Menurut narasi pemerintah dan media, Covid-19 adalah “pandemi” virus yang sangat berbahaya dan merupakan dasar untuk menyatakan “keadaan luar biasa yang membahayakan” dengan konsekuensi hukum sangat luas.
Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mencoba melindungi diri sendiri dari tanggung jawab apapun tentang tindakan mereka dan mengklaim imunitas, misalnya mengklaim bahwa mereka tidak bisa diguggat. Ini sudah terjadi dalam gugatan kami melawan Presiden dan Menkes (No. Perkara 61/G/TF/2022/PTUN-JKT di PTUN Jakarta; baca artikel), berikut adalah kutipan dari jawaban tergugat 1 (Menkes):
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka terbukti bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara a quo karena terpenuhinya unsur sebagaimana dimaksud Pasal 49 huruf a UU 5/1986 dimana tindakan faktual Para Tergugat yang mewajibkan vaksinasi COVID-19 dalam penanggulangan COVID-19 (Objek Gugatan) dikeluarkan atas keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu UU ’16/2018 dan UU 2/2020 yang kemudian ditindaklanjuti melalui Perpres, Permenkes, dan Kepmenkes sebagaimana yang telah diuraikan, sehingga kewajiban vaksinasi tersebut seluruhnya mengacu pada UU 2/2020, oleh karena itu terhadap kewajiban vaksinasi COVID-l9 (Objek Gugatan) berlaku ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020 yaitu: “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara“. Bahwa karena terpenuhinya unsur Pasal 49 huruf a UU 5/1986 dan Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020 maka Tergugat I memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Harus dicatat bahwa gugatan ini dalam proses persidangan dan klaim di atas sudah dibantah oleh kami. Sesuai jadwal persidangan akan ada keputusan paling lambat awal Juli 2022.
Pemerintah juga bahkan telah memberikan dirinya kekebalan dari tanggung jawab dan akuntabilitas untuk membelanjakan anggaran dari APBN dengan alasan “darurat” Covid-19. Masalah ini telah digugat ke MK dan pemerintah kalah, MK telah menjelaskan dalam keputusan bahwa kekebalan tersebut adalah inkonstitusional:
“Saldi menjelaskan Mahkamah mencermati adanya kata “biaya” dan frasa “bukan merupakan kerugian negara” dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Covid-19 yang tidak dibarengi dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pada akhirnya telah menyebabkannya menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum.
“Penempatan frasa ‘bukan merupakan kerugian negara’ dalam pasal tersebut dapat dipastikan bertentangan dengan prinsip due process of law untuk mendapatkan perlindungan yang sama (equal protection). Oleh karena itu, demi kepastian hukum norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Covid-19 harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa ‘bukan merupakan kerugian negara’ tidak dimaknai ‘bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan’,” urai Saldi.” Baca penjelasan MK lengkap.
Apakah “pandemi” Covid-19 adalah “keadaan luar biasa yang membahayakan” yang membenarkan pemerintah tidak bisa diminta tanggung jawab atas tindakan mereka? Mari kita coba cari tahu.
Covid-19 Berbahaya?
- “Kasus” bukanlah sesuatu yang berbahaya dan tidak berarti seseorang itu sakit. Jumlah “kasus” harus sepenuhnya diabaikan karena tidak berarti dalam konteks “membahayakan”.
- Pemerintah tidak pernah memberikan bukti bahwa “kasus” adalah seorang terinfeksi COVID-19. “Kasus” adalah seorang yang dites “positif”, dimana “positif” hanya berarti indikasi atau kecurigaan presensi bagian/fragmen dari virus Sars-Cov-2 dalam sampel. Tidak ada bukti antara tes positif dan infeksi karena metode tes RT-PCR dan antigen tidak cocok dan tidak mampu untuk mendeteksi infeksi virus. Karena metode tersebut bukan untuk mendeteksi adanya infeksi.
- Tes RT-PCR dan antigen kebanyakan disalahgunakan, misalnya dalam lingkungan penuh kontaminasi dan dengan “Nilai Ct” terlalu tinggi (misal: >30) yang terbukti menghasilkan banyak positif palsu (false positive).
