Dokumen ini menampilkan – dengan referensi dari sumber asli – usulan amandemen IHR yang paling penting serta bagian utama draf perjanjian pandemi (WHO CA+), lalu menjelaskan perbedaannya dengan pendekatan sebelumnya terkait kesehatan masyarakat global. Ia juga menjelaskan mengapa konsentrasi kekuasaan yang tidak semestinya di bidang kesehatan masyarakat global dan penyediaan kerangka hukum seperti itu oleh WHO merupakan ancaman bagi kesehatan, kedaulatan, dan demokrasi. Selain itu, dokumen ini merekomendasikan tindakan legislatif dan edukatif untuk memperkuat kesehatan masyarakat dan mencapai kesiapsiagaan yang lebih baik, kolaborasi dan perkongsian internasional yang efisien dalam menghadapi kedaruratan kesehatan global, sambil menghindari monopoli dan memastikan keberlangsungan demokrasi pada masa krisis.
DOKUMEN KEBIJAKAN
MENOLAK KUASA MONOPOLI TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT GLOBAL
Mengenai usulan amandemen IHR (2005) dan perjanjian pandemi WHO
World Council for Health (Dewan Dunia untuk Kesehatan)
Daftar Isi
I. Pendahuluan 3
II. Amandemen Regulasi Kesehatan Internasional 7
A. Tindakan wajib dan kedaulatan negara 8
B. Pengintaian: sertifikat kesehatan dan formulir pelacak (digital) 10
C. Membungkam perbedaan pendapat secara global 12
D. Hak dan regulasi yang bersifat kartel 13
E. Tawaran tanpa diminta dan kewajiban bekerja sama 14
F. Perkongsian sampel patogen dan data sekuens genetik 15
G. Pengabaian hak asasi manusia 16
III. Perjanjian/Kesepakatan Pandemi (WHO CA+) 17
A. Pengakuan kewenangan WHO dan tata kelola kesehatan global 17
B. Penanganan perbedaan pendapat secara global dan identifikasi profil 18
C. Jaringan Rantai Pasokan dan Logistik Global WHO 18
D. Standarisasi regulasi dan percepatan persetujuan 19
E. Dukungan untuk penelitian peningkatan-fungsi 20
F. Perkongsian sampel patogen dan data sekuens genetik 21
G. One Health dan analisis akar masalah pandemi/epidemi 22
IV. Menolak Kuasa Monopoli terhadap Kesehatan Global 25
A. Ancaman yang ditimbulkan monopoli 25
B. Siapa yang menjalankan WHO – realitas struktural 26
C. Korupsi, keputusan buruk dan kesalahan fatal 28
V. Jalan Lebih Baik untuk Kesehatan Masyarakat Global 33
A. Desentralisasi kontrol dan hak individu 33
B. Hak privasi: ID digital, sertifikat digital dan data (kesehatan) pribadi 35
C. Kebebasan berbicara, hak berbeda pendapat, dan perkongsian informasi 36
D. Perkongsian internasional dan integritas proses regulasi 39
E. Penghentian pendanaan dan pengakhiran penelitian peningkatan-fungsi 40
F. Kerangka kerja dan pendekatan ideasional untuk kesehatan global 40
VI. Kesimpulan 41
I. Pendahuluan
Negosiasi sedang berlangsung untuk memperkuat kendali Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terhadap respons dan pemikiran kesehatan masyarakat global melalui: a) amandemen Regulasi Kesehatan Internasional (2005) dan perjanjian/kesepakatan pandemi (WHO CA+). Kedua instrumen ini saling melengkapi. Amandemen IHR yang diajukan, jika disetujui, akan meningkatkan kekuasaan WHO dan Direktur Jenderalnya terhadap aktor negara dan non-negara, sedangkan perjanjian pandemi dalam bentuknya saat ini akan menciptakan birokrasi supranasional baru yang berbiaya tinggi dan memaksakan kerangka ideologis tertentu dalam hal kesehatan global.
Majelis Kesehatan Dunia menetapkan tenggat waktu Mei 2024 untuk pengajuan pemungutan suara terhadap usulan amandemen IHR dan perjanjian pandemi. Amandemen IHR akan diadopsi jika suara mayoritas sederhana diperoleh dari para delegasi Majelis Kesehatan Dunia tanpa memerlukan ratifikasi nasional. Negara Pihak memiliki hak keluar dari perjanjian dalam waktu 10 bulan, yang jika tidak digunakan, membuat revisi Amandemen berlaku secara otomatis. Perjanjian pandemi pula membutuhkan dua pertiga suara mayoritas yang memerlukan ratifikasi nasional. Namun, berdasarkan Pasal 35 dari draf nol perjanjian, ia dapat mulai berlaku sementara sebelum proses ratifikasi tuntas.
Secara resmi, amandemen IHR dan perjanjian pandemi diklaim dapat meningkatkan kolaborasi internasional, perkongsian informasi yang efisien, dan kesetaraan dalam menghadapi krisis kesehatan global. Namun, secara de facto, mereka dapat menjadi alat yang menggantikan kolaborasi internasional dengan perintah terpusat, membungkam perbedaan pendapat, dan melegitimasi kartel yang memaksakan produk kesehatan yang menghasilkan laba daripada yang lebih efektif kepada penduduk dunia.
Amandemen IHR yang diajukan, khususnya, memberikan kerangka hukum untuk kuasa monopoli terhadap aspek kesehatan masyarakat global dalam situasi krisis aktual maupun potensial. Jika disetujui, kekuasaan ini efektifnya akan dijalankan beberapa donor berpengaruh yang memberikan kontribusi dana besar kepada WHO, yang mencakup negara berpenghasilan tinggi seperti Amerika Serikat, Cina, dan Jerman, serta para pemangku kepentingan swasta seperti Bill & Melinda Gates Foundation dan korporasi-korporasi farmasi. Para donor negara dan swasta ini memiliki konflik kepentingan yang signifikan terkait kebijakan kesehatan masyarakat global. Konflik ini telah membuat WHO terkompromi. Penting dicatat dalam konteks ini bahwa WHO hanya memiliki kendali penuh atas sekira seperempat dari anggarannya, sisanya berasal dari kontribusi sukarela para donornya.
Jika disetujui, sejumlah amandemen IHR akan memungkinkan kepentingan khusus, yang telah mengkompromikan WHO, menstandarisasi dan memaksakan bagaimana aktor negara dan non-negara merespons kedaruratan kesehatan masyarakat dan mendekati berbagai masalah kesehatan global. Beberapa usulan amandemen IHR (2005), misalnya, akan mengubah sifat rekomendasi sementara dan tetap WHO dalam pasal 15 dan 16 yang dapat dikeluarkan WHO dan Direktur Jenderalnya (yang terhubung dengan Gates) dari bersifat saran tidak mengikat menjadi kewajiban untuk diterapkan Negara Pihak. Jika amandemen yang terkait sifat dan lingkup rekomendasi ini diadopsi, mereka akan memberikan kerangka kerja di mana tindakan yang bersifat saran seperti pengobatan, vaksinasi, isolasi, dan pengintaian yang tercantum dalam Pasal 18 IHR (2005) dapat menjadi kewajiban melalui WHO.
Meskipun WHO tidak memiliki mekanisme penegakan hukum yang efektif terhadap negara berpenghasilan tinggi, amandemen IHR dapat menyebabkan pemerintah kuat yang sejalan dengan, atau bahkan mendalangi, arahan WHO menyatakan bahwa arahan itu harus dipatuhi dan ditegakkan secara internal karena sifatnya yang mengikat secara hukum internasional. Negara kuat dan pemangku kepentingan swasta yang sejalan dengan arahan itu serta WHO sendiri lalu dapat menggunakan IHR ini sebagai kerangka hukum untuk melegitimasi kolonialisme kesehatan dan secara finansial menekan negara berpenghasilan rendah agar patuh – yang akan sangat melemahkan kedaulatan mereka. Oleh itu, sejumlah usulan amandemen IHR menimbulkan pertanyaan serius mengenai kedaulatan dan masa depan pemerintahan demokratis yang harus dijawab.
Sejumlah usulan amandemen lain yang mendorong kerja sama global sistematis untuk membungkam perbedaan pendapat dari posisi pemerintah dan WHO – yang merupakan badan PBB – akan mendorong penguasaan informasi yang terpusat. Melissa Fleming, Wakil Sekretaris Jenderal PBB, menyatakan keyakinannya di Forum Ekonomi Dunia (2022: 1) di Davos: “Kami punya sainsnya, dan kami pikir dunia harus tahu sains ini.” Draf perjanjian pandemi bahkan mendorong semua Negara Pihak – yang mencakup Negara demokratis, otoriter, dan diktator – untuk mengidentifikasi profil yang dipersepsi sebagai misinformasi oleh WHO dan Negara Pihak, serta menangani informasi, pendekatan, dan opini berbeda dari posisi resmi. Amandemen tambahan pada IHR (2005) juga mengizinkan sistem pengintaian yang diperluas dengan sertifikat kesehatan dan formulir pelacak (digital) untuk memastikan kepatuhan massal terhadap arahan yang terpusat.
Sejumlah usulan amandemen IHR, jika disetujui, akan memberikan WHO kewenangan mengidentifikasi, memproduksi, dan mengalokasikan produk kesehatan dalam kondisi tertentu, yang efektifnya mengubahnya menjadi kartel. Misalnya, WHO dapat meminta Negara Pihak untuk meningkatkan produksi obat-obatan tertentu – meningkatkan laba produsen dan/atau pemegang saham yang mungkin terhubung dengan WHO – yang lalu didistribusikan sesuai keinginan WHO, sehingga membangun semacam sistem patronase.
Draf perjanjian ini berimplikasi negatif bagi keamanan (kesehatan) global karena mendukung penelitian peningkatan-fungsi yang potensi bahaya hayatinya sangat tinggi. Kelolosan atau pelepasan patogen rekayasa dari laboratorium tidak diklasifikasikan atau disuarakan secara memadai sebagai ancaman parah dan potensi penyebab pandemi, walaupun kebocoran virus yang direkayasa manusia dari laboratorium kemungkinan besar merupakan sumber pandemi COVID.
Usulan amandemen IHR dan perjanjian pandemi (WHO CA+) – jika disetujui – akan digunakan untuk menguntungkan sejumlah aktor kuat dan merugikan semua aktor lain. Amandemen ini mewakili upaya yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk melegalkan konsentrasi kekuasaan yang tidak demokratis dengan dalih kebutuhan akan respons pandemi yang cepat, tanggap, dan efektif. Kerangka hukum yang dibayangkan untuk memonopoli kekuasaan atas aspek-aspek kesehatan masyarakat global tidak akan membuat dunia lebih siap menghadapi pandemi, tetapi justru akan mengulangi sejumlah kesalahan terburuk yang dibuat selama pandemi COVID lalu. Kerangka hukum seperti ini bukan tanda kemajuan, tetapi tanda kemunduran ke masa lalu di mana terdapat imperium terpusat dengan sistem feodal dan kolonial.
Dewan Dunia untuk Kesehatan (WCH) menyatukan lebih dari 200 mitra koalisi secara global. WCH menyerukan penolakan terhadap amandemen IHR (2005), seperti yang diuraikan dalam Bab II dokumen ini, serta penolakan terhadap usulan perjanjian pandemi saat ini. Amandemen dan usulan ini mewakili kerangka pelaksanaan kekuasaan pemerintahan global yang tidak sah tanpa persetujuan demokratis, mekanisme kontrol konstitusional, atau akuntabilitas. Jadi, mereka menciptakan preseden yang berbahaya jika disahkan. Ruang lingkup kebijakan dan kekuasaan yang diberikan kepada WHO melalui IHR (2005) tidak boleh diperluas.
Kegagalan menanggapi kedaruratan kesehatan internasional baru-baru ini sebenarnya disebabkan para aktor, yang ironisnya akan mendapatkan lebih banyak kekuasaan dari amandemen kedua instrumen ini, jika diadopsi.
Kegagalan negara-bangsa dan juga birokrat WHO dalam menanggapi kedaruratan kesehatan masyarakat baru-baru ini, dan kepentingan-kepentingan khusus yang mengkompromikan WHO serta badan-badan kesehatan nasional, harus diselidiki dengan seksama.
Lebih lanjut, Dewan Dunia untuk Kesehatan menyerukan tindakan legislatif sesegera mungkin untuk menghentikan keberadaan monopoli atau upaya memonopoli kesehatan global atau nasional melalui WHO atau cara lain. Telah dibuktikan bahwa kuasa monopoli menghilangkan pilihan bebas dan kompetisi, sehingga melanggar hak individu sementara mengurangi kualitas dan inovasi secara drastis. Hal ini sangat berbahaya, terutama dalam bidang kesehatan manusia.
Selain itu, pemusatan kekuasaan yang tidak semestinya dapat mengancam demokrasi dan hak rakyat mengatur diri sendiri. Demokrasi dipertahankan dengan mencegah penumpukan kekuasaan dan memecah monopoli, sambil menjaga nilai-nilai inti demokrasi. Tanpa tindakan legislatif yang memadai, konsolidasi kekuasaan oleh segelintir orang akan terus berlanjut, yang dapat menyebabkan korupsi proses politik oleh segelintir orang dan konsekuensi fatal lainnya. Rakyat adalah pemilik kekuasaan yang sebenarnya, dan wakil rakyat yang dipilih harus bertanggung jawab kepada mekanisme kontrol yang efisien untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Di atas segalanya, tata kelola pemerintahan harus didasarkan pada martabat individu dan nilai-nilai inti demokrasi.
Tujuan dokumen ini
Dokumen ini menampilkan – dengan referensi dari sumber asli – usulan amandemen IHR yang paling penting serta bagian utama draf perjanjian pandemi (WHO CA+), lalu menjelaskan perbedaannya dengan pendekatan sebelumnya terkait kesehatan masyarakat global. Ia juga menjelaskan mengapa konsentrasi kekuasaan yang tidak semestinya di bidang kesehatan masyarakat global dan penyediaan kerangka hukum seperti itu oleh WHO merupakan ancaman bagi kesehatan, kedaulatan, dan demokrasi. Selain itu, dokumen ini merekomendasikan tindakan legislatif dan edukatif untuk memperkuat kesehatan masyarakat dan mencapai kesiapsiagaan yang lebih baik, kolaborasi dan perkongsian internasional yang efisien dalam menghadapi kedaruratan kesehatan global, sambil menghindari monopoli dan memastikan keberlangsungan demokrasi pada masa krisis.
