Dalam artikel ini kami memberikan update tentang status terkini gugatan terhadap Menteri Kesehatan dan Presiden tentang kewajiban vaksinasi Covid 19. Gugatan ini sedang berlangsung di PTUN Jakarta dengan No. Perkara 61/G/TF/2022/PTUN.JKT
Di akhir artikel kami akan memberikan dokumen asli lengkap yang sejauh ini telah diajukan dalam gugatan ini:
- Gugatan kami
- Jawaban oleh Menteri Kesehatan
- Replik kami atas Jawaban Menteri Kesehatan
Sebelum itu, kami memberikan beberapa “highlights” dari Jawaban Menteri Kesehatan bersama dengan penjelasan kami.
Anda juga dapat menonton podcast dengan Babeh Aldo di mana kami membahas beberapa highlights yang paling konyol dari jawaban Menkes:
__________
Menkes: “Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: … dalam waktu keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku“
Kami: Pemerintah mencoba mengklaim bahwa mereka kebal terhadap hukum. Hal ini tentu saja sangat tidak dapat diterima, alasan hukum yang rinci telah dicantumkan dalam dokumen gugatan di bawah ini dan kami telah menerbitkan artikel lengkap yang menjelaskan fakta mengapa tidak ada “keadaan luar biasa yang membahayakan”. Artikel: Covid-19: Darurat Palsu yang Direkayasa
___
Menkes: “Tujuan kewajiban vaksinasi untuk bebas dan terlindungi dari sakit berat bahkan kematian yang disebabkan oleh COVID-19”
Kami:
» Pemerintah sendiri sudah mengakui bahwa hampir hanya orang sangat tua dan/atau komorbid yang menjadi sakit berat atau meninggal akibat COVID-19 dan data dari seluruh dunia mengkonfirmasi fakta tersebut. Para penggugat adalah orang sehat dan tidak tua, jadi tidak membutuhkan dan tidak meminta perlindungan tambahan, terutama dari “vaksin” yang masih dalam tahap uji coba, tanpa adanya bukti jelas tentang efektivitas dan keamanan, tanpa analisis ilmiah resiko – manfaat dan tanpa jaminan atau tanggung jawab apapun oleh produsen. Ini juga merupakan prinsip dan hak dasar kesehatan, sesuai pasal 5 UU Kesehatan, bahwa setiap orang berhak untuk mengambil keputusan sendiri tentang kesehatan diri sendiri. Prinsip dan hak ini tentu saja berlaku untuk vaksin Covid-19 karena tidak mencegah penularan, keputusan untuk divaksin atau tidak divaksin tidak berdampak pada orang lain. Para penggugat memutuskan bahwa tidak ada manfaat, hanya resiko dari vaksinasi COVID-19 untuk diri sendiri dan para tergugat harus mematuhi hukum dan menghormati keputusan para penggugat tersebut.
» Pencegahan kematian tidak pernah diuji dalam uji klinik semua vaksin COVID-19
» Pernyataan ini oleh tergugat 1 tidak termasuk perlindungan dari penularan, hanya tentang penyakit dan kematian yang berdampak pada individu, ini dapat dibandingkan dengan minum alkohol, makan fast food dan konsumsi gula. Itu semua terbukti dapat menyebabkan penyakit berat dan kematian, tapi pemerintah tidak membuat pembatasan atau kewajiban. Karena hal yang berdampak pada kesehatan seseorang itu sendiri dan tidak berdampak pada orang lain adalah hal yang dilindungi oleh konstitusi dan UU Kesehatan. Kalau para tergugat ingin melindungi kesehatan individu, mereka harus konsisten dengan melarang merokok, konsumsi gula berlebih, fast food, alkohol dan juga mengambil tindakan untuk menghentikan polusi udara yang menyebabkan kematian ratusan ribu orang setiap tahun. Sebaliknya, dalam contoh polusi udara kita bisa melihat bahwa pemerintah mengajukan banding setelah putusan PTUN yang mewajibkan pemerintah mengambil tindakan untuk mengurangi polusi udara.
___
Menkes: “padahal vaksinasi telah terbukti tidak menimbulkan efek yang membahayakan bagi masyarakat yang sudah divaksin hal ini tentunya berlaku juga bagi Para Penggugat.”