- Jumlah orang yang dirawat inap “akibat” COVID-19 tidak dapat digunakan sebagai alat bukti untuk tingkat “bahaya” karena beberapa alasan. Banyak orang masuk rumah sakit karena penyakit lain tapi “dicovidkan” oleh tes PCR tanpa ada bukti infeksi. Banyak orang rawat inap dengan gejala sangat ringan yang tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit. Rumah sakit mendapatkan pembayaran tinggi untuk setiap pasien COVID-19, jadi ada insentif untuk memalsukan/“mengcovidkan” pasien dan hal ini banyak terjadi. Hal lainnya yang keliru dalam aturan rumah sakit adalah adanya SOP berupa tes PCR pada seluruh pasien yang masuk rumah sakit. Setiap pasien dengan gejala bukan COVID-19 akan dicatat sebagai sakit “akibat” COVID-19 dengan hasil tes PCR positif, padahal pasien-pasien tersebut membutuhkan perawatan yang benar sesuai jenis penyakit yang diderita. Kondisi banyaknya pasien yang tercatat “positif” COVID-19 memperburuk kondisi di rumah sakit karena salah pengobatan dan penggunaan obat yang terbukti tanpa manfaat dan sangat berbahaya seperti Remdesivir dan Azithromycin.
- Jumlah kematian “akibat” COVID-19 sepenuhnya salah. Banyak orang yang meninggal akibat penyebab lain dicatat sebagai akibat COVID-19 tanpa adanya hubungan apapun, hanya berdasarkan test PCR positif yang tidak berarti. Banyak orang yang sebenarnya meninggal akibat COVID-19 adalah yang sangat tua atau komorbid ekstrem yang juga akan meninggal dalam waktu dekat tanpa COVID-19. Banyak orang meninggal akibat salah pengobatan, misalnya obat yang sangat mematikan tanpa manfaat seperti Remdesivir, yang bahkan tidak direkomendasikan oleh WHO (baca artikel “Pengobatan Covid19 yang Mematikan”). Banyak orang komorbid meninggal karena salah pengobatan lain seperti kegagalan untuk menguji dan mengurangi gula darah (yang merupakan penyebab utama untuk penyakit berat dan kematian akibat COVID-19; baca artikel “Bagaimana Tanggung Jawab Kemenkes dan Rumah Sakit Perihal Covid 19?”). Terjadi banyak salah perawatan di mana pasien terinfeksi COVID-19 dan yang “dicovidkan” dengan penyakit berat lain diisolasi dan tidak menerima perawatan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup.
- Berdasarkan studi dan investigasi di beberapa negara lain, lebih dari 90% dari kematian yang dicatat sebagai akibat COVID-19 sebenarnya tidak akibat COVID-19 tapi penyebab lain.
- Angka kematian CFR (Case Fatality Rate) yang digunakan oleh pemerintah sebagai tolak ukur/indikator keparahan pandemi/bahaya tidaklah berarti. CFR menghitung berdasarkan jumlah tes yang dilakukan dan tidak pernah dapat menunjukkan seberapa berbahaya COVID-19 sebenarnya. Sesuai pedoman resmi WHO, penggunaan CFR di tengah “wabah” tidak berguna dan tidak direkomendasikan. Untuk mendapatkan gambaran akurat tentang tingkat bahaya harus menghitung IFR (Infection Fatality Rate) yang menunjukkan rasio antara semua orang yang terinfeksi dan yang meninggal. Sesuai data dari seluruh dunia, IFR COVID-19 adalah 0.1-0.3%, mirip/sedikit lebih tinggi dari IFR flu. Kita dapat menghitung estimasi IFR di Indonesia berdasarkan data dari Kemenkes (meskipun sudah terbukti bahwa jumlah kematian sebenarnya akibat COVID-19 jauh lebih rendah):
-
Orang yang terinfeksi: estimasi 260 juta (Menkes: 99,2 Persen Masyarakat Indonesia Sudah Memiliki Antibodi COVID-19)
- Orang yang meninggal: estimasi 150.000 (https://covid19.go.id/)
- estimasi IFR = 0.06%
Penyakit dengan angka kematian/IFR begitu rendah, mirip flu, dan hampir hanya berdampak pada orang yang sudah sangat sakit/komorbid, tidak membenarkan status “keadaan luar biasa yang membahayakan”. Lebih dari 99,9% populasi tidak dalam ancaman bahaya kematian akibat Covid-19 dan kelompok rentan dapat dilingungi dengan beberapa cara yang sudah terbuti efektif.