II. Amandemen Regulasi Kesehatan Internasional
Konsep Regulasi Kesehatan Internasional berasal dari serangkaian Konferensi Sanitasi Internasional yang dimulai di Paris pada tahun 1851 setelah epidemi kolera Eropa. Rangkaian konferensi ini bertujuan membatasi penyebaran kolera, wabah, dan demam kuning dengan menstandarkan regulasi karantina tanpa mengganggu perdagangan dan perjalanan internasional. Mereka juga menjadi forum diskusi saintifik. Para peserta akhirnya merundingkan sejumlah konvensi sanitasi internasional. Menurut Gostin & Katz (2016: 266), “Alasan utama perjanjian-perjanjian awal adalah kebutuhan keamanan yang dirasakan negara-negara kuat. Yang paling penting adalah perlindungan diri dari ancaman eksternal [yaitu, penyebaran apa yang disebut penyakit Asia ke Eropa], daripada menjaga kesehatan masyarakat di setiap wilayah di dunia.” Sebagian besar peserta adalah negara-negara Eropa (termasuk Rusia dan Turki) dan Amerika Serikat.
Ketika WHO dibentuk pada tahun 1948, ia memikul tanggung jawab di bidang penyakit menular. Pada tahun 1951, WHO mengeluarkan Regulasi Sanitasi Internasional, yang kemudian direvisi dan diganti namanya menjadi Regulasi Kesehatan Internasional pada tahun 1969. Negara Pihak yang meratifikasi IHR (1969) memiliki kewajiban melaporkan wabah penyakit menular tertentu kepada WHO dan memastikan pengawasan kesehatan masyarakat di titik-titik masuk/keluar. Kerja sama antara negara-negara dan WHO didasarkan pada diplomasi ad-hoc dan terbatas pada beberapa penyakit. Pada tahun 1995, Majelis Kesehatan Dunia memutuskan bahwa IHR (1969) tidak lagi memadai untuk mengatasi tantangan modern dalam hal penyakit menular, lalu meminta agar IHR direvisi secara signifikan. Usulan ini semakin mendesak setelah terjadinya wabah SARS pada tahun 2003.
Revisi IHR menghasilkan Regulasi Kesehatan Internasional tahun 2005 (IHR 2005), yang saat ini mengikat 196 Negara Pihak – 194 negara anggota ditambah Tahta Suci dan Liechtenstein. Menurut Fidler (2005: 343), IHR (2005) “mewujudkan strategi baru – keamanan kesehatan global – yang diterapkan melalui pendekatan baru – tata kelola kesehatan global. […] Tata kelola seperti ini belum pernah ada sebelumnya dalam bidang kesehatan masyarakat internasional dan mewakili terobosan konseptual dalam tata kelola global melampaui bidang kesehatan masyarakat.” IHR 2005 memberikan kewenangan baru kepada WHO dan memperluas cakupan regulasi tidak hanya pada beberapa penyakit saja. Ia mengharuskan negara-negara melaporkan kejadian yang dapat menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional (PHEIC) kepada WHO. Direktur Jenderal WHO selanjutnya diberi kuasa tunggal untuk mendeklarasikan PHEIC.
Negara-negara Pihak juga menyetujui sejumlah kewajiban terkait pembentukan kapasitas inti untuk mendeteksi, menilai, melaporkan, dan menanggapi PHEIC. Meskipun IHR (2005) menyiapkan latar untuk suatu bentuk tata kelola kesehatan global, ia masih terbatas dan tidak terlalu menantang kedaulatan negara-bangsa. Hal ini berubah dengan adanya amandemen IHR (2005) yang diusulkan pada akhir 2022 dan sedang dikaji saat ini.
Pada bulan Januari 2022, pemerintah AS di bawah Presiden Biden mengusulkan serangkaian amandemen IHR (2005) yang berdampak luas. Meskipun sebagian besar gagal disetujui Majelis Kesehatan Dunia, terutama karena penolakan Afrika, proses lebih luas yang menyerukan agar amandemen IHR (2005) diusulkan oleh Negara Pihak telah dimulai. 16 Negara Pihak, baik secara sendiri maupun bersama institusi regional (seperti Uni Eropa, WHO Wilayah Afrika, Uni Ekonomi Eurasia, dan MERCOSUR), telah mengajukan usulan mereka. WHO menugaskan Komite Peninjau Regulasi Kesehatan Internasional (IHRRC) sebagai penilai. Dalam laporannya pada bulan Februari 2023, IHRRC menjelaskan bahwa meskipun sejumlah amandemen hanya mengulangi komitmen normatif yang sudah ada, amandemen lain “memperkenalkan kewajiban yang belum pernah ada, serta kewenangan bagi WHO untuk mengarahkan aktor aktor Negara dan non-Negara” (WHO 2023: 57). Sejumlah usulan terpenting dibahas di bawah ini.
A. Tindakan wajib dan kedaulatan negara
Pasal 15 dalam IHR (2005) menyatakan: Jika “telah ditentukan […] bahwa suatu kedaruratan kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional sedang terjadi, Direktur Jenderal harus mengeluarkan rekomendasi sementara”. Pasal 16 menambahkan bahwa “WHO [juga] dapat mengeluarkan rekomendasi mengenai tindakan kesehatan yang tepat […] untuk diterapkan secara rutin atau berkala. Dalam IHR (2005), rekomendasi sementara dan tetap yang diberikan Direktur Jenderal didefinisikan sebagai saran yang tidak mengikat.1
Sejumlah usulan amandemen saat ini, jika diadopsi, akan mengubah sifat rekomendasi yang dapat dikeluarkan Direktur Jenderal menjadi wajib dan mengikat secara hukum.
1 Meskipun Regulasi Kesehatan Internasional (2005) adalah dokumen yang mengikat secara hukum di mana Negara Pihak setuju memenuhi kewajiban yang ada di dalamnya, namun ia tidak memberikan wewenang kepada WHO atau Direktur Jenderalnya mengeluarkan rekomendasi yang isinya bersifat wajib. Sebaliknya, WHO dan Direktur Jenderalnya dalam IHR (2005) hanya dapat memberi rekomendasi isinya bersifat saran.
Pengwajiban ini tercapai dengan menghapus pernyataan tidak mengikat dari definisi istilah rekomendasi sementara dan rekomendasi tetap pada Pasal 1 dan menggantikannya dengan kewajiban mengikuti kedua jenis rekomendasi ini dalam berbagai pasal berikutnya. Sebagai contoh, IHRRC dalam laporannya mencatat terkait Pasal 13A: “Usulan ini […] membuat rekomendasi sementara dan rekomendasi tetap dalam Pasal 15 dan 16 menjadi wajib.” (WHO 2023: 55) Berkenaan Paragraf 7 dari pasal yang diajukan, IHRRC melanjutkan bahwa “proposal ini secara efektif memberikan WHO kewenangan untuk memerintah Negara” (ibid.: 57). Sehubungan usulan amandemen terhadap Pasal 42, IHRRC juga menjelaskan serupa: “Usulan amandemen untuk menyertakan referensi kepada rekomendasi sementara dan rekomendasi tetap tampaknya membuat penerapan rekomendasi menjadi wajib”. (ibid.: 67) Usulan lain juga akan memperluas kekuasaan Direktur Jenderal secara signifikan. Amandemen Pasal 15, misalnya, akan memungkinkan Direktur Jenderal mengeluarkan rekomendasi tidak hanya selama PHEIC yang dideklarasikannya sendiri, tetapi juga dalam semua situasi yang dinilainya berpotensi menjadi PHEIC (WHO 2023a: 15) Sementara itu, tambahan pada Pasal 42 menyatakan bahwa tindakan WHO seperti rekomendasi Direktur Jenderal tidak hanya “harus dimulai dan diselesaikan segera oleh semua Negara Pihak” tetapi “Negara Pihak juga harus mengambil tindakan untuk memastikan Aktor Non-Negara yang beroperasi di wilayah mereka mematuhi tindakan ini” (ibid.: 22). IHRRC menulis bahwa “aktor non-Negara bukan merupakan pihak dalam Regulasi ini” dan “IHRRC prihatin bahwa usulan amandemen terlalu jauh menyiratkan bahwa Negara Pihak harus mewajibkan, melalui legislasi atau tindakan regulasi lainnya, aktor non-Negara untuk mematuhi tindakan di bawah Regulasi ini” (WHO 2023: 67).
Pasal 18 dari IHR memuat sejumlah poin mengenai tindakan terkait manusia yang dapat diperintahkan WHO untuk diterapkan Negara Pihak melalui rekomendasinya. Antara poinnya adalah pengwajiban pemeriksaan medis, peninjauan bukti pemeriksaan medis dan analisis laboratorium, pengwajiban vaksinasi atau profilaksis lainnya, peninjauan bukti vaksinasi atau profilaksis lainnya, penempatan individu di bawah pengamatan kesehatan, penerapan karantina atau tindakan kesehatan lainnya, dan penerapan isolasi atau pengobatan (cf. WHO 2023a: 17).
Usulan amandemen yang akan membuat rekomendasi WHO atau Direktur Jenderalnya menjadi wajib menimbulkan pertanyaan serius terkait konsekuensinya terhadap kedaulatan negara dan tata kelola pemerintahan demokratis, sehingga perlu segera dibahas.
B. Pengintaian: sertifikat kesehatan dan formulir pelacak (digital)
Untuk memastikan dan memantau kepatuhan massal terhadap arahan dan pengwajiban terpusat, sejumlah Negara Pihak – terutama Uni Eropa yang dipimpin Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen (penerima Gates Foundation Goalkeepers Award, yang suaminya bekerja di sebuah korporasi bioteknologi yang terlibat dalam produksi produk mRNA COVID Pfizer) – telah mengusulkan amandemen untuk membangun sistem kontrol, dengan preferensi digital, berdasarkan sertifikat kesehatan dan formulir pelacak. Usulan tersebut mencakup sertifikat vaksin, sertifikat profilaksis, sertifikat uji laboratorium, sertifikat pemulihan, dan formulir pelacak penumpang.
IHRRC mencatat bahwa beberapa “Negara Pihak telah mengusulkan amandemen khusus untuk memasukkan, antara lain, sertifikat digital atau sertifikat dengan kode respons cepat (QR)” dan meskipun sertifikat atau formulir digital mungkin tidak layak secara teknis di setiap penjuru dunia, “digitalisasi harus digunakan jika memungkinkan” (WHO 2023: 21).
Sejumlah amandemen mengusulkan penggunaan situs web dan/atau kode QR sebagai sarana kontrol dan pengintaian. Ada lagi yang bertujuan “memanfaatkan teknologi digital; dan memperkenalkan prosedur operasi standar di semua titik masuk” (ibid.: 82). Ketika ada yang menyarankan agar Majelis Kesehatan Dunia menentukan persyaratan teknis terkait sertifikat kesehatan digital global (misalnya, mengenai cara verifikasi, interoperabilitas, dst.), IHRRC mengajukan pertimbangan “apakah Majelis Kesehatan merupakan badan paling tepat” untuk menangani tugas ini “atau apakah tanggung jawab ini harus dipercayakan kepada Direktur Jenderal [Tedros Adhanom Ghebreyesus]” (ibid.: 62).
Amandemen mengenai penggunaan sertifikat kesehatan atau formulir pelacak (digital) untuk kontrol dan pengintaian tidak hanya diusulkan terkait pasal-pasal tentang kedaruratan kesehatan internasional, tetapi juga terkait Pasal 23 tentang tindakan kesehatan umum pada saat kedatangan dan keberangkatan. Menurut IHRRC, pasal ini berlaku untuk semua situasi, tidak hanya kedaruratan kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional (PHEIC). Amandemen Pasal 23, misalnya, mencakup “usulan baru paragraf 6 [yang] menyatakan secara khusus tentang formulir pelacak penumpang sebagai bagian dokumen yang mungkin diperlukan, dan preferensi agar formulir ini berformat digital” (ibid.: 61). Amandemen lain menyarankan untuk memasukkan informasi mengenai tes laboratorium dalam dokumen kesehatan pelancong. IHRRC berhasil mencatat: “Mengingat Pasal 23 berlaku untuk semua situasi, tidak hanya PHEIC, Komite prihatin bahwa persyaratan seperti ini dapat membebani pelancong, dan bahkan dapat menimbulkan masalah etika dan diskriminasi.” (ibid.: 62) Secara umum, IHRRC juga mengakui adanya keprihatinan mengenai “tingkat perlindungan yang tepat untuk data pribadi” (ibid.: 66).
Seperti dijelaskan Menteri Kesehatan Indonesia, Sadikin, pada saat KTT G20 di Bali pada bulan November 2022, pengenalan sertifikat kesehatan digital global merupakan tujuan utama revisi IHR (2005). Indonesia sendiri sudah mulai mewajibkan sertifikat kesehatan digital dengan menggunakan aplikasi yang dapat diunduh melalui Android dan Apple. Indonesia menjadi contoh bagaimana sertifikat kesehatan digital global, jika diadopsi melalui amandemen IHR, dapat disalahgunakan pihak berkuasa untuk memaksa orang, termasuk anak-anak, menerima perawatan medis, membatasi pergerakan, dan memaksa penggunaan aplikasi digital tertentu sehingga data (kesehatan) pribadi dapat ditambang.
Per Januari 2023, ketika kembali ke Indonesia, WNI berusia 18 tahun ke atas diwajibkan – bertentangan dengan bukti ilmiah dan etika dasar – membuktikan bahwa mereka telah menerima tiga dosis vaksinasi COVID-19 dan memasang Peduli Lindungi (aplikasi kesehatan warga) yang berisi data pribadi dan status vaksinasi (bdk. Kedutaan Besar Republik Indonesia, 2023). Untuk penumpang penerbangan domestik, kereta api, dan kapal feri, anak-anak berusia 6-17 tahun diwajibkan memberikan bukti satu dosis vaksinasi COVID-19 (meskipun ada kontraindikasi dan potensi bahaya), WNI berusia 12 tahun ke atas harus menunjukkan bukti ini melalui Peduli Lindungi (bdk. UK.GOV 2023).
