Kementerian Pendidikan merilis draft Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020 -2035 dengan visi “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila”.¹
Draft ini memunculkan polemik karena menghilangkan frasa ‘agama’ sebagai unsur integral dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang kemudian diterangkan Kemdikbud melalui rilis berita berjudul “Agama dan Pancasila Tetap Ada Dalam Peta Jalan Pendidikan” pada 9 Maret 2021.²
Latar belakang rancangan Peta Jalan Pendidikan Indonesia dalam dokumen ini adalah “Tren Global” yang kemudian dikaitkan dengan dunia pembelajaran. Salah satu sub-babnya berjudul “Cara bekerja pada masa depan”, ditutup dengan sub-bab tentang perubahan sistem pendidikan Indonesia.
Rencana perubahan sistem pendidikan Indonesia dirumuskan atas dasar penyesuaian terhadap berubahnya perekonomian, sosiokultural dan demografi, pasar kerja, dan visi Indonesia 2045 (hlm. 9 draft PJPN). Dalam membahas perubahan sosiokultural dan demografi Indonesia, diantaranya juga menyorot tentang meningkatnya kelas berpendapatan rendah dan proyeksi garis kemiskinan nol pada 2030. Sementara Visi Indonesia 2045 dalam hal Pengembangan SDM dan sains & penguasaan teknologi yang diwujudkan melalui pendidikan, beberapa inputnya terkait dengan tenaga kerja Indonesia yang berpendidikan, lebih sehat, fleksibel, dan adaptif, serta peningkatan kontribusi sains dan teknologi untuk pembangunan, dilengkapi dengan pendidikan vokasi, kewirausahaan, dan karakter. Dapat diamati, kecenderungan pada kepentingan ekonomi lebih mendominasi rancangan arah pendidikan nasional pada draft ini.
Pada bab “Peta Jalan Pendidikan Indonesia” (hlm. 35 draft PJPN), disajikan bagan strategi utama “Merdeka Belajar”. Terdiri dari bagan “Semula” dan “Menjadi” yang kedua sisinya dihubungkan dengan bagan “Strategi” di tengah. Upaya menerapkan kolaborasi dan pembinaan antar sekolah, peningkatan kualitas guru dan kepala sekolah, membangun platform pendidikan nasional berabasis teknologi, perbaikan kurikulum, membangun sekolah/lingkungan belajar masa depan, layak diapresiasi.
Namun beberapa poin perlu diperhatikan, pada bagan Semula; Belajar sebagai Kewajiban, Program-program didorong oleh pemerintah, dan ekosistem yang didorong oleh pemerintah, ketiganya terindikasi tidak lagi jadi tanggungjawab penuh pemerintah. Pada bagan Strategi juga perlu diperhatikan, antara lain pemberian intensif pada pihak swasta, dan penyusunan kurikulum oleh pihak industri (poin 7 dan 8). Kedua strategi ini menguatkan orientasi pendidikan tergantung pada kebutuhan Industri. Pada bagan Menjadi, poin untuk mencanangkan “program-program yang relevan dengan industri” mendikte potensi peserta didik terbatas pada dunia industri.
Pemerintah wajib mengusahakan terselenggaranya pendidikan berkualitas demi tercapainya tujuan negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pendidikan berkualitas harusnya membangun generasi yang dapat menguasai Industri, mampu beradaptasi dan mengendalikan arah industri, bukan terbawa arus industri.
Sementara, industri yang mendominasi saat ini sarat prinsip kapitalisme. Domiasi Industri dalam menentukan arah pendidikan pada akhirnya akan memaksa pemerintah merancang kebijakan yang cenderung pada orientasi para kapitalis atas nama kemajuan pendidikan.
Generasi terdidik dengan latar kepentingan nasional (national interest) yang berketuhanan dan beradab, akan mewujudkan masyarakat sadar keadilan yang mampu mencapai kemakmuran. Di sisi lain, penyelenggaraan pendidikan berkolaborasi dengan para kapitalis yang berorientasi keuntungan (profit oriented), sudah barang tentu akan melahirkan generasi terdididik kapitalistik.
Generasi kapitalistik dianggap berdaya saing sehingga mampu bersaing secara global, padahal pribadi kapitalistik cenderung pragmatis (manfaat praktis) dan individualis (kepentingan diri sendiri). Lahirnya generasi kapitalistik ini diperkuat dengan arus kebijakan berubah-ubah mengikuti logika pasar bebas, berdampak jauhnya tanggung jawab pemerintah yang terbawa mekanisme pasar. (Dyah Hikmawati, 2021).³
Padahal sejatinya, merdeka belajar berarti lepas dari segala kepentingan dalam rangka mewujudkan bangsa yang luhur. Sebagaimama paradigma pendidikan Islam yang menjadikan akidah sebagai pondasi utama, memungkinkan penggunaan dan pengembangan teknologi tanpa harus terikat dengan keadaan ekonomi, meniscayakan lahirnya generasi dengan pemikiran cemerlang (fikrul-mustanir) dan berkepribadian (syakhsiyyah Islamiyyah).
Tanjung Selor,
4 Syawwal 1442 H
16 Mei 2021 M
[1] : Draft “Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020–2035”:
http://abpptsi.org/2020/12/peta-jalan-pendidikan-indonesia-2020-2035/
[2] : “Agama dan Pancasila Tetap Ada Dalam Peta Jalan Pendidikan”:
[3] : Dyah Hikmawati, S.Si., M.Si. (Universitas Airlangga)
Artikel ini juga diterbitkan via medium.com