Jokowi sendiri telah menginstruksikan aparat untuk memalsukan “darurat”: “Saya ingin di setiap posko yang ada, baik di BNPB, di pusat, di daerah, di komite itu kelihatan sangat sibuk ke sana-ke sini itu lho. Itu auranya krisis itu ada”
Pada bulan Maret 2021 (Sebelum vaksinasi dan gelombang Delta), di waktu yang sama kebijakan pemerintah yang mewajibkan vaksinasi dilakukan, sudah tersedia data dari survei serologi di Jakarta yang menunjukkan bahwa hampir separuh dari penduduk sudah pernah terinfeksi COVID-19 (Pernyataan Anies: “Separuh Warga Jakarta Pernah Terinfeksi Virus Corona”) . Berdasarkan data tersebut dan jumlah orang yang meninggal, sudah jelas saat itu bahwa COVID-19 bukan penyakit yang sangat berbahaya karena IFR sangat rendah. Meskipun adanya fakta tersebut, pemerintah telah memperpanjang keadaan darurat dan membuat kebijakan kewajiban vaksinasi (dengan vaksin eksperimental tanpa bukti keamanan dan efektivitas) yang tidak sesuai dan tidak masuk akal, bersama dengan propaganda masif dan kebohongan yang merekayasa persepsi palsu pada masyarakat bahwa COVID-19 adalah virus yang sangat berbahaya dan mematikan. Ini adalah tindak pidana berdasarkan Pasal 14 UU 1/1946:
“(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.”
Berdasarkan data dan riset, polusi (udara) adalah penyebab penyakit dan kematian mirip/lebih parah dari COVID-19 kalau dibanding dengan data “resmi” COVID-19 (yang sangat dipertanyakan) atau jauh lebih parah kalau dibanding dengan penyakit dan kematian nyata dari COVID-19. Artikel “Di Tanah Air, ada 232.974 kematian akibat polusi pada 2017. Dari jumlah itu, 123.700 orang meninggal akibat polusi udara.”
Meskipun begitu banyak kematian, pemerintah tidak pernah mendeklarasikan “keadaan luar biasa yang membahayakan”. Sebaliknya, setelah pemerintah kalah di pengadilan dan diperintah untuk mengambil tindakan untuk mengurangi polusi udara, mereka mengajukan banding.
Ada banyak penyebab penyakit dan kematian besar lain yang dapat membenarkan deklarasi darurat, misalnya peningkatan dramatis PTM (Penyakit Tidak Menular) seperti diabetes dan obesitas yang disebabkan oleh konsumsi makanan tidak sehat dan gula, dan dapat diturunkan dengan intervensi drastis pada masyarakat. Tapi pemeritah bahkan tidak melakukan upaya yang paling dasar untuk menguranginya, misalnya kampanye edukasi masyarakat tentang bahaya gula dan makanan industrial untuk kesehatan. Baca juga artikel “Divaksinasi atau tidak, Cara untuk Menghindari Kematian akibat Covid 19“.
Untuk polusi dan PTM, bukti sebab akibat dengan kematian terbukti serta jumlah kematian tersebut lebih tinggi dari COVID-19 di mana sebab akibat dengan kematian tidak terbukti dan sangat dipertanyakan.
Kesimpulan: Pemerintah harus membuktikan “keadaan luar biasa yang membahayakan” sebagai berikut:
- Bukti antara tes COVID-19 dan infeksi virus Sars-Cov-2.
- Nilai Ct semua hasil tes PCR yang pernah menjadi “kasus” dan “kematian” dalam statistik COVID-19 nasional.
- Bukti bahwa semua pasien yang dicatat sebagai rawat inap akibat COVID-19 benar-benar membutuhkan perawatan di rumah sakit dan bahwa mereka sakit akibat COVID-19, bukan penyakit lain.
- Bukti tentang efektivitas dan keamanan perawatan dan pengobatan.
- Bukti sebab akibat antara kematian dan COVID-19 setiap orang yang dicatat sebagai meninggal “akibat” COVID-19. Setidaknya pemerintah harus membuka semua rekam medis dan data semua pasien yang dicatat meninggal “akibat” COVID-19 untuk memungkinkan ahli independen untuk membuat analisis data. (Identitas pasien bisa disamarkan untuk menjaga kerahasiaan data pribadi.)
- Diketahui sejak awal COVID-19 bahwa hanya orang yang sangat tua dan yang menderita komorbid berat tertentu dalam resiko penyakit serius dan kematian. Pemerintah harus membuktikan:
- Mengapa tidak cukup untuk mengidentifikasikan dan melindungi kelompok rentan saja sehingga tidak perlu menyatakan keadaan darurat umum.
- Apa upaya mereka untuk melindungi kelompok tersebut sebelum menjalankan keadaan darurat umum.