“Jadi, mari gunakan sertifikat kesehatan digital yang diakui WHO. Jika Anda sudah divaksinasi atau dites dengan benar, maka Anda bisa bepergian. […] Indonesia sudah berhasil, negara-negara G20 sudah sepakat memiliki sertifikat digital berstandar WHO ini yang akan diajukan ke Majelis Kesehatan Dunia berikutnya di Jenewa sebagai revisi Regulasi Kesehatan Internasional.”
– Menteri Kesehatan Indonesia Sadikin (November 2022)
Sertifikat kesehatan digital hanya memberdayakan segelintir orang. Kesehatan digital secara umum juga menjadi sebuah industri di mana data pasien pribadi berubah menjadi produk dalam ekonomi pengintaian. Pemerintah Indonesia, misalnya, sedang dalam proses mendigitalkan seluruh sistem kesehatannya yang mendapat dukungan dari dan koordinasi dengan Bill & Melinda Gates Foundation, antara lain. Perubahannya meliputi penggunaan aplikasi kesehatan warga secara luas dan sebagian besar wajib, serta aplikasi yang berisi rekam medis digital dari setiap individu warga.
C. Membungkam perbedaan pendapat secara global
Selain kontrol atas tindakan dan kepatuhan massal, usulan amandemen IHR (2005) juga bertujuan mengontrol informasi. Ada usulan amandemen yang menyerukan untuk “melawan penyebaran informasi yang salah dan tidak dapat diandalkan” (WHO 2023a: 25, 26) dan agar WHO memperkuat kapasitasnya dalam skala global untuk “melawan misinformasi dan disinformasi” (ibid.: 40). IHRRC bahkan menyarankan WHO mungkin memiliki kewajiban “memverifikasi informasi yang berasal dari sumber selain Negara Pihak” (WHO 2023: 21).
IHRRC menjelaskan bahwa “[m]isinformasi dan disinformasi dapat […] menghalangi kepercayaan publik terhadap, dan kepatuhan atas, panduan pemerintah atau WHO” (WHO 2023: 21).
Lebih lanjut dinyatakan hak asasi manusia utama seperti kebebasan berbicara dan kebebasan pers harus diseimbangkan dengan apa yang dinyatakan WHO dan pemerintah sebagai informasi akurat pada suatu waktu (lih. ibid.: 21). Narasi ini berbahaya, anti-demokratis, dan kebalikan dari apa yang seharusnya terjadi berdasarkan pelajaran dari COVID.
Sejak awal, pemerintah nasional dan WHO sendiri menerbitkan informasi yang tidak akurat. Otoritas Cina juga membungkam kebebasan berbicara, menyensor dokter rumah sakit garis depan di Wuhan dan menuduh mereka menyebarkan misinformasi ketika melaporkan gejala mirip SARS yang parah pada pasien mereka di bulan Desember 2019. Pelapor seperti Li Wenliang dan rekan-rekannya ditangkap, ditegur, dan dibungkam. Informasi tentang sifat wabah ditekan.
Pelapor asal Cina, Li Wenliang, yang menyuarakan peringatan dini penting yang dibungkam otoritas pemerintah sebagai misinformasi.
IHRRC gagal menyebut ketika para pelapor asal Cina berjuang melawan penyensoran pemerintah, WHO menerbitkan pernyataan resmi yang salah bahwa tidak ada bukti penularan dari manusia-ke-manusia dalam kasus SARS-CoV-2, meskipun ada bukti sebaliknya yang jelas. Selama masa pandemi, WHO mendukung sejumlah teori palsu. Misalnya, ia menyatakan bahwa COVID tidak menular melalui udara, dan mengatakan sebaliknya berarti menyebarkan misinformasi, sampai akhirnya ia dipaksa mengubah posisinya setelah banyak bukti saintifik menyatakan sebaliknya. Ia juga meremehkan pentingnya kekebalan alami.
[Investigasi awal oleh otoritas Cina tidak menemukan bukti jelas tentang penularan manusia-ke-manusia dari #coronavirus baru (2019-nCoV) yang diidentifikasi di #Wuhan, #China.]
Namun, IHRRC dan amandemen IHR (2005) berusaha melegitimasi dan membakukan kepatuhan kepada kewenangan (pemerintah dan WHO) sebagai norma baru, serta membungkam perbedaan pendapat, sehingga peringatan dini berikutnya yang dapat menyelamatkan nyawa namun bertentangan dengan kepentingan pemerintah – seperti yang sering terjadi – dibungkam, pendapat berbeda yang mungkin benar disensor, dan mereka yang menyuarakan kesalahan pihak berwenang diberangus. Semua hal ini memiliki konsekuensi buruk bagi kesejahteraan masyarakat dan kemampuan orang melawan ketidakadilan pemerintah. Laporan IHRRC serta usulan amandemen IHR menjajakan gagasan yang mengkhawatirkan, salah, otoriter, dan kuno, yaitu segelintir orang berhak memutuskan kebenaran, dan keputusan mereka bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat, meskipun telah terbukti salah ribuan kali. Dengan demikian, mereka berusaha membangun monopoli anti-demokrasi atas konten dan arus informasi.
D. Hak dan regulasi yang bersifat kartel
Sejumlah usulan amandemen bertujuan memberikan kekuasaan kepada WHO atas identifikasi, produksi dan alokasi global produk kesehatan pada masa krisis (bdk. WHO 2023a: 13-14). Jika diadopsi, WHO akan dapat mengidentifikasi produk mana “yang dibutuhkan untuk menanggapi kedaruratan kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional” (ibid.: 13).
Ia juga dapat memerintahkan negara-negara untuk “meningkatkan produksi produk kesehatan [pilihan]” (ibid.: 13). Usulan amandemen menegaskan, atas “permintaan WHO, Negara Pihak harus memastikan produsen di dalam wilayah mereka memasok jumlah produk kesehatan yang diminta, kepada WHO atau Negara Pihak lainnya sebagaimana diarahkan WHO untuk memastikan penerapan rencana alokasi yang efektif” (ibid.: 13). IHRRC mencatat bahwa “tidak jelas apakah Negara Pihak bisa melakukan hal ini, tanpa mengubah regulasi domestik terkait aktor swasta yang beroperasi di wilayahnya” (WHO 2023: 57).
Satu usulan amandemen menyarankan WHO berperan menciptakan standar “pedoman regulasi bagi persetujuan cepat produk kesehatan yang berkualitas” (ibid.: 14).
Mengenai saran terakhir, IHRRC tampak ragu karena “mungkin tidak disarankan dari sudut pandang hukum untuk mewajibkan WHO mengembangkan pedoman seperti itu, karena tanggung jawab jika ditemukan kecacatan produk setelah dijual di pasar akan jatuh di pundak Organisasi” (WHO 2023: 54).
Infrastruktur untuk menerapkan amandemen terkait mekanisme alokasi WHO akan dibentuk melalui perjanjian pandemi pelengkap. Perjanjian ini akan membentuk Jaringan Rantai Pasokan dan Logistik Global WHO (alias Jaringan), jika diadopsi. Jaringan ini dibahas di bagian Perjanjian Pandemi (WHO CA+) dalam dokumen ini.
Aspek utama usulan amandemen terkait mekanisme alokasi adalah gagasan setiap kebijakan kesehatan yang diambil Negara Pihak secara umum tidak boleh menyebabkan hambatan pada mekanisme WHO (lihat amandemen Pasal 43).
Jika ada hambatan, Negara Pihak terkait harus memberikan alasannya kepada WHO, yang kemudian dapat memintanya memodifikasi atau membatalkan alasan itu. Jika Negara Pihak keberatan, hal ini dirujuk ke Komite Darurat WHO yang keputusannya bersifat final. Negara Pihak kemudian harus melaporkan pelaksanaan keputusan itu. (WHO 2023a: 23-24)
E. Tawaran tanpa diminta dan kewajiban bekerja sama
Sejumlah usulan amandemen IHR, jika diadopsi, mendukung tindakan penawaran tanpa diminta kepada calon penerima bantuan dan memperkenalkan kewajiban bekerja sama dari pihak calon pemberi bantuan.
Amandemen Pasal 13, menurut IHRRC “memperkenalkan kewajiban bagi Negara Pihak untuk menerima atau menolak tawaran bantuan dari WHO dalam waktu 48 jam, dan apabila tawaran ini ditolak, maka Negara Pihak wajib memberikan alasan penolakan kepada WHO.” IHRRC mengakui: “Kewajiban Negara Pihak menerima atau menjustifikasi penolakan tawaran bantuan WHO dapat mengurangi kedaulatan Negara Pihak dan berisiko melemahkan tujuan dan semangat kolaborasi serta bantuan yang sejati. Merupakan hak prerogatif Negara Pihak untuk meminta atau menerima bantuan, bukan menjadi penerima tawaran tanpa diminta, apalagi disertai kewajiban menjustifikasi penolakan dalam waktu yang tidak realistis. Selain itu, usulan agar WHO membagikan alasan penolakan, meskipun dimaksudkan untuk mendorong transparansi, mungkin tidak kondusif bagi suasana kolaborasi. Usulan ini dapat ditafsirkan bahwa Negara Pihak yang menolak tawaran bantuan pada dasarnya tidak dapat dipercaya.” (WHO 2023: 50)
Lampiran 10 yang baru di bawah “kewajiban tugas bekerja sama” lebih lanjut menyatakan: “Negara Pihak dapat meminta kerjasama atau bantuan WHO atau Negara Pihak lainnya […]. Merupakan kewajiban WHO dan Negara Pihak, kepada siapa permintaan ditujukan, untuk menanggapi permintaan itu, dengan segera dan memberikan kolaborasi dan bantuan seperti diminta. Ketidakmampuan memberikan kolaborasi dan bantuan harus dikomunikasikan kepada Negara yang meminta dan WHO beserta alasannya.” (WHO 2023a: 50) IHRRC mencatat bahwa “kewajiban dalam paragraf 1 dari usulan Lampiran baru ini tampaknya bersifat mutlak dan tanpa syarat” (WHO 2023: 89).
F. Perkongsian sampel patogen dan data sekuens genetik
Ada sejumlah amandemen kontradiktif terkait perkongsian sampel patogen dan data sekuens genetik (GSD) dengan WHO. Sementara satu usulan menyatakan perkongsian ini tidak diwajibkan, “pengelompokan sejumlah amandemen […] oleh beberapa Negara Pihak mewajibkan semua Negara Pihak membagikan GSD kepada WHO (meskipun kata-kata berbeda digunakan dalam usulan berbeda), serta dalam beberapa kasus, untuk juga membagikan data tambahan” dan “satu proposal […] mewajibkan WHO membagikan informasi yang diterima di bawah paragraf ini kepada semua Negara Pihak dalam konteks penelitian dan penilaian risiko” (WHO 2023: 38). Usulan lain “memperkenalkan kolaborasi spesifik dalam bentuk pertukaran sampel patogen dan GSD” (ibid.: 70).
Meskipun IHRRC mencatat “mewajibkan perkongsian sampel dan transfer materi genetik ke WHO dapat menimbulkan masalah mandat, kemampuan, dan tanggung jawab WHO” (ibid.:. 39), perjanjian pandemi komplementer, jika diadopsi, akan membentuk Sistem Akses Patogen dan Pembagian Manfaat WHO (PABS), yang menimbulkan isu keamanan hayati dan lainnya. Bagian Perjanjian/Persetujuan Pandemi (WHO CA+) dalam dokumen ini membahas sistem ini lebih lanjut.
G. Pengabaian hak asasi manusia
Usulan amandemen oleh India sepertinya tidak dilanjutkan tetapi memberikan peringatan jelas bahwa hak individu sebagaimana didefinisikan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948 tidak dapat dianggap aman. Sejumlah besar pemerintah di seluruh dunia tidak percaya pada hak-hak ini. Di bawah Pasal 3, India telah mengusulkan untuk mencoret prinsip-prinsip panduan dari Regulasi Kesehatan Internasional yang menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia, dan kebebasan dasar manusia.
Usulan amandemen yang mencoret penghormatan terhadap martabat, hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia (WHO 2023a: 3)
III. Perjanjian/Kesepakatan Pandemi (WHO CA+)
Perjanjian pandemi WHO diusulkan secara terbuka pada bulan Desember 2020 oleh Presiden Dewan Eropa Charles Michel. Inisiatif ini didukung Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. Perjanjian pandemi ini (saat ini disebut sebagai WHO CA+) adalah instrumen baru yang melengkapi amandemen IHR. Ia sedang dipertimbangkan untuk diadopsi berdasarkan Pasal 19 (terkait adopsi konvensi atau perjanjian) Konstitusi WHO dengan pertimbangan tambahan mengenai kesesuaian Pasal 21 (yang terkait adopsi regulasi). Draf nol perjanjian ini diterbitkan pada bulan Februari 2023.
Berdasarkan draf nol ini, perjanjian tersebut, jika diadopsi, akan membentuk birokrasi supranasional baru. Badan yang mengatur birokrasi baru ini adalah Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties/COP) yang akan menjadi satu-satunya badan pengambil keputusan tentang hal-hal terkait perjanjian tersebut. Berikut ini adalah beberapa poin utama lain dari usulan perjanjian pandemi ini.
A. Pengakuan kewenangan WHO dan tata kelola kesehatan global
Usulan perjanjian pandemi (WHO CA+), jika diadopsi, akan memberikan WHO kewenangan yang signifikan dan tidak tepat. Pihak penanda tangan perjanjian ini, menurut draf nol, harus mengakui peran sentral WHO sebagai “otoritas pengarah dan pengoordinasi kesehatan global” (WHO 2023b: 5) serta peran sentralnya “sebagai otoritas pengarah dan pengoordinasi kerja kesehatan internasional, dalam pencegahan, kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan pandemi, serta dalam mengumpulkan dan menghasilkan bukti saintifik” (ibid.: 4). Mengingat sifat WHO yang terkompromi, tidak dipilih, dan tidak akuntabel, wewenang yang sedemikian luas tidak patut diserahkan kepadanya.