Kami:
» Itu salah, tidak ada bukti bahwa tidak ada efek yang membahayakan, tapi banyak bukti tentang bahaya/resiko dan kejadian KIPI besar. Itu adalah klaim tanpa dasar atau bukti. Bahkan Kemenkes sendiri dalam pernyataannya di berbagai media mengakui adanya KIPI baik ringan maupun berat.
» Efektivitas negatif terhadap infeksi dan penularan yang menyebabkan kondisi darurat serta pembatasan diperpanjang akibat vaksinasi. Orang yang divaksinasi saling menularkan satu sama lain. Data dari seluruh dunia jelas membuktikan bahwa tingkat vaksinasi tinggi berkorelasi langsung dengan penularan tinggi, tingkat vaksinasi rendah berkorelasi langsung dengan penularan rendah.
___
Menkes: “Para Penggugat tidak memahami tujuan sepenuhnya kewajiban vaksinasi”
Kami:
» Itu benar, para penggugat tidak memahami tujuan kewajiban vaksinasi sama sekali dan itu telah menjadi alasan untuk mengajukan gugatan ini. Menurut penjelasan tergugat 1 dan akal sehat, tujuan utama kewajiban vaksinasi adalah untuk mencegah penularan, tapi pada kenyataannya vaksin COVID-19 tidak mencegah penularan, jadi aturan wajib vaksin tidak masuk akal sama sekali dan tidak mungkin untuk memahami tujuan dalam konteks kesehatan. Kalau dilihat dalam konteks menciptakan identitas digital terkait agenda 2030/”Great Reset” berdasarkan aplikasi seperti PeduliLindungi, kewajiban vaksinasi dapat dipahami, akan tetapi ini sepenuhnya ilegal dan merupakan pelanggaran konstitusi dan HAM (“BPK: Indonesia Masuk Great Reset untuk Agenda 2030” https://www.tribunnews.com/bisnis/2021/06/23/bpk-indonesia-masuk-great-reset-untuk-agenda-2030). Penggugat 1 sudah mengajukan gugatan tambahan terhadap tergugat 1 tentang hal ini. Ada hubungan langsung antara kewajiban vaksinasi dan kewajiban penggunaan aplikasi PeduliLindungi yang juga tidak masuk akal dan ilegal karena pelanggaran HAM dan kerahasiaan data kesehatan berdasarkan fakta bahwa vaksin COVID-19 tidak mencegah penularan.
___
Menkes: Tujuan kewajiban vaksinasi untuk “mengurangi transmisi/penularan COVID-I9″
Kami:
» tidak terjadi karena vaksin COVID-19 terbukti tidak mencegah infeksi dan penularan yang diakui oleh tergugat 1 (Menkes: “Karena vaksinasi itu bukan membuat kita kebal ya kita bisa tertular dan menularkan” https://www.republika.co.id/berita/qyod91428/menkes-vaksinasi-tak-buat-kebal-covid19).
» Pencegahan penularan tidak pernah diuji dalam uji klinik semua vaksin
» Tergugat 1 tahu sejak awal, sebelum tindakan kewajiban vaksinasi dimulai, bahwa vaksin COVID-19 tidak mencegah infeksi dan penularan. Itu adalah bukti kuat bahwa tindakan kewajiban vaksinasi dilakukan sejak awal oleh para tergugat dengan tujuan yang tidak ada hubungan dengan kesehatan dan para tergugat sering konsisten dan tidak jujur kepada publik tentang tujuan tindakan/kebijakan mereka. Januari 2021: “Jadi vaksin itu mencegah kita menjadi sakit, bukan mencegah kita menjadi tertular,” kata Nadia yang juga Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (Dirjen P2P) Kemenkes, Jumat (29/1).” https://www.republika.co.id/berita/qnorqe328/vaksinasi-bukan-untuk-mencegah-penularan-covid19
___
Menkes: Tujuan kewajian vaksinasi untuk “Mencapai kekebalan kelompok di masyarakat (herd immunity)”
Kami:
» Vaksin COVID-19 tidak menciptakan kekebalan individu, sesuai pernyataan menkes dan sesuai semua data, dan itu kita bisa lihat dari fakta bahwa orang yang divaksinasi tetap terinfeksi dan menjadi sakit. Definisi kekebalan (immunity) adalah seorang dapat terpapar virus tanpa menjadi terinfeksi atau sakit. Itu tidak dipenuhi oleh vaksin COVID-19, tergugat 1 sendiri mengakui bahwa vaksin covid bukan mencegah infeksi, penularan dan penyakit. Tanpa kekebalan/immunity individu, tentu saja tidak bisa terjadi kekebalan kelompok/herd immunity. Data dari tergugat 1 dan dari seluruh dunia mengkonfirmasi fakta ini.
