli yang dipercaya menjadi penasihat WHO seputar permasalahan kesehatan global, terdapat nama-nama dokter yang erat dengan big pharma. Nama dr. Daniel Floret pernah menghuni SAGE, dokter asal Perancis adalah representatif Sanofi Pasteur Perancis.
Amplikasi informasi dengan rekomendasi seputar pandemi bertubi-tubi diluncurkan. Juni 2009, akhirnya Komite Vaksinasi menyarankan WHO agar mengeluarkan peringatan tertinggi berstatus pandemi terhadap virus H1N1 ini. Rekomendasi tertulis para ilmuwan yang bermuara pada kebutuhan pemenuhan distribusi-konsumsi jenis obat dan vaksin tertentu.
Dr. Wolfgang Wodarg, ketua sub-komite Kesehatan Majelis Parlemen Dewan Eropa (PACE), telah secara terbuka mengecam kampanye Flu Babi “pandemi” saat ini dari WHO sebagai “salah satu skandal pengobatan terbesar abad ini.”
Muaranya adalah rekomendasi salah satu jenis obat bernama Tamiflu, yang sekarang adalah Oseltamivir. Dibalik fatwa komite, tercium bau korelasi antara para ilmuwan yang ‘dekat’ dengan korporasi produsen obat.
Kecaman Prof. Wodarg beralasan, bagaimana peran WHO yang mengubah status dengan deklarasi darurat ‘Pandemi’ otomatis menimbulkan histeria, kepanikan global, hingga ketakutan negara-negara anggota.
Kemudian memaksa negara-negara anggota menerapkan rencana penanganan pandemi dan ujungnya memborong vaksin flu babi.
Tengoklah apa yang terjadi di Inggris saat itu. Dalami lalu pikirkan kembali dengan bagaimana yang terjadi hari ini.
Ketika swine flu, pemerintah Inggris menimbun obat anti-flu Tamiflu dan memberlakukan ‘kontrak tidur’ untuk jutaan dosis vaksin. Pemerintah Inggris bersikap begitu lebay, menunggu momentum menjual vaksin flu babi hingga 1 miliar poundsterling ketika situasi global berada pada puncak ketakutan.
“Pemerintah telah menyegel kontrak dengan produsen vaksin di mana mereka mengamankan pesanan di muka dan mengambil hampir semua tanggung jawab mereka sendiri. Dengan metode seperti itu, para produsen vaksin akan meraup keuntungan besar tanpa memiliki risiko kerugian finansial. Mereka tinggal menunggu sampai WHO menyatakan status ‘pandemi’ dan kontrak akan aktif.” – Prof. Wodarg.
Perkiraan dan asumsi Departemen Kesehatan Inggris memperingatkan bagaimana akan terjadi 65.000 kematian. Merekomendasikan jalur khusus, prasarana penangangan hingga menangguhkan aturan normal sehingga obat anti-flu bisa diberikan tanpa resep. Mereka juga mengabarkan perlunya persiapan kamar mayat untuk skala kematian sangat besar. Pemanggilan pihak militer Angkatan Darat demi mencegah kerusuhan ketika publik berebutan demi mendapatkan obat-obatan.
Faktanya? hanya kurang dari 5.000 orang di Inggris yang terjangkit virus flu babi. Dengan total kematian yang juga menyentuh angka 251 korban.
Suasana panik, kekhawatiran, hingga histeria publik berhasil dilahirkan kembali lewat skema yang serupa tapi tak sama. Berujung pada resolusi yang seakan menjadi satu-satunya jalan yang harus ditempuh. Obat-obatan sintetis, vaksinasi dan kontrol sosial berdalih pandemi.
Menyediakan satu opsi (yang diglorifikasikan sebagai yang terbaik) lahir dari sebuah rekomendasi para ilmuwan dan otoritas yang jelas akrab dengan industri farmasi. Teknik decoy effect, bahwa hanya tersedia satu-satunya opsi sebagai solusi jawaban.
Mempertanyakan para ilmuwan bukanlah dosa besar
Acuan sebuah kebenaran tak elok rasanya dikaitkan dengan sosok seorang ilmuwan. Mempertanyakan para ilmuwan berdasarkan rekam jejak dan bagaimana dapur di Jenewa bekerja dirasanya cukup masuk akal.
Apabila dalam kamus jurnalistik ada istilah Mainstream Media (MSM), begitu juga bagi dunia kedokteran. Ada yang menyerah mengikuti arah kemana arus melangkah, mainstream. Ada pula yang (tidak banyak) bersikap tidak mengalah dengan arus yang didalamnya banyak terdapat kejanggalan. Bila semakin membesar perlawanan anti-mainstream, bersiaplah dicap sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), atau tudingan yang berujung pembunuhan karakter (ad hominem), bukan fokus pada konteks permasalahannya.
Entah memang kebetulan, entah didengar. Teriakan ODGJ yang mengatakan berbahanya efek interaksi obat, dan bisa berujung kematian, melahirkan revisi prosedur pengobatan pada tanggal 21 Juli 2021. Setelah lebih dari satu tahun pandemi berlangsung. Ehm, menarik.
