Kepentingan transparansi dan akses terhadap informasi publik dalam proses demokrasi telah menjadi perdebatan panas di Indonesia, terutama setelah serangkaian putusan dari Komisi Informasi Pusat (KIP) yang memaksa Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuka informasi terkait Pemilu 2024. Meskipun putusan telah dikeluarkan, KPU hingga saat ini belum memenuhi kewajibannya untuk memberikan informasi yang diminta, dan kemungkinan eskalasi dalam bentuk putusan eksekusi dari Pengadilan Negeri (PN) menjadi semakin nyata.
Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia (YAKIN) telah berhasil memenangkan tiga sengketa terhadap KPU melalui putusan 001, 002, & 003/KIP-PSIP-A/II/2024 tanggal 3 April 2024 dari KIP. Ketiga Putusan tersebut memerintahkan KPU untuk mengungkapkan informasi terkait data hasil perolehan suara tingkat TPS, infrastruktur IT yang terkait dengan Pemilu 2024 (termasuk kontrak Alibaba Cloud), dan daftar pemilih tetap (DPT) untuk pemilu tahun 2019 dan 2024. Namun, meskipun putusan tersebut telah berkekuatan hukum, KPU belum mematuhi kewajibannya untuk memberikan informasi yang diminta.
Perincian tiga putusan KIP: Putusan Sengketa KIP YAKIN vs KPU – IT Pemilu, Kontrak Alibaba, Data Hasil, DPT
YAKIN telah mengajukan permohonan kepada KPU untuk mengkoordinasikan pelaksanaan putusan dengan cara yang bersahabat, dengan harapan KPU akan mematuhi putusan KIP tanpa perlu melalui proses eskalasi hukum. Namun, harapan tersebut terguncang ketika KPU menyatakan niatnya untuk mengajukan keberatan terhadap putusan tersebut. Berdasarkan informasi dari KIP tanggal 23 April, keberatan tersebut tidak diajukan, yang berarti ketiga putusan tersebut sudah memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat lagi diajukan keberatan. Tampaknya KPU gagal memahami hukum acara khusus Pemilu (Peraturan Komisi Informasi 1/2019) di mana keberatan harus diajukan dalam waktu 3 hari kerja setelah putusan, bukan 14 hari seperti biasanya. Perilaku ini menunjukkan ketidaksiapan KPU dalam memahami prosedur hukum yang berlaku, terutama dalam konteks pemilihan umum di mana transparansi dan akuntabilitas sangat penting.
Komunikasi email antara YAKIN dan KPU:
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi eskalasi dalam bentuk putusan eksekusi dari Pengadilan Negeri untuk memaksa kepatuhan KPU. YAKIN dan pihak-pihak yang peduli terus memantau perkembangan kasus ini, siap untuk mengambil langkah-langkah lebih lanjut jika KPU tetap menolak untuk mematuhi putusan KIP. Meskipun Pemilu 2024 telah berakhir, pentingnya informasi yang dibuka oleh KPU memiliki implikasi yang besar bagi proses demokrasi di masa depan, terutama menghadapi Pilkada yang akan datang pada bulan November.
Penolakan melaksanakan Keputusan 001/KIP-PSIP-A/II/2024 merupakan hal yang paling mengejutkan karena hanya tentang memberikan rincian suara dari hasil resmi Pemilu untuk setiap TPS. Jika Pemilu bersih seperti yang diklaim oleh KPU dan tidak ada kecurangan massal yang terjadi, mengapa mereka menolak untuk menyediakan data tersebut bahkan setelah diperintahkan untuk melakukannya oleh putusan KIP? Mungkin ada hubungannya dengan apa yang disampaikan oleh YAKIN kepada MK dalam amicus curiae brief: “Suara total Paslon dalam Sirekap adalah 128.074.781, padahal klaim KPU untuk hasil Pilpres adalah 164.227.475 suara.”
Perlu dicatat bahwa Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menegaskan pentingnya transparansi dalam data Pemilu dan infrastruktur IT KPU melalui putusan dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres. Ini menunjukkan bahwa KPU tidak hanya memiliki kewajiban hukum untuk mematuhi putusan KIP, tetapi juga tanggung jawab moral dan hukum untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum.
(Kutipan dari putusan MK No. 1/PHPU.PRES-XXII/2024, Halaman 1686: Bahwa sehubungan dengan hal tersebut, terkait dengan penggunaan Sirekap, menurut Mahkamah dalam rangka perbaikan ke depan, Sirekap sebagai alat bantu untuk kepentingan transparansi dan mengawal suara pemilih untuk diketahui lebih awal, teknologinya harus terus dikembangkan sehingga tidak ada keraguan dengan data yang ditampilkan oleh Sirekap. Untuk itu, sebelum Sirekap digunakan perlu dilakukan audit oleh lembaga yang berkompeten dan mandiri. Di samping itu untuk menjaga objektifitas dan validitas data yang diunggah, menurut Mahkamah perlu dibuka kemungkinan pengelolaan Sirekap dilakukan oleh lembaga yang bukan penyelenggara pemilu.)
Kasus ini memperlihatkan perlunya penegakan hukum yang tegas dan konsisten dalam memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas di tingkat institusional. YAKIN akan terus mengeluarkan pernyataan dan memantau perkembangan kasus ini, siap untuk bertindak jika diperlukan demi menjaga integritas proses demokrasi di Indonesia.