» Kita bisa melihat dengan jelas bahwa tujuan vaksinasi dan kewajibannya (dan semua kebijakan terkait COVID-19 lain) gagal total dari fakta bahwa gelombang/wabah Omicron terjadi di Indonesia. Varian Omicron mulai di Afrika, di seluruh dunia termasuk Indonesia ada kewajiban vaksinasi (dan testing) untuk naik pesawat dan masuk negara (dan juga testing, karantina dll) tapi Omicron dengan cepat menyebar ke seluruh dunia dan menyebabkan wabah besar termasuk di Indonesia. Omicron dibawa ke Indonesia (dan semua negara lain) oleh orang yang divaksin (dan menjadi wabah meskipun kebijakan testing dan karantina). Di awal wabah Omicron, kasus hanya ditemukan pada orang yang divaksin. Bisa dikatakan bahwa orang yang divaksin dan kegagalan total kebijakan serta tindakan para tergugat menyebabkan wabah Omicron dan membahayakan semua orang yang rentan.
___
Menkes: “untuk mencapai terjadinya imunitas kelompok atau ‘herd immunity’, cakupan vaksinasi paling sedikit harus mencapai angka 70% dari total penduduk”
Kami:
» tingkat vaksinasi sudah lebih dari 70% sesuai data tergugat 1 sendiri (78.38% 2 dosis/vaksinasi “lengkap”).
» Menurut data tergugat 1 sudah 99.2% dari total penduduk punya “titer antibodi tinggi”, tidak masuk akal sama sekali untuk membenarkan kelanjutan kewajiban vaksinasi berdasarkan alasan “harus mencapai angka 70%”. Tergugat 1 membuat kontradiksi sendiri dalam pernyataannya.
→ Sekali lagi tergugat 1 membuat klaim tentang imunitas kelompok yang tidak masuk akal karena sesuai pernyataan tergugat 1 sendiri tidak terjadi kekebalan/imunitas sama sekali akibat vaksinasi COVID-19.
___
Menkes: Tujuan kewajiban vaksinasi untuk “1. berusaha memperkecil angka kematian akibat wabah dan 2. membatasi penularan dan penyebaran penyakit”
Kami:
» 1. Tidak ada bukti bahwa vaksinasi “memperkecil” angka kematian, ini tidak pernah diuji dalam uji klinik semua vaksin COVID-19 dan banyak data menunjukkan bahwa ada efek negatif berupa kematian atau vaksinasi mengingatkan angka kematian. Tergugat 1 juga gagal untuk mengambil tindakan lain yang cocok dan terbukti efektif untuk mengurangi angka kematian.
» 2. Menurut pernyataan tergugat 1 sendiri dan semua data yang tersedia, vaksin tidak mencegah atau membatasi penularan dan penyebaran. Vaksin COVID-19 justru punya efektivitas negatif untuk infeksi dan penyebaran, orang yang divaksin lebih banyak terinfeksi, artinya lebih banyak menularkan.
» Jadi tujuan vaksinasi sesuai peraturan tidak terpenuhi/gagal total.
___
Menkes: “Vaksinasi adalah pemberian Vaksin yang khusus diberikan dalam rangka menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara akif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan dan tidak menjadi sumber penularan.”
Kami:
» Tergugat 1 memberikan definisi medis vaksinasi/vaksin. Seperti sudah diketahui “Vaksin” COVID-19 yang tersedia saat ini tidak “menimbulkan atau meningkatkan kekebalan” dan “saat terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit” juga tidak terjadi, terbukti dari semua data, bahkan dari pernyataan dan data tergugat 1 sendiri, bahwa kebanyakan orang yang terinfeksi dan menjadi sakit (dan di rumah sakit) adalah orang yang telah “divaksinasi”. Bahwa “tidak menjadi sumber penularan” juga tidak dipenuhi, yang diakui oleh tergugat 1 sendiri dan terbukti oleh semua data, vaksin tidak mencegah infeksi dan penularan. Dapat disimpulkan bahwa yang disebut “vaksin” COVID-19 tidak memenuhi definisi vaksin sama sekali dari tergugat 1 sendiri. Para penggugat sudah menunjukkan dalam dokumen gugatan bahwa CDC AS telah mengubah definisi vaksin mereka karena “vaksin” COVID-19 tidak memenuhi definisi vaksin (karena tidak menciptakan kekebalan/imunitas). Tampaknya tergugat 1 belum sadar hal ini atau lupa mengubah definisi mereka. Untuk mencegah kesalahpahaman dalam gugatan ini dan secara umum, para penggugat meminta kepada tergugat 1 untuk mengubah definisi resmi vaksin atau menggunakan istilah beda yang tidak memiliki arti medis, misalnya “suntikan daya tahan tubuh” daripada “vaksinasi” dan “zat” atau “micin” daripada “vaksin”.