Namanya juga sains, sebuah hal yang seharusnya disikapi dengan kritis dan skeptis.
Dr. Tom Jefferson dari Cochrane Collaboration, organisasi ilmuwan independen yang mengevaluasi semua studi terkait flu. Memang ada terjadinya implikasi, take and give antara WHO dan big pharma tentang komersialisasi kesehatan berbau bisnis.
“…salah satu ciri luar biasa dari influenza ini — dan seluruh kisah influenza — adalah bahwa ada beberapa orang yang membuat prediksi dari tahun ke tahun, dan mereka menjadi lebih buruk dan lebih buruk. Sejauh ini tidak ada yang terjadi, dan orang-orang ini masih di sana membuat prediksi ini. Misalnya, apa yang terjadi dengan flu burung, yang seharusnya membunuh kita semua? Tidak ada. Tapi itu tidak menghentikan orang-orang ini untuk selalu membuat prediksi. Terkadang Anda merasa bahwa ada seluruh industri yang hampir menunggu pandemi terjadi.”
Lalu SPIEGEL bertanya siapa yang dimaksud, apakah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)?
Jefferson, “WHO dan pejabat kesehatan masyarakat, ahli virologi dan perusahaan farmasi. Mereka telah membangun mesin ini di sekitar pandemi yang akan datang. Dan ada banyak uang yang terlibat, dan pengaruh, dan karier, dan seluruh institusi!”
Skema menciptakan ‘skenario terburuk’ dan bagaimana mekanisme penetapan status ‘pandemi’ seringkali tidaklah ‘sehat’.
Dr. Astrid Stuckelberger, salah satu staf internal WHO mulai berani berkoar kepada publik, menjelaskan secara detil bagaimana timeline penentuan status pandemi ketika flu babi dan Covid-19 sangatlah jauh dari istilah ilmiah.
Sebelum Astrid sudah ada Alison Katz. Wanita yang memiliki karir selama 18 tahun di Jenewa itu berani mengkritik kebijakan bosnya sendiri, Margareth Chan. “Mungkin dengan memahami pernyataan kebijakan dan pembiayaan kesehatan masyarakat dari negara-negara yang tergabung dalam WHO diharuskan mengikuti ‘aturan main’ lewat rekomendasi mereka. Sehingga peran kontrol demokratis yang berlaku di tiap negara anggota WHO sudah pasti hilang.”
Karena arah dari resolusi para ilmuwan yang tergabung dalam WHO adalah untuk mempromosikan obat dan vaksin yang dipatenkan untuk melawan flu tersebut. Para big pharma telah mempengaruhi ilmuwan dan beberapa lembaga resmi untuk menuruti kepentingan dan tujuan korporasi. Mereka (ilmuwan) tersebut telah menggulirkan strategi vaksin yang tidak efisien dan memaparkan jutaan orang sehat akibat efek samping.
Ketika disinggung isu miring seputar kredibilitas dan integritas , pernyataan Tikki Pang bisa dianggap sedikit bernada politis. Direktur Penelitian WHO Regional Asia Tenggara yang juga kakak kandung dari eks Menteri Perdagangan Marie Eka Pangestu, bilang: “Kami tahu bahwa kredibilitas kami dipertaruhkan,”. Jelasnya lagi, “Kurangnya waktu dan kurangnya informasi dan uang terkadang dapat membahayakan pekerjaan WHO.”
Bagaimana situasi di negeri sendiri? serupa.
Ternyata ada sekitar 2.125 dokter yang diduga terima suap sebesar 131 miliar. Bukan konspirasi, namun TEMPO yang menginvestigasi.
Tapi, seperti apa caranya? Well, mereka punya banyak macam cara untuk berakrobat di belakang kita, calon pasien.
Plesiran ketimbang kesehatan?
Siapapun suka plesiran. Menikmati perjalanan mau sekalipun dibungkus dengan istilah ‘perjalanan dinas’, tetaplah menyenangkan.
Sebelum Tedros resmi terpilih di tahun 2017, laporan Associated Press mengabarkan bagaimana Margareth Chan dan anak buahnya menghabiskan biaya perjalanan sebesar 200 juta dolar per tahunnya! Angka yang dikeluarkan lebih banyak ketimbang misi utama mereka dalam memerangi permasalahan kesehatan global. Angka yang melampaui biaya akumulasi untuk penanggulangan AIDS, TBC, dan Malaria!
Selain itu, $803 juta yang telah dibayarkan WHO untuk perjalanan sejak tahun 2013 tidak termasuk biaya yang sering ditanggung oleh negara-negara tuan rumah yang ingin menjilat, yang di luar catatan WHO.
Laporan NBC dalam artikelnya bulan Mei 2007 membocorkan, bagaimana selera dan prestis seorang Margareth Chan hanya bisa ditampung oleh kemewahan kamar suite hotel Palm Camayenne bertarif 1.008 dolar per malam.