Draf nol ini lalu meminta komitmen Para Pihak untuk “berkontribusi pada penelitian dan kebijakan tentang faktor penghambat kepatuhan terhadap kesehatan masyarakat dan kebijakan sosial [seperti masker atau karantina], kepercayaan atas dan penggunaan vaksin [seperti produk mRNA Pfizer dan Moderna], penggunaan terapi yang sesuai dan kepercayaan terhadap sains [posisi WHO] dan lembaga pemerintah” (ibid.: 24). Hasil penelitian ini akan digunakan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap otoritas dan arahan terpusat.
B. Penanganan perbedaan pandangan secara global dan identifikasi profil
Seperti sejumlah usulan amandemen Regulasi Kesehatan Internasional (2005), draf nol perjanjian pandemi di bawah Pasal 17 mendorong penanganan apa yang dianggap WHO sebagai “misinformasi, atau disinformasi, yang salah dan menyesatkan, termasuk melalui kerja sama internasional” (WHO 2023b: 23). Usulan perjanjian melampaui usulan amandemen karena perjanjian juga meminta identifikasi eksplisit dari “profil misinformasi” (ibid.: 23).
Cek fakta WHO pada 28 Maret 2020, kemudian terbukti salah
Baik draf perjanjian pandemi maupun usulan amandemen IHR (2005) tidak menunjukkan adanya pengakuan terhadap fakta bahwa WHO dan cabang eksekutif pemerintah telah mengeluarkan sejumlah besar informasi yang salah dan menyesatkan ketika dan sesudah pandemi COVID berlangsung.
Penggunaan propaganda secara sistematis dan teratur oleh pemerintah sebelum, selama, dan setelah perang serta bentuk konflik lainnya juga tidak diperhitungkan. Kedua-dua usulan instrumen mengandung sudut pandang bahwa organisasi supranasional yang tidak akuntabel dan terkompromi seperti WHO dan pemerintah nasional harus diberi peran penilai keabsahan informasi – dengan implikasi melampaui kesehatan masyarakat.
C. Jaringan Rantai Pasokan dan Logistik Global WHO
Perjanjian pandemi, jika diadopsi, akan membentuk Jaringan Rantai Pasokan dan Logistik Global WHO (Jaringan). Meskipun mekanisme pasokan global yang adil dan tepat waktu bagi obat-obatan dan produk kesehatan lainnya untuk mencegah dan mengobati penyakit seperti yang dijelaskan dalam Pasal 6 sangat penting, sifat terkompromi WHO serta pelajaran dari COVID membuat ragu apakah mekanisme semacam ini harus dipercayakan kepada WHO atau otoritas terpusat tunggal lainnya.
Ada risiko nyata bahwa Jaringan Rantai Pasokan dan Logistik Global WHO – alih-alih mendistribusikan produk paling baik dengan profil keamanan tertinggi, yang mungkin merupakan obat-obatan yang tidak memiliki hak paten dan agen yang tidak dapat dipatenkan – akan digunakan untuk mendorong produk farmasi yang menguntungkan, dengan profil keamanan yang tidak terlalu dipahami, kepada populasi dunia, terutama jika amandemen komplementer IHR (2005) diadopsi sehingga WHO lebih berkuasa melakukannya.
Dana publik mungkin akan didistribusikan secara sistematis kepada pihak berkepentingan khusus melalui Jaringan WHO. Dana dan mekanisme distribusi ini mungkin akan lebih baik ditempatkan dan dipercayakan kepada berbagai organisasi amal dengan rekam jejak yang terbukti mampu bertahan dari kepentingan korporasi, menawarkan kapasitas respons yang memadai di lapangan, dan dipercaya populasi rentan.
D. Standardisasi regulasi dan percepatan persetujuan
Pasal 8 draf perjanjian ini bertujuan mengharmonisasi persyaratan regulasi di tingkat internasional dan regional serta mempercepat persetujuan dan perizinan produk baru untuk penggunaan darurat selama pandemi. Bagian usulan perjanjian ini sesuai dengan kampanye Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI) yang dipimpin Richard Hatchett yang pernah bekerja di bawah Anthony Fauci. CEPI didirikan pada tahun 2017 oleh World Economic Forum (WEF), Bill & Melinda Gates Foundation, dan pihak swasta lain yang terkompromi untuk mempercepat pengembangan vaksin dan mempersingkat prosesnya menjadi hanya 100 hari. Sebagai perbandingan, pengembangan vaksin biasanya membutuhkan waktu 5 hingga 10 tahun untuk menilai keamanan dan kemanjuran dalam uji klinis, proses persetujuan regulasi, dan produksi secara luas.
Meskipun terapi potensial harus tersedia lebih cepat bagi orang dalam situasi hidup-mati atau mengubah-hidup (Hak Mencoba), pelajaran dari pandemi COVID menunjukkan bahwa mengurangi standar regulasi untuk persetujuan produk baru yang masih dalam tahap uji coba membawa risiko keamanan yang cukup besar dan bahkan fatal, terutama ketika potensi efek samping yang parah disensor pemerintah dan pemangku kepentingan swasta yang secara finansial berinvestasi dalam produk tersebut.
Kekhawatiran tambahan terkait fakta bahwa pemerintah – yang berinvestasi dalam produk mRNA COVID eksperimental yang tidak banyak dipahami namun cepat untuk penggunaan darurat – berusaha mewajibkan penggunaan produk ini tanpa persetujuan berdasarkan informasi utuh, dengan paksaan dan propaganda sistematis. Patologi politik pada individu yang tidak setuju disuntik pun terjadi. Saat ini, para dokter dan ilmuwan terkenal di dunia menyerukan agar produk mRNA COVID ditarik dari pasar karena masalah keamanan dan kurangnya kemanjuran terhadap penularan.
Secara umum, disarankan membakukan Hak Mencoba individu sehubungan terapi baru, sekaligus mencegah pelemahan terhadap persyaratan regulasi yang menganjurkan kehati-hatian, ketika tiba pada proses persetujuan yang lebih luas. Juga hukum nasional dan internasional perlu melarang pengwajiban penggunaan produk medis apa pun dan upaya memaksa orang yang tidak setuju menggunakannya.
E. Dukungan untuk penelitian peningkatan-fungsi
Draf perjanjian menyatakan bahwa terkait “laboratorium dan fasilitas yang melakukan penelitian mengubah organisme secara genetik untuk meningkatkan patogenisitas dan penularannya”, standar harus ditaati dalam rangka “mencegah pelepasan patogen ini secara tidak disengaja”, tetapi perlu dipastikan bahwa “tindakan ini tidak menciptakan rintangan administratif yang tidak perlu bagi penelitian” (ibid.: 16).
Dukungan untuk penelitian peningkatan-fungsi dalam usulan perjanjian sangat bermasalah karena risiko etikanya pada patogen potensial pandemi (PPP) seperti SARS secara signifikan lebih besar daripada manfaatnya. Kahn (2023: 1) menjelaskan seperti “Icarus yang terbang terlalu dekat dengan matahari, sejumlah saintis yang bekerja di laboratorium telah menguji takdir dengan menciptakan patogen (yaitu, mikroba pembuat orang sakit) yang lebih berbahaya daripada yang terjadi di alam. […] penelitian peningkatan-fungsi memberikan mikroba seperti bakteri dan virus kemampuan yang biasanya tidak mereka miliki di alam. Penelitian ini sekarang hampir tidak mendapat pengawasan nasional atau internasional.”
SARS-CoV-2 diubah secara genetik di Institut Virologi Wuhan di Cina; kemungkinan, menurut mantan Direktur CDC Robert Redfield, uang pajak AS digunakan di sana. Usulan perjanjian pandemi menunjukkan pengabaian yang mengkhawatirkan terhadap kemungkinan asal-usul pandemi COVID dari laboratorium dan kehancuran luar biasa yang dapat ditimbulkan akibat bahaya keamanan hayati terkait penelitian peningkatan-fungsi. Dunia dapat menyaksikan kebocoran atau pelepasan virus rekayasa manusia yang secara signifikan lebih mematikan daripada SARS-CoV-2.
Sebagai contoh, Kahn (2023: 1) mencatat: “Dengan tingkat kematian sekitar 56 persen, virus flu burung H5N1 jauh lebih mematikan daripada SARS-CoV-2 […]. Flu burung H5N1 […, bagaimanapun, tidak dapat menyebar dengan mudah dari mamalia-ke-mamalia. Begitu patogen mendapatkan kemampuan menyebar dengan mudah pada mamalia, risiko penyebarannya ke manusia akan meningkat. Muncullah Ron Fouchier, seorang ahli virus dari Erasmus Medical Center di Belanda. Pada tahun 2011, dia dan rekan-rekannya memutuskan memberikan virus flu burung H5N1 kemampuan lebih baik untuk menyebar melalui udara di antara mamalia.”
F. Perkongsian sampel patogen dan data sekuens genetik
Perjanjian pandemi, jika diadopsi, akan membentuk Sistem Akses dan Pembagian Manfaat Patogen (Sistem PABS) WHO dengan unsur bisnis yang dapat diakses semua Negara Pihak. Pasal 10 menyatakan:
“1. Kebutuhan akan sistem multilateral, adil, merata dan tepat waktu untuk berbagi, secara setara, patogen dengan potensi pandemi dan sekuens genom, dan manfaatnya, yang berlaku dan beroperasi baik di masa antar-pandemi maupun dalam pandemi, dengan ini diakui. Untuk mencapai hal ini, disepakati membentuk Sistem Akses dan Pembagian Manfaat Patogen WHO (‘Sistem PABS’) di bawah WHO CA+ ini. […]
2. Sistem PABS harus mencakup semua patogen dengan potensi pandemi, termasuk sekuens genomnya, serta akses terhadap manfaat darinya, dan memastikan bahwa ia beroperasi secara sinergis dengan instrumen akses dan pembagian manfaat yang relevan. […] Akses harus diberikan sesuai Perjanjian Transfer Material Standar, yang bentuknya harus ditetapkan dalam Sistem PABS yang harus berisi opsi pembagian manfaat bagi entitas pengakses patogen dengan potensi pandemi […] Sistem PABS […] akan mendorong platform global dan regional yang efektif, terstandar, dan dijalankan pada waktu-riil sehingga data yang dapat ditemukan, diakses, dioperasikan bersama, dan digunakan kembali oleh semua Pihak.” (WHO 2023b: 17)
Meskipun akses ke data sekuens genetik dapat, misalnya, digunakan untuk pengembangan kapasitas pengujian, Sistem PABS yang diusulkan dan dapat diakses semua Negara Pihak – termasuk negara diktator, pelaku perang, dan sponsor terorisme – menimbulkan tanggung jawab. Perkongsian lebih luas atas patogen potensial pandemi (PPP) dan data sekuens genetiknya memiliki implikasi keamanan yang signifikan. Informasi dan materi dapat disalahgunakan oleh aktor negara atau non-negara untuk mengembangkan senjata biologis atau meningkatkan kemampuan perang biologis mereka. Risiko lebih lanjut terkait keamanan siber (cth., upaya meretas basis data yang menyimpan informasi sensitif), pencurian, dan juga kecelakaan. Sistem PABS menciptakan risiko keamanan hayati tambahan yang berasal dari penelitian nasional dan internasional – di mana pengawasan menjadi semakin tidak memadai. WHO – atau organisasi lain – tidak dapat menjamin data atau materi yang dibagikan melalui Sistem PABS tidak akan jatuh ke tangan yang salah.
Sistem PABS yang diusulkan lebih lanjut dapat mendorong perluasan penelitian peningkatan-fungsi, yang seharusnya dibatasi dan dihentikan. WHO tidak memiliki cara memastikan bahwa bahan atau data yang dibagikan melalui Sistem PABS tidak akan digunakan dalam eksperimen yang menciptakan bahaya baru.
G. One Health dan analisis akar masalah pandemi/epidemi
Pendekatan One Health – istilah yang relatif baru – berakar pada konsep lama yang mengakui hubungan erat antara kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem. Di bawah pendekatan One Health, keahlian di bidang-bidang ini diintegrasikan. Kesejahteraan manusia, hewan, dan ekosistem saling terkait erat. Namun, berbagai organisasi seperti WHO mencoba menyalahgunakan pemahaman ini untuk tujuan politik mereka sendiri.
Draf nol dari perjanjian WHO menggunakan istilah One Health untuk mendorong fokus pada antarmuka manusia-hewan-lingkungan sebagai sumber penyakit menular dan pandemi. Hal ini diidentifikasi sebagai “pendorong munculnya dan kembali munculnya penyakit pada antarmuka manusia-hewan-lingkungan” khususnya “perubahan iklim, perubahan tata ruang, perdagangan satwa liar, penggurunan, dan resistensi antimikroba” (WHO 2023b: 24).
Pasal 18 mewajibkan Negara Pihak “dalam konteks pencegahan, kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan sistem kesehatan terkait pandemi, untuk menganjurkan dan menerapkan pendekatan One Health yang […] terkoordinasi dan kolaboratif antara semua aktor terkait” (WHO 2023b: 24) dan “mempertimbangkan pendekatan One Health di tingkat nasional, daerah, dan fasilitas kesehatan” (ibid.: 25). Negara Pihak juga mengakui pentingnya Quadripartite yang terdiri dari WHO, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan dan Program Lingkungan PBB dalam menangani isu terkait One Health.
Draf nol perjanjian yang ‘berkacamata kuda’ mengalihkan perhatian dari penelitian peningkatan-fungsi sebagai sumber paling potensial dari pandemi COVID. Sebuah video yang dirilis WHO untuk menggalang dukungan bagi perjanjian pandemi, juga menampilkan Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus yang menyebut pandemi sebagai “ancaman bersama yang tidak sepenuhnya kita ciptakan dan kendalikan – karena berasal dari hubungan kita dengan alam itu sendiri”. Ironisnya, lalu dikatakan “vital bagi kita menilai pandemi [COVID] secara jujur dan mengambil pelajaran darinya sehingga kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kita berutang kepada jutaan orang yang telah wafat”. Narasi ini bukan merupakan penilaian jujur terhadap pandemi COVID dan asal-usulnya, tetapi juga menunjukkan pemahaman yang bermasalah tentang peran alam dalam kesehatan manusia. Meskipun ancaman terhadap kesehatan manusia dapat ditemukan di alam, alam juga merupakan sumber penting dan pendorong kesehatan manusia.