___
Menkes: “Tidak ada kewajiban booster”
Kami:
» Sudah ada banyak contoh kewajiban dan pemaksaan booster akibat tindakan para tergugat, misalnya untuk bansos, di tempat kerja, PNS, BUMN dll. Saat ini kewajiban dilakukan secara tidak langsung akibat tindakan para tergugat, misalnya lewat surat edaran instansi lain dan target/insentif untuk pemerintah daerah dan pejabat di lapangan yang memaksa masyarakat untuk mencapai target mereka. Tapi tentu saja para tergugat bertanggung jawab untuk semua kejadian tersebut karena ini dilakukan sengaja atau setidaknya tidak ada tindakan dari para tergugat untuk mencegah kejadian tersebut.
» Para penggugat memiliki bukti bahwa booster diwajibkan untuk mendapatkan bansos di lapangan.
» Semua PNS tanpa kecuali dipaksakan untuk mendapatkan booster dan bahkan ada surat edaran dari menteri perindustrian yang mewajibkan booster untuk semua karyawan perusahaan industri (“Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri harus melakukan pemberian vaksinasi dosis ketiga/vaccine booster bagi seluruh staf/pekerja/karyawan/pegawai.” https://covid19.hukumonline.com/wp-content/uploads/2022/03/surat_edaran_menteri_perindustrian_nomor_2_tahun_2022.pdf)
» Pada awal vaksinasi COVID-19 juga tidak ada kewajiban, bahkan pernyataan bahwa kewajiban tidak akan terjadi, kemudian diwajibkan. Pernyataan seperti itu dari para tergugat tidak lagi dapat dipercaya.
» Gugatan ini justru tentang tindakan faktual kewajiban vaksinasi, bukan aturan tertentu, karena para tergugat mewajibkan vaksinasi dengan banyak cara secara langsung dan tidak langsung yang tidak transparan. Yang mana dalam tindakan pelaksanaan peraturan tersebut tergugat 1 tidak melakukannya dengan benar.
» Tergugat 1 tidak konsisten dan tidak masuk akal. Disini ada pernyataan bahwa booster dibutuhkan karena “antibodi turun”, tapi tergugat 1 juga memberikan data terbaru dalam jawaban bahwa 99.2% dari penduduk punya titer antibodi tinggi.
» “dibutuhkan pemberian dosis lanjutan atau booster untuk meningkatkan proteksi individu terutama pada kelompok masyarakat rentan” → Ini adalah pernyataan tambahan yang tidak masuk akal, yang kita bisa lihat di lapangan adalah SEMUA orang diajak dan dipaksa untuk mendapatkan booster, tidak ada kriteria “kelompok masyarakat rentan” sama sekali.
» Setelah keputusan MA yang melarang penggunaan vaksin haram (Pfizer, Moderna, AstraZeneca & SinoPharm), tergugat 1 menambahkan vaksin halal Sinovac sebagai booster. Tindakan ini tidak masuk akal sama sekali, sebelumnya tergugat 1 menjelaskan bahwa Sinovac tidak cukup efektif sebagai booster. Hal ini membuktikan bahwa para tergugat menjalankan agenda yang tidak ada hubungan dengan kesehatan dan lebih parah lagi melanggar prinsip dan hukum tentang “informed consent” dengan tidak menginformasikan masyarakat/penerima vaksin bahwa Sinovac tidak cukup efektif.