Selama bencana Ebola terjadi di Afrika Barat, tarif plesiran WHO melonjak menyentuh angka 234 juta dolar. Berdalih pentingnya bantuan di lapangan oleh para ahli. Menjadi ironis ketika disaat bersamaan ada tiga negara korban wabah dengan ketikdamampuan mereka menanggung biaya operasional kebutuhan dasar, seperti sepatu bot pelindung, sabun, dan sarung tangan pekerja medis, dan kantong mayat untuk ribuan korban meninggal.
Lembaga bantuan internasional lainnya, termasuk Doctors Without Borders, justru hanya menghabiskan dana operasional untuk biaya perjalanan sebesar 43 juta dolar dalam setahun. Dengan anggota sebanyak 37.000 staf, jauh lebih banyak ketimbang 7.000 staf WHO.
Dan beberapa skandal miring lainnya WHO antara lain:
- Pengaduan internal tentang korupsi, penipuan, hingga pelecehan seksual dari 7.000 organisasi yang beranggotakan 7.000 orang.
- Pada tahun 2018, ada 148 kasus baru yang dilaporkan, naik dari 82 tahun sebelumnya, peningkatan yang menurut auditor WHO terutama disebabkan oleh peningkatan kesadaran dan kegiatan pencegahan. Lebih dari setengahnya terkait dengan penipuan pengadaan. Termasuk tumpukan kasus, penyidik dihadapkan pada tidak kurang dari 248 penyidikan terbuka pada 2018. Pada tahun itu, 28 investigasi internal diselesaikan, dan 20 di antaranya tuduhan utama terbukti.
Mengembalikan kedaulatan
Berbicara ‘kedaulatan’ bukan sekedar seputar konteks seputar negara.
Sudah ada yang lebih dulu berteriak demi mengembalikan kedaulatan negeri ini. Mengecam dengan melawan lewat perjuangannya semasa menjabat Menteri Kesehatan, Ibu Siti Fadilah Supari.
Peperangannya dalam melawan ‘skandal flu babi’ dimenangkan lewat ‘sebuah kebijakan’. Manusia waras kaum middle-class harusnya mampu menangkap kemana larinya arti dari ‘sebuah kebijakan’.
Mengembalikan kewarasan demi kehidupan sebagaimana manusia adanya.
Ilmuwan berlagak Tuhan, menciptakan keterasingan agar dipaksakan masuk ke dalam akal pikiran. Sehingga sebuah kenyataan tak bisa lagi menjadi acuan dalam keseharian.
Akal sehat ini dibonsai hingga menuju ‘garis selesai’. Lambat laun berganti hari, tibalah kita semua ini dalam kontrol tirani. Alibinya, memerangi ‘pandemi’.
Kesehatan manusia bergantung pada sebuah alat tes, yang sudah jelas ‘tidak beres’. Pagi berkata ‘positif’, sorenya mau beda sendiri, berkata ‘negatif’. Kita ini adalah orang sakit, sampai nantinya terbukti ‘sehat’.
Dicekokkan berbagai angka statistik, dengan kandungan kadar ‘bias’ yang tinggi. Berlanjut untuk diolah, diramu lewat narasi dan permainan olah kata ala media. Pack journalism, jurnalisme paket.
Data chery picking, yang ‘mudah disesuaikan’. Data yang disensor sepihak berlabel ‘fact checker’. Angka kematian pasca vaksinasi tak pernah dikabarkan sebagaimana besarnya volume mereka ketika berbicara ‘angka positif’. Ketika mencoba mengkritisi, dibenturkanlah lewat appeal-to-authority, berbalik menuding konspirasi. Ad hoc hypothesis lahir bertubi-tubi, demi menutupi kesalahan rangkaian teori.
Bukankah begitu cara mainnya sejak tahun 1910 lewat Flexner Report?” Ketika ‘merevolusi’ dunia kedokteran modern dengan bantuan Rockefeller dan Carnegie?
Ilmuwan bukanlah patokan dalam menilai sebuah kebenaran. Antara kebenaran dan penampilan tidaklah bisa dikawinkan. Kebenaran seringkali dikecoh lewat berbagai penampilan. Kebenaran itu sederhana, kebohongan itu rumit.
Menyeimbangkan kedua mata, telinga, dan logika tanpa menerima kepatuhan akan dogma. Tidak perlu sosok berpendidikan berbalut jas berwarna putih. Tidak butuh pula meneriakkan kebenaran untuk dijalankan harus memiliki izin dari ‘kaum kebanyakan.’
“Membungkus ketidaknormalan dalam kosakata new normal hanya bisa diterima oleh jiwa-jiwa yang terbelenggu. Mengubah kosakata takkan sanggup mengubah realita.”
Kenyataan pahit ini, semakin hari semakin jauh dari sisi manusiawi. Tiada lagi empati bagi sesama. Karena bagi mereka, kita ini hanyalah serigala bagi mereka. Homo homini lupus.
Teruslah patuh. Teruslah bertoleransi. Sampai nanti tibalah waktu dimana anak-anak kita nanti menjadi yang ‘berikutnya’.
Semoga saja, kami ‘salah’.