Dalam perkembangan hukum terbaru yang mengejutkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menggugat Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia (YAKIN) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tindakan ini menimbulkan kebingungan dan kritik karena, berdasarkan UU PTUN, hanya “badan atau pejabat tata usaha negara” yang bisa digugat di PTUN—sebuah kategori yang jelas tidak mencakup yayasan.
Pendaftaran 3 gugatan di PTUN Jakarta (http://sipp.ptun-jakarta.go.id/):
Fenomena ini semakin memperlihatkan ketidakpahaman KPU akan hukum, sebuah pola yang tampaknya berulang. Dalam persidangan sebelumnya di Komisi Informasi Pusat (KIP), KPU dan kuasa hukumnya, Muhammad Rullyandi, juga menunjukkan kekurangan serupa dalam memahami aspek hukum yang terkait, sampai-sampai harus mendapatkan ajaran dari majelis.
Saat ini, belum jelas apa isi dari tiga gugatan yang diajukan tersebut. Namun, mengingat ada tiga gugatan, dapat diasumsikan bahwa ini berkaitan dengan tiga putusan KIP di mana KPU diperintahkan untuk menyediakan data dan informasi terkait pemilu kepada YAKIN—putusan yang telah mereka langgar. KPU tidak hanya melewatkan batas waktu untuk mengajukan keberatan terhadap ketiga putusan tersebut (karena tidak memahami hukum), tetapi kini tampaknya mencoba taktik yang tidak masuk akal dan tanpa dasar hukum untuk membatalkan ketiga putusan tersebut. Upaya ini diprediksi akan gagal karena ketiga putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap dan tidak dapat lagi diajukan banding/keberatan.
Perincian tiga putusan KIP: Putusan Sengketa KIP YAKIN vs KPU – IT Pemilu, Kontrak Alibaba, Data Hasil, DPT
Dalam respons atas perilaku irasional dan niat buruk ini, YAKIN telah mengajukan permohonan eksekusi terhadap KPU ke Pengadilan Negeri. “Eksekusi” dalam konteks hukum adalah proses hukum di mana sebuah keputusan pengadilan ditegakkan secara paksa, termasuk dengan bantuan kepolisian jika perlu, untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum.
Permohonan ekseksui YAKIN terhadap KPU: YAKIN Ajukan Permohonan Eksekusi di PN Untuk Tiga Putusan KIP Terhadap KPU
Situasi ini mencerminkan periode suram bagi demokrasi Indonesia, di mana KPU menolak untuk menyediakan data vital pemilu yang telah diwajibkan oleh putusan pengadilan. YAKIN telah bertindak dengan niat baik, bahkan telah mengirimkan permintaan resmi kepada Presiden Republik Indonesia untuk membantu memastikan KPU mematuhi perintah pengadilan, sehingga eksekusi paksa, yang akan merusak reputasi KPU, tidak diperlukan. Namun, permintaan tersebut tampaknya diabaikan oleh Presiden tanpa ada tanggapan.
Pertanyaan besar yang mengemuka adalah mengapa KPU, sebagai badan yang seharusnya menjunjung tinggi nilai demokrasi dan keadilan, kini berperilaku seolah-olah berada di atas hukum? Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab, tidak hanya oleh mereka yang berada di dalam sistem hukum tetapi juga oleh seluruh warga negara yang mengharapkan transparansi dan keadilan dalam proses demokrasi.