“Sinovac Diklaim Gagal Tangkal Omicron, Ahli Sarankan Booster Lain” https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20211224054018-199-738089/sinovac-diklaim-gagal-tangkal-omicron-ahli-sarankan-booster-lain
“Sinovac Tak Masuk Daftar Vaksin Booster, Kemenkes: Efikasinya Rendah” https://nasional.kompas.com/read/2022/03/30/17143591/sinovac-tak-masuk-daftar-vaksin-booster-kemenkes-efikasinya-rendah
Pelanggaran prinsip dan hukum “informed consent” lainnya yaitu dengan memberikan penyuluhan dan edukasi tentang manfaat vaksin COVID-19 tetapi tidak memberitahukan resikonya.
» Tergugat 1 tidak pernah memberikan bukti bahwa booster punya lebih banyak manfaat dari resiko atau dibutuhkan sama sekali. Meskipun ini diwajibkan dalam aturan BPOM tentang EUA (poin 4), analisis tersebut tidak pernah dilakukan (bahkan tidak pernah dilakukan untuk vaksinasi primer). Ini mengarahkan ke kecurigaan bahwa semua booster digunakan secara ilegal tanpa surat edaran yang valid. Kecurigaan ini didukung oleh perilaku BPOM, para penggugat sudah beberapa kali meminta hasil bukti/data dari analisis risiko – manfaat dari BPOM lewat permohonan KIP dan semuanya ditolak atau setidaknya diberikan data yang tidak termasuk dalam permohonan.
___
Menkes: “Dapat Tergugat I sampaikan bahwa vaksinasi hanya untuk meningkatkan daya tahan tubuh bukan menjamin orang tidak tertular”
Kami:
» Tergugat 1 disini menggunakan istilah “daya tahan tubuh”, bukan “imunitas” karena tampaknya penulis pada bagian dari jawaban ini (beda dari penulis bagian lain di atas) sadar bahwa vaksin ini tidak menciptakan imunitas. Tetapi “Daya tahan tubuh” bukanlah istilah medis dan tidak berarti, ini adalah bagian dari narasi yang dilakukan oleh tergugat 1 terhadap masyarakat awam untuk mempromosikan vaksinasi dan tidak cocok untuk gugatan dimana seharusnya terjadi penggunaan kata yang tepat dan mencegah narasi tanpa arti untuk menghindari pemahaman/pengertian yang salah. Tergugat 1 juga tidak konsisten, di bagian lain dalam jawaban ini mereka mengklaim bahwa tujuan vaksin COVID-19 adalah menciptakan/meningkatkan imunitas. (“Mengutip dari situs Healthline, daya tahan tubuh adalah kemampuan fisik untuk melakukan berbagai aktivitas, seperti belajar dan berolahraga dalam waktu lama.” https://www.kompas.com/skola/read/2020/10/12/175814869/cara-meningkatkan-daya-tahan-tubuh?page=all)
___
Menkes: “tingkat kekebalan yang terjadi karena paparan COVID-19 jauh lebih rendah dibandingkan dengan vaksinasi, sehingga vaksinasi tetap dibutuhkan bagi penyintas.”
Kami:
» Ini adalah pernyataan yang sepenuhnya salah. Menurut pedoman resmi WHO, imunitas alami akibat infeksi sama dengan vaksinasi (LINK WHO: https://www.who.int/publications/i/item/WHO-2019-nCoV-Sci_Brief-Natural_immunity-2021.1) dan ada lebih dari 150 jurnal ilmiah termasuk dari CDC AS yang membuktikan bahwa imunitas alami jauh lebih kuat dan bertahan jauh lebih lama (sampai seumur hidup) daripada vaksinasi. Tergugat 1 membuat klaim ini tanpa menunjukkan bukti apapun dan tidak ada data atau bukti ilmiah serius apapun di seluruh dunia bahwa imunitas alami tidak lebih kuat dibandingkan vaksinasi. Satu-satunya studi kecil (Kentucky, 246 peserta) yang tersedia dari CDC AS yang menunjukan bahwa vaksinasi lebih kuat dari imunitas alami sudah dibantah oleh CDC AS mereka sendiri. Narasi ini sering digunakan oleh tergugat 1 dalam media dan adalah indikasi kuat bahwa seluruh vaksinasi COVID-19 terjadi tanpa dasar ilmiah atau data terbaru, hanya berdasarkan narasi dan pernyataan “pakar”, dengan agenda yang tidak ada hubungannya dengan kesehatan.