- Analisis risiko – manfaat yang dilakukan sebelum mendeklarasikan keadaan darurat.
- Memberikan semua data yang digunakan sebagai dasar untuk membuat kesimpulan bahwa COVID-19 sangat berbahaya dan membenarkan deklarasi status darurat.
Tanpa semua bukti tersebut, “keadaan luar biasa yang membahayakan” harus dianggap sebagai palsu atau direkayasa untuk kepentingan yang disembunyikan dan semua peraturan terkait tidak berlaku.
Pemerintah harus memberikan semua bukti, data, dokumen, kajian, kesimpulan dan semua informasi dan data terkait (termasuk yang di atas) yang menjadi dasar untuk menyatakan “keadaan luar biasa yang membahayakan” dan untuk mendeklarasikan darurat pandemi/membuat aturan terkait.
Semua peryataan dan klaim oleh WHO tidak dapat diterima sebagai dasar untuk “keadaan luar biasa yang membahayakan”. Tampaknya ada tekanan atau korupsi skala besar dan global, kita misalnya bisa melihat bahwa pemberi dana paling besar WHO adalah industri farmasi/vaksin dan bahwa WHO sebelumnya sudah pernah menjalankan penipuan dan pandemi palsu untuk kepentingan industri farmasi (Flu babi, Tamiflu dll; baca artikel tentang WHO “Organisasi Kesehatan yang Sebenarnya ‘Tidak Begitu Sehat’”). Beberapa pejabat pemerintah kunci dalam pandemi COVID-19 adalah anggota WEF (World Economic Forum) seperti Luhut, Erick Tohir, Anies Baswedan dll yang secara terbuka menjalankan agenda untuk “Great Reset” dan “Agenda 2030” (BPK: Indonesia Masuk Great Reset untuk Agenda 2030). WEF dan para anggota mereka secara terbuka ingin mengimplementasikan pemerintah dunia, depopulasi, komunisme “You will own nothing and you will be happy”, fasisme medis, kontrol total penduduk dengan alat-alat digital dan bahkan secara terbuka memanfaatkan COVID-19 untuk mengimplementasikan agenda mereka (Artikel “Very Detailed Explanation of the Great Reset and the New World Order“).
Bill Gates tidak dipilih oleh siapa pun dan tidak memiliki keahlian medis apapun, tetapi dia adalah pendana WHO terbesar dan juga salah satu pemegang saham terbesar di industri vaksin dan farmasi yang mendapat banyak manfaat/keuntungan dari “pandemi” COVID-19, telah bertemu dan mempengaruhi (menekan?) pemerintah Indonesia tentang kebijakan COVID-19. Dia secara terbuka mempromosikan depopulasi dengan vaksin, kontrol populasi otoriter, penindasan kebenaran & kebebasan berbicara dan menghabiskan miliaran dolar untuk mengendalikan sains dan membuat studi palsu yang mendorong keuntungan industri vaksin. Dia juga telah menjalankan uji coba vaksin eksperimental pada masyarakat miskin, termasuk anak-anak dan tanpa memberikan informasi tentang eksperimen dan resiko, di beberapa negara termasuk India, Vietnam dan di Afrika (artikel). Banyak anak diduga meninggal akibat eksperimen tersebut dan eksperimen dihentikan.
“Kami juga membahas minat Gates Foundation untuk bekerja sama dengan Biofarma dalam alih teknologi pengembangan vaksin mRNA,” tulis Erick Tohir di akun Instagram resminya, “Saya yakin kita akan mampu mendorong produk bioteknologi tanah air semakin berkembang”. Baca artikel CNBC “3 Menteri RI Temui Crazy Rich Bill Gates, Ada Deal Apa?”
Pemerintahan yang gagal, dikuasai oleh kepentingan asing dan koprorat, yang merekayasa kekebalan bagi dirinya sendiri untuk bebas dari tanggung jawab dan tuntutan hukum terhadap tindakannya adalah bahaya terbesar bagi demokrasi dan masa depan bangsa. Itu tidak dapat diterima dan harus dihentikan dengan segala cara legal yang mungkin dilakukan. Kita tidak ingin melengserkan suatu pemerintahan, melainkan besar harapan kami agar pemerintah melakukan tindakan yang benar dengan amanah jabatan yang diembannya.
Kita memang sedang dalam “keadaan luar biasa yang membahayakan”. Namun bukan karena virus, melainkan karena darurat konstitusi dan demokrasi.