Dalam sidang Komisi Informasi Pusat (KIP) baru-baru ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menghadapi gugatan terkait penutupan akses terhadap informasi penting yang dibutuhkan publik untuk informed consent terkait vaksin dan obat-obatan. Kedua institusi ini dituntut untuk membuka informasi yang relevan, namun mereka terus menyatakan bahwa data tersebut bersifat rahasia, sebuah keputusan yang menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk dari majelis komisioner KIP yang menyatakan bahwa alasan penutupan informasi ini tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan hukum. Rekaman video lengkap dua sidang tersebut ada di akhir artikel ini.
Sidang Kemenkes: Data KIPI dan Kontrak Vaksin Tertutup
Pada sidang pertama yang dihadiri oleh Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia (YAKIN) melawan Kemenkes, gugatan terkait penutupan informasi mencakup data Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) serta kontrak pengadaan vaksin antara pemerintah dan produsen atau distributor. Kemenkes bersikeras bahwa informasi tersebut termasuk data yang harus dikecualikan, baik data KIPI maupun kontrak pengadaan. Namun, dalam pemeriksaan awal, majelis KIP mempertanyakan dasar penutupan informasi ini, terutama data KIPI yang seharusnya menjadi acuan publik dalam memutuskan apakah menerima vaksin atau tidak.
Perwakilan Kemenkes menyebutkan bahwa data KIPI, meskipun terkait dengan keamanan vaksin, dianggap sebagai rahasia karena mengandung informasi pribadi pasien. Namun, YAKIN dengan tegas menolak argumen ini, mengingat data serupa di negara lain telah dibuka tanpa menampilkan informasi pribadi. Mereka mengutip berbagai contoh dari WHO dan negara-negara lain yang secara terbuka mempublikasikan data KIPI untuk memberikan transparansi kepada masyarakat.
Lebih lanjut, YAKIN menyoroti masalah besar terkait kontrak pengadaan vaksin. Kemenkes menolak untuk membuka kontrak tersebut, dengan alasan adanya klausul kerahasiaan yang dimasukkan oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan farmasi asing. Pada momen ini, Ketua Majelis KIP menegaskan bahwa berdasarkan hukum Indonesia, dokumen pengadaan publik, termasuk kontrak, adalah informasi terbuka dan harus bisa diakses oleh publik. Ketua Majelis dengan jelas menyatakan bahwa tidak ada dasar hukum yang memungkinkan pengecualian kontrak pengadaan vaksin dari keterbukaan informasi publik.
Menanggapi hal tersebut, perwakilan Kemenkes menjawab bahwa, secara umum, dokumen pengadaan memang terbuka untuk publik, namun atasan mereka telah memutuskan untuk mengecualikan kontrak vaksin secara khusus sebagai informasi rahasia. Pernyataan ini memicu momen yang tidak biasa dalam sidang, di mana Ketua Majelis tidak dapat menahan tawa dan tertawa keras mendengar bahwa hanya kontrak vaksin yang dinyatakan rahasia. Hal ini menyoroti absurditas dari posisi Kemenkes yang menutup kontrak vaksin, meskipun pengadaan publik diatur sebagai informasi terbuka berdasarkan undang-undang.
Sidang BPOM: Izin Edar dan Data Uji Klinis Terkunci
Dalam sidang kedua, BPOM menghadapi gugatan serupa terkait penutupan akses terhadap data uji klinis dan izin edar vaksin. BPOM menyatakan bahwa izin edar yang diminta oleh pemohon, dalam hal ini YAKIN, sudah tercantum di situs web mereka. Namun, BPOM menolak memberikan dokumen lengkap izin edar karena dianggap mengandung informasi rahasia terkait formula produk farmasi yang tidak boleh dibuka tanpa izin dari perusahaan yang mengajukan izin edar.
Di sisi lain, YAKIN menegaskan bahwa data izin edar dan uji klinis sangat penting untuk memastikan keamanan dan manfaat dari produk farmasi yang digunakan oleh masyarakat. Mereka juga mengkritik bahwa BPOM menutup data uji klinis yang seharusnya menjadi acuan bagi dokter dan masyarakat dalam membuat keputusan medis berdasarkan prinsip informed consent. YAKIN menganggap bahwa penutupan ini menghambat akses publik terhadap informasi yang seharusnya bersifat terbuka, khususnya terkait efek samping dan analisis risiko manfaat dari vaksin.
Majelis KIP kembali menegaskan bahwa alasan yang diberikan oleh BPOM tidak cukup kuat untuk menolak akses terhadap informasi tersebut. Mereka menekankan bahwa dokumen yang berkaitan dengan kesehatan publik, terutama dalam konteks vaksinasi massal, harusnya terbuka dan dapat diakses oleh publik untuk mencegah potensi risiko yang lebih besar.
Pelanggaran Hak Konstitusional dan UU Kesehatan Baru
Kasus ini menjadi lebih kompleks akibat pengesahan UU Kesehatan yang baru, dengan beberapa pasal yang dianggap melanggar hak konstitusional rakyat, terutama terkait informed consent. Salah satu contohnya adalah Pasal 295 ayat (1) yang menyatakan bahwa pelayanan kesehatan masyarakat yang merupakan program pemerintah tidak memerlukan persetujuan tindakan. Pasal ini membuka jalan bagi potensi pelanggaran hak masyarakat untuk menerima informasi yang memadai sebelum menerima atau menolak tindakan medis.
Penolakan Kemenkes dan BPOM untuk membuka informasi yang berkaitan dengan vaksin dan obat-obatan ini dianggap sebagai langkah mundur dalam penegakan hak konstitusional masyarakat. Kasus ini juga mencerminkan bagaimana kedua lembaga tersebut tampaknya lebih melindungi kepentingan komersial perusahaan farmasi daripada melindungi hak kesehatan masyarakat.
Keterbukaan Informasi untuk Kesehatan Publik
Sidang KIP ini telah membuka mata publik terhadap pentingnya keterbukaan informasi dalam sektor kesehatan. Transparansi dalam penyediaan data kesehatan, khususnya yang terkait dengan vaksin dan obat-obatan, adalah hak yang dijamin oleh undang-undang dan prinsip-prinsip internasional. Tanpa akses terhadap informasi yang memadai, masyarakat tidak dapat membuat keputusan yang tepat mengenai kesehatan mereka.
Kasus ini menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa kesehatan publik tidak boleh dikorbankan demi kepentingan komersial atau politik. Kemenkes dan BPOM, sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas perlindungan kesehatan masyarakat, harus berfokus pada penegakan hak-hak konstitusional masyarakat, termasuk hak atas informasi yang penting dalam proses informed consent.
Dengan semakin besarnya perhatian publik terhadap isu ini, diharapkan pemerintah yang baru di bawah kepemimpinan Presiden Terpilih Prabowo Subianto akan mengambil langkah-langkah tegas untuk mengatasi pelanggaran hak-hak tersebut, memastikan transparansi penuh dalam sektor kesehatan, dan mengembalikan fungsi Kemenkes serta BPOM sesuai mandat konstitusional mereka.