» Penggugat 1 sudah meminta bukti dari tergugat 1 tentang klaim tersebut lewat permohonan KIP resmi, yang didukung oleh Ombudsman, tapi tergugat 1 menolak untuk memberikan data/bukti tersebut tanpa dasar bahkan ke Ombudsman. Tergugat 1 juga tampaknya (sengaja) mengabaikan evolusi makhluk hidup jutaan tahun dimana sistem imun berevolusi untuk melawan infeksi patogen dan membangun imunitas alami setelah infeksi, ini juga adalah imunologi yang paling dasar. Selain itu, setiap orang bisa dengan mudah melakukan uji titer antibodi di laboratorium (misalnya Prodia) untuk cari tahu tingkat kekebalan mereka dan pemerintah bisa melakukan uji tersebut sebelum memvaksin seorang, untuk mencegah pemberian vaksin (dan resiko dari vaksin) tanpa dasar dan manfaat.
» Di negara lain imunitas alami dikenali secara resmi, misalnya di paspor vaksin Uni Eropa imunitas alami (dibuktikan dengan hasil tes positif atau titer antibodi) memberikan status hijau sama dengan vaksinasi. Para penggugat meminta tergugat 1 untuk membuktikan klaim mereka dengan bukti ilmiah dan data yang kuat dan tepat, atau mengakui bahwa mereka salah. Membuat klaim salah seperti itu tanpa bukti, dengan konsekuensi sangat luas untuk masyarakat (yang akan merasa takut dan dalam bahaya dari COVID-19 meskipun sudah aman dan terlindungi setelah infeksi), bisa dianggap sebagai “contempt of court” dan juga kebohongan & tindak pidana sesuai Pasal 14 UU 1/1946:
“(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.”
___
Menkes: “antibodi masyarakat lndonesia meningkat menjadi 99,2 persen artinya 99,2 persen dari populasi masyarakat lndonesia sudah memiliki antibodi dan titer antibodi yang tinggi, hal ini dapat mengurangi risiko dari dampak negatif dari virus terutama COVID-19.”
Kami:
» Berdasarkan hasil survey bahwa 99.2% dari penduduk sudah memiliki tingkat antibodi tinggi, seharusnya vaksinasi sudah dihentikan, tidak lagi ada dasar, sesuai klaim sebelumnya dari tergugat 1 bahwa tingkat yang dibutuhkan adalah 70% dari penduduk. Masih mewajibkan vaksinasi tidak masuk akal dan tidak ada hubungan dengan kesehatan. Data ini juga langsung membantah klaim tergugat 1 di poin atas bahwa kekebalan alami tidak cukup.
» Tingkat antibodi ini tidak ada hubungan dengan vaksinasi, yang dapat dilihat dengan jelas karena tingkat ini lebih tinggi dari tingkat vaksinasi. Pada kenyataannya, kebanyakan orang sudah pernah terinfeksi COVID-19, misalnya hasil sero survei antibodi di Jakarta dari SEBELUM vaksinasi dan SEBELUM gelombang Delta (Maret 2021) menemukan bahwa sudah hampir separuh dari penduduk pernah terinfeksi dan punya antibodi (“Anies: Separuh Warga Jakarta Pernah Terinfeksi Virus Corona” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210719093557-20-669361/anies-separuh-warga-jakarta-pernah-terinfeksi-virus-corona).
» Fakta ini jelas juga membantah klaim dari tergugat 1 bahwa kasus dan kematian yang menurun adalah akibat dari vaksinasi. Tidak ada bukti dan lebih mungkin dan masuk akal bahwa itu terjadi akibat imunitas alami, bukan vaksinasi, karena imunitas alami terbukti sangat efektif tapi efektivitas vaksin sangat dipertanyakan.
» Sero survei ini tidak berguna karena hanya menguji antibodi S-RBD (antibodi terhadap spike protein virus asli Wuhan, bukan terhadap virus utuh atau spike protein khusus varian seperti Delta atau Omicron). Sudah terbukti bahwa antibodi hasil vaksin COVID-19 hampir tidak efektif terhadap varian seperti Omicron, antibodi hasil infeksi alami beberapa kali lipat lebih efektif. Tidak dapat membuat kesimpulan seperti “mengurangi resiko” dari sero survey seperti ini yang tidak jelas dan tidak spesifik. Tidak ada korelasi antara tingkat antibodi S-RBD virus asli Wuhan dan perlindungan dalam konteks Omicron karena antibodi hasil vaksinasi dibuat spesifik untuk virus asli Wuhan yang muncul lebih dari 2 tahun lalu dan tidak efektif terhadap varian Omicron yang sangat bermutasi. Untuk mendapatkan gambaran lengkap yang berarti tentang situasi imunitas dalam suatu penduduk bisa dilakukan dengan: darah yang telah diambil untuk survei ini bisa dengan mudah juga digunakan untuk menguji antibodi khusus hasil infeksi alami, misalnya terhadap protein N atau protein lain; tapi itu tidak dilakukan, entah dengan sengaja atau akibat ketidakmampuan tergugat 1.