Juga, draf nol perjanjian yang ‘berkacamata kuda’ gagal menangani sejumlah faktor dalam kemunculan dan persistensi penyakit menular yang parah. Selain percobaan laboratorium pada patogen potensial pandemi (PPP) yang kemudian bocor, hal ini dapat mencakup penyebaran patogen secara eksplisit pada manusia dan kurangnya penyediaan pengobatan. Sebagai contoh, penyakit menular paling mematikan yang membunuh sekitar 1,6 juta orang setiap tahun adalah tuberkulosis manusia, yang disebabkan patogen manusia yang telah ada sepanjang sejarah manusia. Ia dapat disembuhkan pada sebagian besar kasus, namun ada kekurangan penyediaan pengobatan terbukti berakibat fatal.
Menyadari kaitan erat antara kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem – seperti dilakukan pendekatan One Health – merupakan hal penting dalam pencegahan sejumlah penyakit menular dan keadaan kedaruratan kesehatan. Namun, penyebab dan penopang penting lain dari epidemi dan pandemi tidak boleh dikesampingkan.
Juga perlu dicatat meskipun draf nol perjanjian WHO berfokus pada One Health dan antarmuka manusia-hewan-lingkungan secara ideologis, ia tampaknya mendorong pemahaman yang inferior tentang pendekatan ini. Misalnya, ia menyatakan “sebagian besar penyakit menular berasal dari hewan, termasuk satwa liar dan hewan peliharaan,” (WHO 2023b: 6) tanpa menyebutkan fakta bahwa tingkat keparahan jenis penyakit merupakan indikator yang lebih tepat bagi relevansi daripada jumlah, dan dalam banyak kasus (meskipun tidak semua), ancaman yang lebih parah bukan berasal dari hewan itu sendiri, melainkan dari penganiayaan hewan oleh manusia.
Satu contoh adalah peternakan pabrik di mana hewan dikucilkan dari habitat alaminya dan dikurung dalam jumlah puluhan ribu dalam kandang di ruangan dengan kondisi sanitasi dan pengelolaan limbah yang buruk. Sejumlah ahli telah menyatakan bahwa pandemi A/H1N1 pada tahun 2009 mungkin berasal dari peternakan pabrik. (Ahli lain berpendapat bahwa pandemi mungkin diciptakan secara tidak sengaja oleh para ilmuwan yang terlibat dalam penelitian virus rekombinan H1N1). BSE dan variannya pada manusia, suatu bentuk Creutzfeldt-Jakob Disease (vCJD), berawal dari sapi, yang seharusnya memakan rumput dan vegetasi alami lainnya di alam, tapi malah diberi makanan olahan otak hewan di peternakan pabrik.
Sehubungan dengan jenis Flu Burung yang Sangat Patogenik H5N8, wabah berbahaya seperti ini juga biasanya terkait produksi unggas yang intensif (peternakan pabrik) serta sistem perdagangan dan pemasaran yang terkait. Marius Gilbert, seorang ahli epidemiologi di Université Libre de Bruxelles di Belgia, menjelaskan: “Sebagian besar virus yang beredar pada burung liar tidak berbahaya dan hanya berefek ringan.” Namun, ketika virus masuk ke dalam peternakan pabrik, ia mengalami “perubahan evolusioner, yang sebagian besar terkait kondisi peternakan hewan itu. Kami telah melihat patogenisitas virus patogen rendah meningkat di peternakan.” (Vidal 2021: 1) Sebagai hasil industrialisasi peternakan dan eksperimen hewan dalam penelitian peningkatan-fungsi, jenis tertentu dari Flu Burung sekarang membawa potensi pandemi yang signifikan.
Peternakan pabrik juga merupakan salah satu pendorong utama resistensi antimikroba (AMR) karena sebagian besar antibiotik (sekitar 75% secara global) digunakan di peternakan pabrik pada hewan yang hidup dalam kondisi tidak alami dan tidak sehat di mana patogen menjadi resisten. Resistensi ini diperkirakan telah membunuh 1,27 juta orang pada tahun 2019 saja (bdk. RKI 2022: 2).
Secara keseluruhan, draf perjanjian ini tidak memberikan perhatian pada penyebab potensial utama kemunculan (seperti kebocoran laboratorium) dan persistensi (seperti kurangnya penyediaan pengobatan tuberkulosis manusia) penyakit menular mematikan yang tidak khususnya terkait antarmuka manusia-hewan-lingkungan sekaligus mengesampingkan sejumlah wawasan penting terkait pendekatan One Health.
IV. Menolak Kuasa Monopoli terhadap Kesehatan Global
A. Ancaman yang ditimbulkan monopoli
Kuasa monopoli tidak dianjurkan karena orang harus dapat memilih bebas, dan tidak seorangpun boleh menghalangi persaingan terhadap desain mereka. […] Sistem monopoli itu buas dan rakus, sebuah siklus yang mengubah uang menjadi kekuasaan menjadi uang menjadi kekuasaan. Kita harus memutus siklus ini. | Electronic Frontier Foundation (2021)
Demokrasi dipertahankan dengan menjaga nilai-nilai intinya, termasuk pada masa krisis, sekaligus mencegah pemusatan kekuasaan di tangan segelintir orang, dan memecah monopoli. Hakim Agung AS Louis Brandeis memperingatkan seabad lalu bahwa kita harus memilih antara konsentrasi kekayaan (dan kekuasaan) atau demokrasi, karena keduanya saling bertentangan. Presiden AS Franklin Roosevelt juga menyatakan serupa: “Kebenaran pertama adalah kebebasan dalam demokrasi tidak akan bertahan jika orang menolerir pertumbuhan kekuasaan privat melebihi kekuasaan publik.” Sistem anti-monopoli tidak hanya melindungi demokrasi tetapi juga memungkinkan pilihan bebas antara ide, membutuhkan pemikiran independen, mengarah pada penciptaan organisasi bebas, kepemilikan lokal, serta inovasi dan kualitas layanan. Konsentrasi kekuasaan akan lebih mudah mengorupsi proses politik, mengkompromikan sains, mengendalikan informasi, menekan persaingan dan menghilangkan pilihan. Aktor dan organisasi independen yang tidak terikat pada struktur kekuasaan terpusat telah terbukti penting dalam menantang dan melawan ketidakadilan akibat penyalahgunaan kekuasaan dalam sejarah.
Di bidang kesehatan global, kuasa monopoli, yang pada dasarnya membatasi pilihan, menghambat solusi lain, merusak sains, mengkompromikan proses politik, mengontrol arus informasi dan membungkam perbedaan pendapat, dapat menjadi sangat berbahaya karena bidang ini menyentuh kebutuhan paling mendasar manusia. Itulah sebabnya kolaborasi dan perkongsian internasional demi manfaat kesehatan global tidak dapat ditingkatkan dengan memberikan konsentrasi kekuasaan pada organisasi supranasional tidak terpilih, tidak akuntabel dan terkompromi seperti WHO. Berbagai bentuk solusi harus dicari dan dikembangkan untuk mengatasi tantangan terkait kesehatan global.
B. Siapa yang menjalankan WHO – realitas struktural
Gagasan mulia mengenai organisasi kesehatan global yang bekerja untuk umat manusia telah digantikan sebuah entitas yang sebagian besar didorong kepentingan finansial dan ideologis para pemangku kepentingan swasta dan segelintir negara kuat.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus berpose mendukung buku baru Bill Gates di Twitter.
Organisasi Kesehatan Dunia mengarahkan kepentingan beberapa negara kuat seperti Amerika Serikat dan Jerman (dua donor utama), kontributor swasta besar (terutama Bill & Melinda Gates Foundation dan Aliansi GAVI yang didanai Gates) dan Cina. Pada periode 2020-2021, Jerman dan Komisi Eropa memimpin donasi sebesar US$ 1.732 juta, diikuti korporasi-korporasi yang didominasi Gates sebesar US$ 1.183 juta, dan AS sebesar US$ 693 juta (bdk. WHO 2023c). Cina adalah donor terbesar ke-11 dengan kontribusi US$ 168 juta, tetapi memiliki pengaruh geopolitik yang signifikan, termasuk di Majelis Kesehatan Dunia.
WHO membedakan antara kontribusi wajib (AC) dan kontribusi sukarela (VC). Kontribusi wajib dihitung dari persentase produk domestik bruto setiap negara anggota dan mencakup kurang dari 20% dari total anggaran WHO. Kontribusi sukarela (VC) berasal dari negara anggota, yayasan swasta dan industri, yang mencakup lebih dari 80% anggaran. Hampir 90% kontribusi sukarela dialokasikan untuk program dan lokasi tertentu. (bdk. WHO 2023d) Di masa lalu, 80% dari total anggaran WHO berasal dari kontribusi wajib, dan WHO yang memutuskan cara membelanjakannya, sementara hanya 20% berasal dari kontribusi sukarela (bdk. Mischke & Pinzler 2017).
Karena dana sekarang diberikan bersyarat, WHO terkompromi sejumlah masalah terkait kepentingan pendananya. Sektor swasta dan juga kebanyakan aktor negara yang terikat dengan korporasi masing-masing (cth., korporasi Jerman termasuk Bayer yang membeli Monsanto, BioNTech atau Boehringer Ingelheim; korporasi AS termasuk Pfizer, Moderna, Merck atau Johnson & Johnson) tidak mungkin terlibat kecuali jika ada potensi keuntungan – finansial atau lainnya. Margaret Chan, Direktur Jenderal WHO sebelumnya, mengatakan pada tahun 2015: “Saya harus mengemis keliling dunia dan ketika mereka memberi uang, [ia] sangat terkait preferensi mereka, pilihan mereka. Mungkin bukan prioritas WHO, tapi jika kita tidak menyelesaikan masalah ini, kita tidak akan menjadi sehebat dulu.” (Franck 2018) Sejumlah pakar kesehatan dan antimonopoli global terkemuka serta organisasi internasional telah lama menyerukan reformasi menyeluruh terhadap WHO. Mereka sangat kritis terhadap pengaruh signifikan dari kepentingan korporasi swasta dan konglomerat Gates terhadapnya.
Setelah Gates dituduh memonopoli secara melanggar hukum melalui korporasinya dalam kasus United States v. Microsoft Corporation, dia beralih memusatkan kekuasaannya di bidang lain, terutama kesehatan masyarakat dan pertanian global. Bill & Melinda Gates Foundation adalah donor terbesar kedua WHO, sementara Gates juga mendirikan dan ikut mendanai Aliansi Vaksin (GAVI) dan CEPI. Karena kontribusi konglomerat Gates diperuntukkan bagi proyek tertentu, bukan WHO yang memutuskan cara membelanjakannya, melainkan Gates. Jadi, dia membayar WHO untuk menggunakan infrastruktur, staf dan kedudukan internasional WHO untuk tujuannya, sehingga mengubah WHO menjadi organisasi kontrak.
James Love (Knowledge Ecology International) – yang terlibat dalam kasus antimonopoli melawan Microsoft di Amerika Serikat, sebelumnya bekerja dengan Doctors Without Borders dan memainkan peran penting dalam perjuangan membuat pengobatan antiretroviral dapat diakses di Afrika – menyatakan bahwa para staf Gates datang dengan agenda eksplisit dan percaya bahwa orang pada umumnya tidak memahami pengaruh Gates Foundation pada praktiknya. Bill Jeffery (Centre for Health, Science and Law) menguraikan bahwa, sehubungan Gates Foundation, WHO menerima dana dari sebuah organisasi yang kesejahteraan finansialnya bergantung pada keberhasilan industri makanan olahan dan obat-obatan farmasi. Pada saat yang sama, sejumlah karyawan Gates Foundation yang terkemuka sebelumnya pernah bekerja untuk Monsanto (sekarang Bayer) yang memproduksi glifosat dan mencari kuasa monopoli global atas benih melalui modifikasi genetik. Oleh itu, Gates Foundation berkepentingan agar WHO mempromosikan produk farmasi dan kimia tertentu dan mencegah regulasi yang kaku terhadap mereka.
Thomas Gebauer (medico international) mengkritik diskresi berlebihan yang diberikan kepada satu badan global yang tidak dipilih dan tidak akuntabel: “Ini manifestasi struktur feodal. Sebagai masyarakat demokratis, kita harus sadar bahwa kita telah mengizinkan kemunculan struktur ini.” (Mischke & Pinzler 2017) Korporasi Gates, meskipun paling berpengaruh, bukanlah satu-satunya entitas swasta yang mengkompromikan WHO. Sejumlah yayasan swasta, seperti Rockefeller Foundation, juga berinvestasi di WHO, meskipun pada tingkat yang lebih rendah. Korporasi farmasi sendiri menyumbangkan jutaan dolar AS kepada WHO ketika ada keputusan WHO yang dapat mempengaruhi mereka. WHO menghargai hubungan jangka panjang dengan industri dan menggambarkannya sebagai mitra. Bahkan para kontributor negara utama, yang sebagian besar telah mengalokasikan kontribusi sukarela mereka, terikat dengan korporasi tertentu sehingga menimbulkan konflik kepentingan yang besar.
KM Gopakumar (Third World Network) juga mencatat bahwa kepentingan khusus tidak hanya memengaruhi WHO melalui donasi tetapi juga menempatkan personel di WHO untuk menjalankan program tertentu, sehingga mengarahkannya lewat dua jalur (bdk. ibid).
Menyerahkan lebih banyak kekuasaan atas kesehatan global, dan kewenangan mengarahkan Negara Pihak serta aktor non-negara di dalamnya, kepada WHO melalui usulan amandemen Regulasi Kesehatan Internasional (2005), tak pelak lagi memberikan kekuasaan berlebihan dan tidak demokratis kepada kepentingan khusus tidak akuntabel yang telah mengkompromikan WHO. Mereka tidak perlu lagi mengorupsi proses politik melalui transaksi rahasia, tetapi sekarang memiliki kekuatan hukum internasional. Prospek ini merupakan ancaman besar bagi sistem demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah, kedaulatan negara berpenghasilan rendah, dan kesehatan global itu sendiri.