___
Menkes: “Bahwa menurut Tergugat I sumber data FDA Amerika yang disampaikan Penggugat tidak mencantumkan link sumber data melainkan hanya menampilkan data dalam bentuk tabel sehingga tidak dapat dibuktikan kebenaran data tersebut karena Para Tergugat ataupun majelis hakim tidak akan dapat mengakses data tersebut. Bahwa selain itu kondisi atau kajian di negara lain tidak serta merta dapat diimplementasikan dalam mengambil kebijakan penanganan COVID-I9 di lndonesia”
Kami:
» Sumber laporan data FDA/Pfizer jelas ada dalam dokumen. Ini adalah data uji klinik vaksin Pfizer yang berlaku untuk seluruh dunia. Tergugat 1 justru tidak pernah melakukan kajian keamanan dan efektivitas vaksin Pfizer di Indonesia dan mengklaim bahwa vaksin tersebut aman dan efektif hanya berdasarkan klaim dari produsen. Sangat berbahaya bahwa tampaknya tergugat 1 tidak tahu tentang data ini, yang berarti mereka tampaknya tidak pernah melakukan evaluasi data keamanan dari produsen selain tidak melakukan kajian keamanan sendiri. Tautan ke dokumen asli Pfizer yang diperoleh oleh pengacara lewat gugatan keterbukaan informasi: https://phmpt.org/wp-content/uploads/2021/11/5.3.6-postmarketing-experience.pdf. Kalau tergugat 1 mencurigai dokumen ini tidak asli atau benar, mereka dapat meminta konfirmasi langsung ke Pfizer atau memberikan pernyataan dari Pfizer bahwa dokumen ini tidak benar.
___
Menkes: “Dalil Para Penggugat pada huruf I halaman 56 tentang Trombositopenia akibat COVID-19 hanya merupakan asumsi dari Para Penggugat tanpa disertai dengan bukti pendukung, karena sejauh ini tidak pernah ada temuan kasus Trombositopenia akibat COVID-19 di lndonesia, tidak pernah ada laporan di Kementerian Kesehatan, sejauh ini investigasi KlPl yang dilakukan Kemenkes tidak pernah ditemukan adanya vaksinasi yang menyebabkan Trombositopenia.”
Kami:
» Klaim ini juga sepenuhnya salah dan banyak kasus anak yang meninggal akibat trombositopenia setelah vaksinasi COVID-19 bahkan dilaporkan dalam berita media bersama dengan pernyataan dari institusi tergugat 1. Tampaknya tergugat 1 bingung dengan menulis trombositopenia akibat COVID-19; padahal konteks ini dan yang dimaksud oleh tergugat 1 sendiri adalah akibat vaksin COVID-19. Ketidaktahuan tergugat 1 tentang trombositopenia akibat vaksin COVID-19 sangat mengkhawatirkan, ini adalah bahaya yang sangat serius dan sering terjadi akibat vaksin COVID-19 dimana sudah tersedia puluhan jurnal dan laporan resmi otopsi yang membuktikan sebab akibat. Pencarian sederhana kata kunci “thrombocytopenia vaccine covid” di National Library of Medicine pemerintah AS menghasilkan 65 studi (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov). Akibat ketidaktahuan tersebut, semua kasus trombositopenia setelah vaksinasi dinyatakan secara salah oleh tergugat 1 dengan mengatakan “tidak ada hubungan dengan vaksinasi”; sering dinyatakan “akibat DBD” tanpa bukti. Para penggugat akan memberikan banyak data, bukti dan saksi ahli patologi dalam sidang pembuktian tentang hal ini.
» Kita bisa melihat pola perilaku yang sama sekarang tentang masalah “Hepatitis Misterius”. Terbukti bahwa vaksin COVID 19 dapat menyebabkan hepatitis (yang banyak terjadi, ada banyak jurnal dan laporan otopsi) dan bahwa adenovirus dalam vaksin dapat bermutasi, menjadi ganas & menular (ada jurnal), tapi Tergugat I dengan tegas hanya membantah hubungan dengan vaksinasi tanpa data dan penelitian apapun dengan alasan bahwa adanya anak korban hepatitis yang tidak divaksin. Jelas bahwa ada kemungkinan adenovirus “mutan” hasil vaksinasi COVID 19 dapat menularkan kepada anak-anak tersebut.