C. Korupsi, keputusan buruk dan kesalahan fatal
Kerja WHO dalam bidang kesehatan sering kali tunduk pada kendala politik dan pengaruh meluas dari kepentingan khusus yang telah mengkompromikannya. Pada saat yang sama, birokrasi supranasional yang berbasis di Jenewa ini kekurangan pengawasan independen yang efektif, akuntabilitas dan kerendahan hati. Akibatnya, ia telah terlibat dalam korupsi dahsyat dan berulang kali melakukan kesalahan, menerapkan kebijakan dengan konsekuensi parah bagi kesehatan global, tanpa akuntabilitas apa pun. Ini adalah alasan lain mengapa kewenangannya – atau entitas lainnya – tidak boleh diperluas dengan dalih apa pun; apalagi diberikan kuasa monopoli atas aspek-aspek kesehatan global, yang akan sangat melebihi mandat awalnya. Contoh pengaruh yang tidak semestinya terhadap pengambilan keputusan WHO dan kegagalan fatal yang dilakukan olehnya diuraikan di bawah ini.
Pada bulan Juni 2009, Margaret Chan, Direktur Jenderal WHO, secara resmi mendeklarasikan pandemi influenza A/H1N1. Cohen & Carter (2010: 1) menulis: “Ini adalah puncak dari 10 tahun perencanaan kesiapsiagaan pandemi bagi WHO – bertahun-tahun pertemuan komite dengan para ahli yang diterbangkan dari seluruh dunia dan berlembar-lembar draf panduan kepada pemerintah.” Pada akhirnya, WHO membiarkan para saintis yang disponsori industri memandu kebijakan influenza. Negara-negara yang mengikuti rekomendasi WHO menggunakan uang pajak untuk membeli banyak produk farmasi dari korporasi yang sebelumnya menjadi tempat para saintis WHO bekerja. Cohen & Carter (2010: 1) melanjutkan: “Namun satu tahun kemudian, pemerintah yang menerima saran WHO membatalkan kontrak vaksin mereka, dan oseltamivir (Tamiflu) dan zanamivir (Relenza) yang ditimbun senilai miliaran dolar – yang dibeli dari anggaran kesehatan yang terbatas – menjadi terbengkalai di gudang di seluruh dunia. Investigasi bersama BMJ dan Bureau of Investigative Journalism telah menemukan bukti yang menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana WHO mengelola konflik kepentingan di antara para saintis yang memberi saran perencanaan pandemi.”
“Para saintis utama yang memberi saran kepada Organisasi Kesehatan Dunia tentang perencanaan pandemi influenza sebelumnya telah bekerja untuk korporasi farmasi yang kemudian mendapatkan laba dari panduan mereka. Konflik kepentingan ini tidak pernah diungkapkan secara terbuka oleh WHO, dan WHO telah menolak pertanyaan mengenai penanganan pandemi A/H1N1 sebagai ‘teori konspirasi’.”
Cohen & Carter (2010: 1)
British Medical Journal
Rekomendasi WHO, di negara-negara dengan pasar yang besar, menghasilkan laba miliaran bagi korporasi farmasi yang terhubung dengan para saintis yang merumuskan saran WHO. Selain itu, ada obat yang direkomendasikan yang dianggap para kritikus tidak efektif dalam pengobatan influenza A/H1N1. Pada tahun 2009, rekomendasi WHO tidak mengikat. Pelajaran dari pandemi influenza 2009 memberikan alasan kuat bahwa ia harus tetap seperti itu.
Selama wabah Ebola tahun 2014 di Afrika Barat, WHO tidak hanya gagal bereaksi secara memadai dan tepat waktu, tetapi juga mengecam organisasi internasional seperti Doctors Without Borders yang cepat tanggap. WHO menyatakan bahwa wabah itu tidak akan mengarah pada epidemi, yang terbukti salah. Selama berbulan-bulan, Doctors Without Borders mengorganisasi dan mengoperasikan bantuan darurat dengan terkadang mengerahkan hingga 2.400 staf. Lebih dari 11.300 orang meninggal selama epidemi Ebola ini. Hanya setelah PHEIC diumumkan pada bulan Agustus 2014, komunitas internasional mulai bertindak efektif untuk menghentikan wabah. Seandainya WHO dan komunitas internasional bereaksi tepat waktu, lebih banyak nyawa bisa diselamatkan. (bdk. Mischke & Pinzler 2017) Gostin & Katz (2016: 274) menulis: “Penundaan itu semakin terlihat buruk seiring waktu, karena dokumen WHO yang bocor menunjukkan bahwa keputusannya sangat politis dan kurang transparan.”
“Setelah kami mengatakan secara organisasional pada Juni [2014] bahwa Ebola tidak terkendali, butuh waktu hingga Agustus bagi WHO untuk menyimpulkan serupa. Terutama pada awalnya, WHO melontarkan tuduhan kepada kami sebagai sebuah organisasi, bahwa kami menakut-nakuti dan membunyikan alarm untuk sesuatu yang tidak perlu.”
Tankred Stöbe
Doctor Without Borders
(Mischke & Pinzler 2017)
Tankred Stöbe (Doctors Without Borders) menjelaskan bahwa Ebola adalah penyakit terabaikan yang tidak mendapatkan perhatian saintifik karena menyerang orang miskin di negara berpenghasilan rendah yang jauh dari pasar yang menguntungkan bagi industri. Oleh itu, dana bagi unsur WHO yang bertanggung jawab atas Ebola telah dipotong setengahnya sebelum wabah tahun 2014. (bdk. Mischke & Pinzler 2017)
Sehubungan pandemi COVID-19, Panel Independen untuk Kesiapsiagaan dan Respons Pandemi (IPPPR) yang dibentuk WHO menemukan bahwa “pilihan strategis yang buruk” oleh pemerintah dan juga WHO yang berkontribusi pada “campuran racun yang mengizinkan memungkinkan pandemi berubah menjadi bencana kemanusiaan dahsyat.” (Kupferschmidt 2021: 1) Panel itu melihat solusinya pada lebih banyak sentralisasi dan kekuasaan kepada WHO. Sebaliknya, pemerintah nasional dan WHO perlu dimintai pertanggungjawaban; pengambilan keputusan perlu didiversifikasi.
Baik pemerintah maupun WHO telah membuat pilihan yang buruk sejak awal. Informasi mengenai sifat wabah serta laporan dari dokter garis depan di Cina dari Wuhan tentang gejala penyakit mirip SARS pada pasien mereka secara sistematis ditindas pemerintah Cina pada akhir 2019. WHO secara luas menyebarkan disinformasi oleh otoritas Cina melalui media sosial bahwa tidak ada bukti penularan SARS-CoV-2 dari manusia-ke-manusia pada pertengahan Januari 2020, meskipun para saintis terkemuka mengetahui hal ini dan telah mengatakannya. Baru pada tanggal 20 Januari 2020, pemerintah Cina mengakui secara resmi bahwa penularan dari manusia-ke-manusia sedang terjadi.
WHO mengumumkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional (PHEIC) pada 30 Januari 2020. Selama PHEIC, WHO menyebarluaskan sejumlah teori yang salah (cth., COVID tidak menular melalui udara, dll.), meremehkan kekebalan alami, menerbitkan pernyataan kontradiktif (memperingatkan agar tidak mencabut karantina wilayah terlalu dini, lalu memuji Swedia yang mengabaikan karantina wilayah) dan tertinggal dari dokter garis depan yang independen dan inovatif (misalnya, dalam hal penggunaan kortikosteroid di rumah sakit).
WHO awalnya tidak merekomendasikan kortikosteroid pada COVID tingkat lanjut – tidak seperti dokter yang merawat pasien di rumah sakit (ia terkontraindikasi pada COVID tingkat awal) – lalu kemudian sangat merekomendasikannya karena manjur dalam mengurangi kematian pada COVID yang parah.
Seawal Maret 2020, sejumlah dokter terkenal – dari berbagai belahan dunia – melaporkan keberhasilan mereka dalam terapi COVID, terutama ketika diobati lebih awal. Mereka mengembangkan dan menerbitkan protokol pengobatan yang aman dan efektif (yang utamanya berisi obat-obatan paten yang disesuaikan), hampir tidak ada pasien meninggal ketika terapi dimulai lebih awal. Dengan penilaian klinis yang independen, mereka memberikan solusi yang lebih baik daripada WHO dan lembaga kesehatan nasional.
Beberapa pemerintah daerah, mulai dari Misiones di Argentina hingga Mexico City dan wilayah Uttar Pradesh di India, berhasil menerapkan variasi protokol pengobatan ini secara mandiri, dan berhasil menurunkan angka kematian dan rawat inap secara signifikan.
Salah satu kejahatan terbesar dari pandemi COVID adalah penyembunyian dan pembungkaman protokol pengobatan ini oleh badan kesehatan nasional serta WHO karena kepentingan dan fokus pada pelaksanaan kampanye vaksinasi di seluruh dunia. Seandainya ada pengobatan dini yang diakui untuk COVID, produk mRNA yang baru dan menguntungkan, yang diinvestasikan secara signifikan oleh sejumlah pemerintah kuat serta penyandang dana swasta WHO seperti Bill & Melinda Gates Foundation sejumlah jutaan dolar AS, tidak akan mendapatkan otorisasi penggunaan darurat.
Grafik hasil program pengobatan dini (hijau = pengobatan dini, biru = tidak ada pengobatan dini) oleh provinsi Misiones di Argentina yang menyimpulkan: “Insiden rawat inap dan kematian menurun drastis pada populasi yang mengikuti pengobatan dini”.
(Kementerian Kesehatan Masyarakat di Misiones dkk.. 2021)
Kelompok dokter dan analis data profesional menghitung 70-80% kematian global COVID dapat dihindari dengan pengobatan dini yang sistematis. Pembungkaman terapi kombinasi COVID yang aman dan efektif tetapi tidak menguntungkan oleh badan pemerintah federal, kepentingan korporasi, serta organisasi seperti WHO mengakibatkan penderitaan dan kehilangan nyawa yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga bisa dianggap kejahatan terhadap kemanusiaan.
Singkatnya, kuasa monopoli tidak boleh diberikan kepada satu orang, organisasi, atau pemerintah. Jika ada entitas dengan kekuasaan seperti itu dan pada saat yang sama memiliki konflik kepentingan, niat buruk, atau informasi yang tidak akurat, maka akan sulit melawannya – dengan konsekuensi yang sangat buruk bagi seluruh masyarakat. Itulah salah satu alasan mengapa penting memiliki cabang kekuasaan yang beragam dan mekanisme kontrol demokratis yang efektif.
V. Jalan Lebih Baik untuk Kesehatan Masyarakat Global
Bab ini menyarankan tindakan penting yang diperlukan para pemimpin dan organisasi nasional maupun internasional untuk memberi manfaat bagi kesehatan masyarakat global sambil mencegah penumpukan kekuasaan yang tidak demokratis dan terkonsentrasi. Tindakan legislatif dan edukatif yang diusulkan, antara lain, didasarkan pada pelajaran dari fase perkembangan pandemi COVID yang berbeda. Fase 1 terkait asal usul SARS-CoV-2 – yang kemungkinan besar terletak pada penelitian peningkatan-fungsi. Fase 2 terkait dengan wabah dan penyebaran awalnya. Fase 3 adalah tentang periode di mana terjadi dampak utama dalam kematian, yang dapat dikurangi secara signifikan dengan pengobatan yang aman dan efektif yang sudah ada. Fase 4 terkait periode pemulihan yang membutuhkan penilaian jujur dan tindakan akuntabilitas.
A. Desentralisasi kontrol dan hak individu
Berdasarkan pelajaran dari pandemi COVID dan untuk meningkatkan kesiapsiagaan serta respons terhadap kedaruratan kesehatan internasional, pendekatan lokal yang lebih terdesentralisasi dalam pengambilan keputusan daripada yang dipraktikkan saat ini, dan yang lebih dekat dengan orang di lapangan sangat penting. Sementara itu, keputusan tentang penggunaan produk medis berada di tangan individu berdasarkan konsep hukum persetujuan berdasarkan informasi utuh.
Solusi yang berhasil harus cepat dipresentasikan dalam forum kolaborasi internasional untuk menganalisis dan mendiskusikan apa yang paling berhasil dalam situasi tertentu dan untuk mengidentifikasi serta berbagi sumber daya yang dibutuhkan. Kepercayaan dan kepemimpinan harus dibangun berdasarkan kompetensi dan solusi yang berhasil, bukannya seruan kepatuhan terhadap otoritas dan kekuasaan – yang tidak kritis – dan berbahaya.
Sementara pemerintah federal dan lembaga kesehatan mereka serta organisasi supranasional seperti WHO dan pemangku kepentingan swasta gagal dalam banyak hal selama pandemi COVID dengan konsekuensi fatal, sejumlah pemerintah daerah dan dokter garis depan serta inisiatif berbasis agama telah membuktikan keberhasilan mereka. Sejumlah pemerintah daerah berhasil mendistribusikan peralatan pengobatan dini yang aman dan efektif. Beberapa dokter garda depan yang luar biasa memberikan peringatan dini dan protokol perawatan yang berhasil saat berada di bawah tekanan posisi resmi. Sejumlah inisiatif lokal, seperti upaya seorang pendeta Kristen di Peru, mengorganisasikan peralatan darurat (cth., oksigen) untuk masyarakat. Aktor-aktor di atas memiliki etika kuat serta hubungan dekat dengan apa yang terjadi di lapangan dan orang yang terkena dampak bencana. Mereka tidak melepaskan tanggung jawab pribadi kepada otoritas terpusat, sehingga menyelamatkan kehidupan ratusan ribu orang.
Tindakan-tindakan berikut harus diambil secara nasional dan internasional:
❖ Usulan amandemen Regulasi Kesehatan Internasional (2005) dan perjanjian/kesepakatan pandemi (WHO CA+) seperti yang diuraikan dalam draf nolnya harus ditentang dan ditolak ketika sampai pada tahap pemungutan suara. Jika disahkan, negara-negara harus memilih keluar dari Regulasi yang telah direvisi itu dalam waktu 10 bulan dan menolak ratifikasi perjanjian tersebut. ❖ Legislasi yang membatasi organisasi supranasional agar hanya menyediakan forum untuk pertukaran, saran dan kemampuan merespons harus diajukan, disahkan dan diterapkan. Ia tidak memiliki mandat rakyat, tidak tunduk pada mekanisme kontrol demokratis, dan tidak memiliki akuntabilitas untuk menerapkan aturan atau kebijakan. Badan supranasional seperti WHO juga harus mendapatkan sebagian besar dananya dari negara anggotanya, yang tidak boleh mengalokasikan kontribusi mereka untuk memungkinkan organisasi tersebut bertindak bebas dari kepentingan nasional. Untuk mencegah korupsi lebih lanjut, ia juga harus dilarang menerima dana dari pemangku kepentingan swasta dan korporasi yang memiliki kepentingan keuangan terkait dengan isu-isu yang ditanganinya. ❖ Kontrol kebijakan kesehatan harus didesentralisasi melalui tindakan legislatif, di mana pemerintah lokal, parlemen lokal, pengadilan dan referendum berperan lebih sentral daripada pemerintah federal. Legislasi juga harus mencegah kuasa pengambilan keputusan yang dapat mengesampingkan lembaga demokratis nasional dari dimiliki badan supranasional yang tidak dipilih. ❖ Perlu diajukan, disahkan dan diterapkan legislasi yang memberikan perlindungan hukum kuat atas hubungan dokter-pasien, serta konsep hukum tentang persetujuan berdasarkan informasi utuh, yang memberikan hak eksklusif kepada pasien memutuskan perawatan medis sendiri. Campur tangan pihak luar dalam hubungan dokter-pasien, baik oleh pemerintah, lembaga kesehatan maupun administrator rumah sakit, harus dilarang. ❖ Perlindungan hukum harus diberikan bagi penggunaan obat/zat aman yang tidak memiliki paten, bahkan ketika kepentingan industri membatasi penggunaannya. ❖ Konflik kepentingan yang telah mengkompromikan sejumlah besar pemerintah, lembaga kesehatan, sains dan dunia akademis, organisasi internasional dan badan supranasional harus diselidiki dan diekspos dengan saksama. |
B. Hak privasi: ID digital, sertifikat digital, dan data (kesehatan) pribadi
Mekanisme totaliter seperti Sistem Kredit Sosial di Cina bergantung pada kontrol absolut atas semua data pribadi oleh segelintir orang. Hal ini dimungkinkan oleh teknologi pengintaian digital dan Kecerdasan Buatan (AI) – yang pada akhirnya dapat lepas dari kendali manusia. Orang seharusnya tidak hidup di dunia di mana jenis kontrol seperti ini ada secara global. Tindakan seperti ID digital dan sertifikat (kesehatan) digital menggerakkan dunia ke arah mengerikan di mana setiap aspek kehidupan seseorang dipanen, dianalisis, dan diperdagangkan sebagai produk oleh entitas swasta dan pemerintah. Privasi seseorang dipelajari, dimonetisasi, dan dijual.
“Mereka menginvasi kehidupan pribadi kita melalui pengintaian, mereka mengekstrak kehidupan kita, menjadikan ekstrak ini sebagai data perilaku dan kemudian mengklaim data ini sebagai milik mereka.”
Shoshana Zuboff
(Profesor Emeritus, Universitas Harvard)
Pada akhirnya, sejumlah aktor politik dan korporasi menganggap individu sebagai hewan retasan, istilah dari ideolog Forum Ekonomi Dunia, Yuval Harari. Artinya, sejumlah entitas swasta dan pemerintah percaya bahwa mereka dapat membuat orang melakukan apa saja (baik di bidang ekonomi maupun politik) dengan memanipulasi mereka berdasarkan pesan psikografis dan alat lainnya. Segala bentuk data pribadi adalah aset bagi mereka membangun pandangan menyeluruh tentang seseorang.
Sistem pengintaian digital dalam bentuk sertifikat digital memiliki fungsi yang memberdayakan segelintir orang untuk menundukkan massa. Seperti contoh di Cina atau Indonesia, sertifikat kesehatan digital digunakan untuk mengontrol pergerakan dan mencapai kepatuhan terhadap arahan terpusat, terlepas dari apakah arahan tersebut memiliki alasan yang tepat atau tidak.
Di sejumlah negara, sertifikat kesehatan digital digunakan – bertentangan dengan etika dasar – untuk memaksa penggunaan produk medis yang kemudian terbukti memiliki potensi efek samping yang fatal dan tidak dapat menghentikan infeksi atau penularan. Pada satu titik, orang yang telah menggunakan produk medis tetapi terinfeksi masih dapat pergi ke berbagai tempat, orang yang sebaliknya malah tidak. Hal ini menunjukkan kesewenang-wenangan menerapkan arahan, bahkan jika dampaknya negatif bagi kesehatan masyarakat.
Tindakan-tindakan berikut ini harus diambil secara nasional dan internasional:
❖ Segala bentuk ID digital dengan konsolidasi semua data terkait seseorang pada satu titik referensi harus dilarang melalui tindakan legislatif yang memadai. Titik referensi digital tunggal semacam ini menimbulkan risiko signifikan terhadap hak individu, keamanan data, serta keamanan nasional yang dapat disalahgunakan oleh aktor anti-demokrasi dan entitas yang tidak bersahabat. ❖ Tindakan edukatif untuk menjelaskan bahaya ID digital harus dimulai dan diterapkan. ❖ Penambangan digital serta kontrol atas data (kesehatan) pribadi perlu dikriminalisasi melalui undang-undang. Hak privasi – terutama dalam hal kesehatan – adalah landasan demokrasi. ❖ Tindakan legislatif harus memastikan bahwa orang adalah pemilik data mereka sendiri setiap saat dan persyaratan dari entitas swasta atau negara yang melanggar norma ini harus dilarang. ❖ Organisasi nasional dan internasional harus meneliti pertanyaan berikut: Siapa pemilik dan pengendali data kita? Siapa beruntung dari perdagangannya? Mengapa kita tidak bisa menentukan siapa yang mendapatkannya? |
C. Kebebasan berbicara, hak berbeda pendapat, dan perkongsian informasi
Khosla & McCoy (2022: 1-2) menulis: “Menoleransi perbedaan pendapat tidak hanya menandai kemampuan menantang dan meminta tanggung jawab pemerintah (dan aktor kuat lainnya) serta kesediaan menghormati pandangan minoritas, tetapi juga menganjurkan perdebatan dan musyawarah untuk mendorong perubahan sosial dan pembangunan yang positif. Ia dapat membantu memperkaya opini publik, mengubah kebijakan, mempercepat reformasi, serta mendorong dan melindungi hak asasi manusia lainnya. Ia telah menjadi pusat kemajuan kesetaraan gender dan hak perempuan serta penghentian penindasan etnis dan ras seperti kasus gerakan hak sipil di Amerika Serikat dan gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan. Ia telah menjadi unsur penting dalam banyak kampanye berhasil yang bertujuan melindungi lingkungan hidup dari bahaya dan kerusakan. Di bidang kesehatan, perbedaan pendapat berperan penting dalam akses terhadap pengobatan pandemi HIV. […] Hak berbeda pendapat harus dihormati dan dipandang sebagai ekspresi demokrasi dan kebebasan yang sehat, dan kita harus secara sadar berusaha terus memantau dan melindungi hak ini. […]
“Tidaklah cukup mengizinkan perbedaan pendapat. Kita harus menuntutnya. Karena ada banyak hal yang harus ditentang.”
Robert F. Kennedy (1966)
Suara para profesional kesehatan […] sangat penting dalam memastikan tindakan pengendalian pandemi tidak disalahgunakan sebagai dalih menekan hak asasi manusia, menangkap jurnalis dan aktivis atau mengajukan undang-undang otoriter untuk memerangi ‘berita palsu’. […] Pekerja kesehatan global memiliki peran penting melindungi, melestarikan, dan memajukan pemikiran kritis. Saat kita menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, semakin penting meneguhkan dan mempertahankan prinsip dasar hak asasi manusia ini.”
Penyensoran terhadap kebebasan berbicara dan pers yang tidak melanggar konstitusi demokratis yang berlaku (cth., tidak menyerukan kekerasan terhadap seseorang atau kelompok) harus diekspos sebagai pelanggaran konstitusional dan hak asasi manusia. Kebebasan berbicara dan kebebasan pers adalah perlindungan penting terhadap tindakan melampaui batas oleh rezim berkuasa. Pembentukan kompleks industri penyensoran – yang terkait erat dengan cabang eksekutif pemerintah, entitas keamanan nasional, dan pemangku kepentingan swasta – bersifat anti-demokratis dan merupakan upaya subversi terhadap hak asasi manusia dan hak konstitusional rakyat dengan dalih yang keliru. Tujuan kompleks ini bukan memerangi berita palsu, melainkan mengendalikan konten dan arus informasi. Adalah naif dan berbahaya jika kita percaya bahwa para penyensor pasti selalu berada di pihak yang benar atau selalu tahu apa yang benar. Informasi paling baik dipisahkan dari misinformasi melalui pertukaran terbuka dan wacana berbasis bukti terbaik yang ada. Penyertaan berbagai perspektif berkualitas, termasuk yang menyimpang dari posisi resmi, akan menguntungkan masyarakat pada masa krisis dan setelahnya, memberikan keseimbangan dan dapat membongkar paradigma yang salah.
Kebebasan berbicara juga merupakan penjamin terbaik atas perkongsian informasi secara dini dalam kasus kedaruratan kesehatan internasional. Gostin & Katz (2016: 279-280) menulis: “Meskipun IHR [2005] menyerukan perkongsian informasi yang jelas melalui pelaporan potensi PHEIC dan permintaan data tindak lanjut, negara-negara terus menunda pemberitahuan dan/atau membatasi informasi yang dilaporkan. […] Pemerintah memiliki alasan ekonomi untuk menahan atau menunda perkongsian informasi yang transparan. […] Namun, kegagalan meningkatkan kewaspadaan global pada akhirnya dapat berdampak lebih besar dalam hal kehidupan manusia dan kekayaan nasional.”
Pelapor dan petugas garis depan adalah sumber paling penting untuk mendapatkan informasi dan peringatan dini tentang potensi ancaman terhadap kesehatan global, bukan pemerintah. Para dokter di Wuhan, Cina, dengan cepat menemukan kelompok pneumonia mirip SARS yang tidak biasa dan tidak diketahui asalnya pada akhir 2019. Namun, mereka tidak menikmati kebebasan berbicara atau akses ke forum dan jaringan tinjauan internasional. Sebaliknya, mereka dibungkam sementara informasi mereka ditekan. Usulan amandemen IHR dan perjanjian pandemi, jika diadopsi, akan semakin melembagakan dan melegitimasi penyensoran semacam ini. Mereka juga akan memberikan lebih banyak kekuasaan kepada Direktur Jenderal WHO untuk mendefinisikan apa yang terjadi atau tidak terjadi dalam situasi tertentu. Namun, selain tidak dipilih dan tidak bertanggung jawab, dia juga tidak independen dari kepentingan negara dan pemangku kepentingan swasta yang mendanai WHO.
Tindakan-tindakan berikut ini harus dilakukan secara nasional dan internasional:
❖ Perlindungan terhadap pelapor harus lebih kuat dibakukan dalam hukum nasional dan internasional. Organisasi nirlaba yang beragam harus menyediakan forum dan jaringan yang aman bagi para pelapor dan juga untuk menyebarluaskan pesan mereka setelah ditinjau dari kekuatan informasinya. Pelapor harus menikmati perlindungan internasional khusus yang serupa dengan saksi kasus kejahatan terorganisir. ❖ Tindakan legislatif dan edukatif, untuk mengekspos dan mengakhiri pembatasan kebebasan berbicara dan kebebasan pers yang merupakan subversi hak asasi manusia dan hak konstitusional, harus diajukan dan diterapkan. ❖ Tindakan edukatif harus dilakukan dan tindakan legislatif harus segera diajukan, disahkan dan diterapkan untuk mengekspos dan membongkar kompleks industri penyensoran yang anti-demokratis. ❖ Investasi di korporasi media, baik melalui iklan atau cara lain, oleh industri farmasi atau aktor yang memiliki saham di industri itu harus dilarang karena pengaruhnya yang tidak semestinya terhadap pers sehingga menghalangi peliputan yang berimbang atas fakta dan peristiwa. ❖ Pemangku kepentingan swasta secara hukum hanya boleh menyumbang lebih dari US$ 50.000 per tahun kepada dua korporasi media, baik sebagai pribadi atau melalui entitas organisasinya, untuk menghindari pemusatan kekuasaan oleh satu entitas pada spektrum yang luas di berbagai media. |
D. Perkongsian internasional dan integritas proses regulasi
Ada kebutuhan untuk kolaborasi internasional yang lebih baik dan perkongsian yang lebih luas, baik dalam keadaan darurat maupun non-darurat. Kolaborasi global sejati dapat dicapai melalui forum yang memungkinkan partisipasi masyarakat sipil. Perkongsian obat-obatan dan produk kesehatan yang aman dan efektif secara global kepada mereka yang membutuhkan harus diterapkan melalui sistem internasional yang beragam, serta melalui organisasi nirlaba berbasis agama dan lainnya yang memiliki rekam jejak independen dari kepentingan korporasi dan nasional. Mereka harus sudah mendapatkan kepercayaan dan persetujuan masyarakat setempat, mengembangkan kemampuan respons cepat yang dapat diminta negara dan komunitas lokal, jika diperlukan, melengkapi kemampuan negara dan organisasi supranasional. Jadi, tidak ada entitas tunggal yang dapat membangun kuasa monopoli dan patronase tunggal, sehingga pilihan dan akuntabilitas makin besar. Pada saat yang sama, organisasi nirlaba berbasis agama dan lainnya yang tidak memiliki konflik kepentingan harus bekerja sama dengan komunitas lokal dan negara untuk secara sistematis membangun kapasitas mereka sendiri. Hal ini akan memungkinkan masyarakat mengurus dirinya sendiri dan sehingga dapat membantu orang lain.
Untuk proses regulasi produk baru, disarankan mencegah upaya pengabaian persyaratan kehati-hatian regulasi terkait uji klinis fase 1-3. Juga, Hak Mencoba bagi pasien yang menderita penyakit yang mengancam nyawa atau yang dapat mengubah hidup harus dibakukan dalam hukum nasional dan internasional.
Tindakan-tindakan berikut ini harus diambil secara nasional dan internasional:
❖ Forum yang membahas masalah internasional harus memungkinkan partisipasi masyarakat sipil yang aktif dalam proses pengambilan keputusan. ❖ Tanggung jawab distribusi amal obat-obatan yang aman dan efektif serta produk kesehatan lainnya harus diserahkan kepada berbagai organisasi nirlaba berbasis agama dan lainnya yang dipercaya di lapangan, memiliki kemampuan yang memadai dan tidak memiliki konflik kepentingan. ❖ Organisasi-organisasi itu juga harus bekerja sama dengan komunitas lokal dan negara untuk secara sistematis membangun kapasitas mereka sendiri. ❖ Upaya meremehkan proses regulasi dalam hal durasi dan kualitas uji klinis fase 1-3 harus dicegah. ❖ Hak Mencoba harus dibakukan dalam hukum nasional dan internasional. |
E. Penghentian pendanaan dan pengakhiran penelitian peningkatan-fungsi
Dokumen ini telah menguraikan risiko keamanan hayati yang luas terkait penelitian peningkatan fungsi yang menjadi perhatian pada bab-bab sebelumnya.
Tindakan-tindakan berikut ini harus diambil secara nasional dan internasional:
❖ Tindakan edukatif perlu diterapkan untuk menjelaskan sifat dan bahaya hayati penelitian peningkatan-fungsi. Para ahli tanpa konflik kepentingan harus diberi kesempatan mengedukasi tentang potensi risiko penelitian ini. ❖ Penelitian peningkatan-fungsi terkait SARS-CoV-2 di Wuhan, Cina, dengan menggunakan dana para pembayar pajak Amerika Serikat, serta pembungkaman sistematis terhadap informasi terkait penelitian itu perlu diungkap. ❖ Legislasi melarang penelitian peningkatan-fungsi, pendanaan dan alihdayanya harus diajukankan, disahkan dan diterapkan. |
F. Kerangka kerja dan pendekatan ideasional untuk kesehatan global
Perlindungan terhadap martabat, kesehatan, dan hak asasi manusia harus menjadi prinsip utama, indikator, dan hasil dari pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi. Setiap tindakan harus didasarkan pada martabat manusia dan hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut karena diberikan Tuhan. Sementara itu, ketika sampai pada pertanyaan tentang bagaimana menganalisis penyebab dan isu lain terkait kedaruratan kesehatan global secara ideal, tidak ada pendekatan tunggal yang dapat menjelaskan kompleksitas masalah ini. Negara, komunitas dan peneliti individu harus selalu terbuka terhadap sudut pandang yang berbeda.
Tindakan-tindakan berikut ini harus diambil secara nasional dan internasional:
❖ Perencanaan darurat harus memprioritaskan kembali kesehatan, martabat dan hak asasi manusia. ❖ Tindakan edukatif harus mengingatkan orang tentang, dan menempatkan fokus pada, pentingnya konsep martabat manusia dan hak asasi manusia serta sejarah tindakan melampaui batas oleh rezim berkuasa. ❖ Berbagai pendekatan yang masuk akal untuk kedaruratan kesehatan harus dipertimbangkan sambil memelihara integritasnya dari upaya penyalahgunaan. |
VI. Kesimpulan
Tujuan pendukung amandemen Regulasi Kesehatan Internasional (2005) dan perjanjian/kesepakatan pandemi WHO CA+ adalah meningkatkan kepatuhan terhadap kewajiban yang masuk akal di bawah IHR (2005) dan menghindari kepentingan nasional agar tidak menghalangi respons cepat tanggap terhadap keadaan darurat penyakit menular dengan memberikan kekuasaan baru kepada WHO yang memungkinkan sentralisasi kontrol politik yang lebih jauh. Mereka tidak memperhitungkan bahwa penyerahan kekuasaan seperti ini sekarang sama saja dengan menyerahkan lebih banyak kekuasaan kepada kepentingan khusus (nasional dan swasta) yang telah, sayangnya, mengkompromikan WHO dan menghambat respons cepat tanggap terhadap sejumlah keadaan darurat penyakit menular dan juga isu kesehatan global lainnya di masa lalu.
Mereka juga tidak memperhitungkan konsentrasi kekuasaan atau kuasa monopoli di tangan segelintir pihak tanpa mandat rakyat dan mekanisme kontrol konstitusional untuk mengendalikannya, pada dasarnya, mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan, melemahkan dan mengkompromikan proses demokratis, merusak sains, membatasi pilihan, menghambat solusi lain, memungkinkan kontrol terhadap arus informasi dan membungkam perbedaan pendapat.
Sejumlah usulan amandemen IHR dan perjanjian pandemi – jika disetujui – pasti akan digunakan untuk memajukan kepentingan beberapa aktor kuat yang telah mengkompromikan WHO dengan mengorbankan pihak lain. Mereka dapat menggunakan instrumen ini untuk menggantikan kolaborasi internasional dengan perintah terpusat yang tidak demokratis, mendorong penyensoran dan melegitimasi kartel yang memaksakan produk kesehatan yang menghasilkan laba daripada yang lebih manjur dengan kedok kesetaraan.
Kolaborasi dan perkongsian internasional untuk memberi manfaat bagi kesehatan global tidak dapat ditingkatkan dengan memberikan konsentrasi kekuasaan tidak demokratis kepada organisasi supranasional yang tidak dipilih, tidak akuntabel dan terkompromi. Itulah sebabnya amandemen Regulasi Kesehatan Internasional (2005) yang dibahas dalam Bab II dan perjanjian pandemi (WHO CA+) yang diuraikan dalam draf nolnya harus ditentang dan ditolak saat diajukan ke pemungutan suara. Jika lolos, negara-negara harus memilih keluar dari Regulasi yang telah direvisi dalam waktu 10 bulan dan menolak ratifikasi perjanjian tersebut. Selain itu, tindakan legislatif dan edukatif yang bijaksana, seperti diuraikan dalam Bab V dokumen ini, harus diajukan, disahkan dan diterapkan untuk melawan monopoli atau upaya monopoli, melindungi nilai-nilai inti demokrasi dan memberi manfaat bagi kesehatan masyarakat.
Referensi
COHEN, D., & CARTER, P. (2010). WHO and the pandemic flu “conspiracies“. BMJ; 340 :c2912 doi:10.1136/bmj.c2912.
FIDLER, David P. (2005). From International Sanitary Conventions to Global Health Security: The New International Health Regulations, Chinese Journal of International Law, Volume 4, Issue 2, NOVEMBER 2005, Pages 325–392, https://doi.org/10.1093/chinesejil/jmi029.
FRANCK, Lilian (2008). TrustWHO Documentary. https://vimeo.com/ondemand/trustwho/260921911.
GOSTIN, L. O., & KATZ, R. (2016). The International Health Regulations: The Governing Framework for Global Health Security. Milbank Q, 94(2), 264–313. https://doi.org/10.1111/1468-0009.12186.
GOV.UK (2023). Foreign Travel Advise, Indonesia. https://www.gov.uk/foreign-traveladvice/indonesia/coronavirus#:~:text=You%20will%20need%20a%20doctor’s,vaccination%20and%20covid19%20test%20requirements.
INDONESIAN EMBASSY (2023). Current Health Regulations at Entry. https://indonesianembassy.de/current-health-regulations-on-entry/.
KAHN, Laura H. (2023). The Seven Deadly Sins of Biomedical Research. Georgetown Journal of International Affairs. https://gjia.georgetown.edu/2023/03/03/the-seven-deadly-sins-ofbiomedical-research/.
KHOSLA, R., & MCCOY, D. (2022). Dissent and the right to protest in context of global health. BMJ Global Health 2022; 7:e011540. https://doi:10.1136/bmjgh-2022-011540.
KUPFERSCHMIDT, Kai (2021). ‘A toxic cocktail‘: Panel delivers harsh verdict on the world’s failure to prepare for pandemic. https://www.science.org/content/article/toxic-cocktailpanel-delivers-harsh-verdict-world-s-failure-prepare-pandemic.
MISCHKE, Tatjana, & PINZLER, Jutta (2017). Die WHO – Im Griff der Lobbyisten? L’OMS – Dans les griffes des lobbyistes? Arte. https://m.imdb.com/title/tt12336562.
MISIONES MINISTRY OF PUBLIC HEALTH ET AL. (2021). Resultados parciales del monitoreo en el uso ampliado de Ivermectina en pacientes positivos que lleva adelante Salud Pública junto a instituciones científicas. https://salud.misiones.gob.ar/resultados-parciales-del-monitoreoen-el-uso-ampliado-de-ivermectina-en-pacientes-positivos-que-lleva-adelante-salud-publicajunto-a-instituciones-cientificas/.
RKI (2022). The burden of antimicrobial resistance in G7 countries and globally. https://www.rki.de/EN/Content/infections/antibiotic/brochure_IHME_RKI.pdf?__blob=publicationFile#:~:text=Global%20context%3A%20a%20total%20of,directly%20attributable%20to%20antimicrobial%20resistance.
WHO (2023). Report of the Review Committee regarding amendments to the International Health Regulations (2005). https://apps.who.int/gb/wgihr/pdf_files/wgihr2/A_WGIHR2_5-en.pdf.
WHO (2023a). Article-by-Article compilation of proposed amendments to the International Health Regulations (2005) submitted in accordance with decision WHA75(9) (2022). https://apps.who.int/gb/wgihr/pdf_files/wgihr2/A_WGIHR2_7-en.pdf.
WHO (2023b). Zero draft of the WHO CA+ for the consideration of the Intergovernmental Negotiating Body at its fourth meeting. https://apps.who.int/gb/inb/pdf_files/inb4/A_INB4_3-en.pdf.
WHO (2023c). Our contributors. https://www.who.int/about/funding/contributors.
WHO (2023d). How WHO is funded. https://www.who.int/about/funding.
WORLD ECONOMIC FORUM (2022). Sustainable Development Impact Meetings 2022. Tackling Disinformation. https://www.weforum.org/events/sustainable-development-impactmeetings-2022/sessions/tackling-disinformation.
LAMPIRAN 1: LINIMASA
Amandemen Regulasi Kesehatan Internasional – Jan. 2021: Panel Independen untuk Kesiapsiagaan dan Respons Pandemi menyimpulkan bahwa IHR (2005) perlu diperbarui untuk memastikan WHO dan negara anggotanya lebih cepat tanggap terhadap risiko kesehatan global. – Jan. 2022: Pemerintahan Biden mengajukan proposal yang berdampak luas untuk amandemen IHR (2005). – Mei 2022: Dari 13 usulan, Majelis Kesehatan Dunia ke-75 hanya menerima usulan memperpendek periode penolakan amandemen dari 18 menjadi 10 bulan dan jangka waktu sebelum pemberlakuan amandemen dari 24 menjadi 12 bulan. Usulan lebih lanjut tunduk pada negosiasi tambahan. – Negosiasi usulan amandemen melibatkan negara-negara anggota serta pemangku kepentingan non-pemerintah yang memiliki hubungan dengan WHO. – Okt. 2022: Komite Peninjauan Peraturan Kesehatan Internasional (IHRRC) yang ditunjuk dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mulai bekerja untuk meninjau proposal dari Negara-negara Pihak. Proses IHRRC bersifat rahasia. – Pada Januari 2023, 16 Negara Pihak baik secara sendiri maupun bekerja sama dengan institusi regional (seperti Uni Eropa, WHO Wilayah Afrika, Uni Ekonomi Eurasia, dan MERCOSUR) telah mengajukan proposal. – Januari 2023: Komite Peninjau – yang ditugaskan merangkum usulan dari negara anggota dan pemangku kepentingan terkait – mengeluarkan laporan ringkasan kepada Direktur Jenderal yang akan menyampaikannya kepada negara anggota WHO sebelum Majelis Kesehatan Dunia ke-76. – Majelis Kesehatan Dunia ke-76 berlangsung dari tanggal 23-30 Mei 2023. – Jadwal resmi memperkirakan apa yang disebut Kelompok Kerja tentang Amandemen regulasi Kesehatan Internasional (2005) – yang terdiri dari delegasi terpilih dari Negara-negara Pihak – untuk menyusun proposal akhir selama tahun 2023 berdasarkan laporan Komite Peninjau. – Proposal akhir amandemen akan diserahkan kepada Direktur Jenderal pada awal tahun 2024, yang akan diteruskan kepada negara-negara anggota setidaknya empat bulan sebelum Majelis Kesehatan Dunia pada tahun 2024. Perjanjian Pandemi – Des. 2020: Presiden Dewan Eropa Charles Michel mengusulkan perjanjian pandemi WHO yang mengikat secara hukum; Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mendukung inisiatif ini. – Des. 2021: Badan Perunding Antar Pemerintah (INB) dibentuk WHO untuk bekerja menyusun perjanjian tersebut. – Putaran umpan balik INB melibatkan negara-negara anggota, aktor non-pemerintah yang berhubungan dengan WHO, dan para ahli terpilih untuk menyusun apa yang disebut Draf Nol Konseptual. – Nov. 2022: Draf Nol Konseptual diterbitkan untuk dipertimbangkan lebih lanjut oleh INB. – Des. 2022: Negara-negara anggota setuju mengizinkan Biro INB menyusun Draf Nol yang didasarkan pada Draf Nol Konseptual untuk menghasilkan perjanjian yang mengikat secara hukum. (Biro INB terdiri dari enam delegasi, satu dari setiap enam wilayah WHO, termasuk Ketua Bersama Roland Driece dari Belanda dan Precious Matsoso dari Afrika Selatan). – Negosiasi untuk Draf Nol dimulai pada 27 Februari 2023. – Dari bulan Maret hingga April 2023, INB bekerja untuk menyusun teks konsensus bagi instrumen akhir. – Pada bulan Mei 2023, laporan kemajuan dipresentasikan kepada Majelis Kesehatan Dunia ke-76. – Dari Mei 2023 hingga Maret 2024, INB akan berusaha menyelesaikan teks konsensus serta laporan prosesnya kepada Majelis Kesehatan Dunia. – Pada bulan Mei 2024, versi final dari draf perjanjian pandemi yang mengikat secara hukum akan dipresentasikan kepada Majelis Kesehatan Dunia ke-77. – Perjanjian pandemi WHO dipertimbangkan untuk diadopsi berdasarkan Pasal 19 Konstitusi WHO dengan pertimbangan tambahan mengenai kesesuaian Pasal 21. |
Lantai 1, 11 Laura Place, Bath, BA2 4BL
WWW.WORLDCOUNCILFORHEALTH.ORG
Penerjemah & Penyunting:
Surya & Afrilya |
Lisensi: CC BY-NC-SA (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/deed.en)