“Berdasarkan data-data dari kemenkes, data-data dari litbangkes, dari organisasi kedokteran dan dari konsorsium ikatan ahli imunisasi semua hanya mengekor/mengikuti omongan media barat dan WHO. Tidak pernah melakukan penelitian sedikitpun (terkait pandemi COVID-19).” Kutipan dari drh. Indro Cahyono, sumber https://www.youtube.com/watch?v=XZRYvER1KJM
» Klaim oleh tergugat 1 di poin 7.b. dalam jawaban bahwa vaksin COVID-19 “tidak menimbulkan efek yang membahayakan” terbukti salah dan merupakan hasil dari kerahasiaan data dan/atau ketidakmampuan/ketidaktahuan. Berdasarkan observasi dan estimasi para penggugat sudah ada ribuan kematian dan ratusan ribu penyakit serius akibat vaksin COVID-19 di Indonesia (belum termasuk efek jangka panjang). Perilaku tergugat 1 untuk merahasiakan semua KIPI dan/atau ketidakmampuan juga menyebabkan bahwa nakes dan dokter di lapangan tidak punya informasi yang tepat tentang KIPI dan tidak bisa menyadari & melaporkan kejadian KIPI. Para penggugat sudah menemukan banyak kebohongan dan informasi salah di lapangangan, misalnya bahwa “kejadian apapun lebih dari 30 menit setelah vaksinasi tidak mungkin disebabkan oleh vaksin”. Para penggugat bahkan memiliki bukti dimana keluarga korban KIPI dibayar puluhan juta rupiah untuk menandatangani perjanjian tutup mulut.
___
Menkes: “Dalil Para Penggugat pada halaman 57 dan 58 terkait kebijakan beberapa negera yang disebutkan Para Penggugat tidak seharusnya diikuti oleh lndonesia karena lndonesia punya karakteristik dan kebijakan tersendiri sesuai dengan situasi yang terjadi, dan sejauh ini dalam mengambil kebijakan dilakukan dengan memperhatikan rekomendasi WHO,”
Kami:
» Klaim ini tidak benar, misalnya dalam rekomendasi WHO bahwa: “kekebalan alami sama dengan vaksinasi” tapi tergugat 1 membuat vaksinasi wajib untuk penyintas COVID-19 (LINK WHO: https://www.who.int/publications/i/item/WHO-2019-nCoV-Sci_Brief-Natural_immunity-2021.1). Selain itu, WHO juga tidak merekomendasikan kewajiban vaksinasi, kecuali dalam situasi tertentu dan dengan kriteria tertentu yang tidak dipenuhi sama sekali di Indonesia. (LINK WHO: https://apps.who.int/iris/rest/bitstreams/1342697/retrieve).
Jadi tergugat jelas tidak ikut rekomendasi WHO. Dan kalau Indonesia “punya karakteristik dan kebijakan” sendiri, kenapa mengikuti rekomendasi WHO yang tidak sesuai dengan karakteristik Indonesia tapi global?
» Putusan pengadilan di negara lain tidak berdasarkan situasi pandemi tertentu atau “sendiri” tapi berdasarkan sifat vaksin Covid-19 secara umum dan konstitusi & HAM dasar. Mahkamah Agung India misalnya, baru memutuskan untuk melarang semua kewajiban dan pemaksaan vaksin Covid-19 dan pembatasan apapun untuk orang yang tidak divaksin dengan penjelasan berikut:
“Otonomi dan integritas tubuh dilindungi di bawah Konstitusi dan tak seorang pun dapat dipaksa untuk menjalani vaksinasi”
“Pemerintah tidak memberikan data apa pun untuk membuktikan bahwa orang yang tidak divaksinasi menyebarkan virus lebih banyak daripada orang yang divaksinasi dan orang yang belum menerima vaksin tidak boleh dilarang mengakses tempat umum”
» Pengadilan tertinggi juga memerintahkan pemerintah untuk mempublikasikan laporan tentang dampak buruk (KIPI) vaksinasi Covid-19.
___
Berikut ini adalah dokumen asli gugatan: