Jakarta, 11 November 2022 | Gugatan melawan Presiden dan Mendagri tentang PPKM
Hari Selasa tanggal 8 November 2022 sekelompok orang berafiliasi MPR (Majelis Penderitaan Rakyat) telah mengajukan gugatan Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatige Overheidsdaad) atas Tindakan Pemerintahan di PTUN Jakarta terhadap Presiden (Tergugat I) dan Menteri Dalam Negeri (Tergugat II) yang telah melakukan tindakan perpanjan PPKM secara berkesinambungan.
Tujuan gugatan ini adalah untuk menghentikan PPKM.
Data Gugatan:
- Nomor Perkara 392/G/TF/2022/PTUN.JKT (dapat diakses melalui http://sipp.ptun-jakarta.go.id/)
- Tanggal Gugatan: 8 November 2022
- Objek Gugatan: Tindakan Pemerintahan oleh Tergugat I bersama dengan Tergugat II: Pelaksanaan Perpanjangan Pembatasan Sosial dalam Penanggulangan Pandemi Covid-19.
Rincian objek gugatan Gugatan:
- Pelaksanaan Perpanjangan Pembatasan Sosial dalam Penanggulangan Pandemi Covid-19 yang dimaksud dalam objek gugatan adalah segala tindakan yang membatasi kegiatan dan pergerakan masyarakat, termasuk kewajiban tindakan medis seperti tes kesehatan atau suntikan zat eksperimental (yang disebut vaksin Covid-19) sebagai syarat untuk kegiatan dan pergerakan. Misalnya:
- Pembatasan pembelajaran tatap muka dalam sektor pendidikan
- Pembatasan WFO/Work From Office dalam sektor swasta
- Pembatasan akses fasilitas publik/umum dan nonpublik/swasta
- Pembatasan kegiatan perusahaan/sektor swasta
- Pembatasan akses transportasi umum dan pergerakan secara umum dengan mode transportasi apapun
- Kewajiban penggunaan aplikasi handphone atau sertifikat kesehatan/sertifikat apapun sebagai syarat dalam semua pembatasan di atas
- Kewajiban untuk suntikan vaksin eksperimental Covid-19, termasuk jumlah suntikan tertentu, sebagai syarat dalam semua pembatasan di atas
- Kewajiban untuk tes kesehatan seperti tes Covid-19 sebagai syarat dalam semua pembatasan di atas dan secara umum
- Kewajiban untuk memakai masker
Tindakan Pelaksanaan Perpanjangan Pembatasan Sosial dalam Penanggulangan Pandemi Covid-19 dilakukan secara berkesinambungan oleh Para Tergugat antara lain melalui:
- INSTRUKSI MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 45 TAHUN 2022 tanggal 3 Oktober 2022
- INSTRUKSI MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 46 TAHUN 2022 tanggal 3 Oktober 2022
Petitum:
- Mengabulkan gugatan Para Penggugat seluruhnya;
- Menyatakan tindakan Pemerintahan Tergugat I bersama dengan Tergugat II, berupa tindakan Pelaksanaan Perpanjangan Pembatasan Sosial dalam Penanggulangan Pandemi Covid-19 adalah Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad);
- Mewajibkan kepada Tergugat I dan Tergugat II untuk menghentikan segala tindakan pemerintahan terkait Pelaksanaan Perpanjangan Pembatasan Sosial dalam Penanggulangan Pandemi Covid-19;
- Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini;
Isi Gugatan
Salah satu aspek yang digugat adalah pelanggaran UU Nomor 6 Tahun 2018 Pasal 49 Ayat (2) yang menyatakan: “Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan”. Objek gugatan melanggar semua ketentuan tersebut:
1. Para Tergugat atau pemerintah secara umum tidak pernah melakukan kajian epidemiologis tentang objek gugatan dan evaluasi tentang efektivitas terkait.
2. Semua data tentang kasus, rawat inap dan terutama kematian yang digunakan sebagai dasar untuk membenarkan objek gugatan tidak berarti. Tidak ada hubungan antara tes Covid-19 positif dan infeksi, tes Covid-19 tidak mampu mendeteksi infeksi dan pengujian yang dilakukan di Indonesia melanggar pedoman WHO yang menyatakan bahwa seorang yang dites “positif” tanpa adanya gejalah khas Covid-19 tidak boleh dicatat langsung sebagai “kasus”. Berdasarkan data dari Satgas Covid-19, 80% dari “Pasien Positif” adalah orang tanpa gejala, berarti sehat saja dan berdasarkan pedoman WHO tidak boleh dicatat sebagai “kasus” (“Satgas Covid: 80 Persen Pasien Positif Corona Adalah OTG” Artikel CNN Indonesia tanggal 21 Juli 2020 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200721140145-20-527132/satgas-covid-80-persen-pasien-positif-corona-adalah-otg). Pemerintah mencatat kematian dari penyebab apapun sebagai “akibat” Covid-19 hanya berdasarkan tes Covid-19 positif, tanpa adanya bukti sebab akibat antara Covid-19 dan kematian. Tidak pernah ada satupun kematian di Indonesia yang terbukti “akibat” Covid-19, misalnya dengan bukti otopsi atau bukti yang cocok lain. Dengan data begitu cacat dan kebanyakan palsu, pertimbangan epidemiologis yang serius tidak mungkin.
3. Pemerintah (Kemenkes dan Satgas Covid-19) dan Para Tergugat memiliki semua data yang benar, dan tersedia ribuan data resmi dan penelitian ilmiah dari seluruh dunia, bahwa Covid-19 tidak berbahaya bagi lebih dari 99% (99.5%-99,99+% tergantung kelompok umur) dari penduduk. Angka kematian sesuai pedoman resmi WHO (IFR – Infection Fatality Rate) dan berdasarkan data dari Kemenkes, Pemerintah DKI Jakarta dan sumber data Indonesia lain adalah kurang dari 0.2% (Misalnya di DKI Jakarta, dari awal pandemi sampai bulan Maret 2021: IFR rata-rata 0,127%) dan hanya orang yang sangat komorbid dan/atau sangat tua yang meninggal, kebanyakan akibat salah perawatan dan pengobatan di Rumah Sakit. Ancaman dari Covid-19 sangat kecil dan tidak membenarkan pembatasan masyarakat sama sekali, jumlah orang sangat kecil yang sebenarnya rentan dapat diidentifikasikan dan dilindungi dengan cara sederhana yang tidak berdampak pada seluruh masyarakat. Sesuai data WHO, pada tahun 2020 90.077 orang meninggal akibat TBC dan 52.531 orang meninggal akibat Influenza/Pneumonia. Pada tahun yang sama, 22.300 orang meninggal diduga (!!) karena Covid-19 (tidak ada bukti). TBC dan Influenza keduanya adalah penyakit menular seperti Covid-19, menyebabkan jauh lebih banyak kematian, akan tetapi Para Tergugat tidak melakukan tindakan seperti objek gugatan. Selain pelanggaran ketentuan besarnya ancaman, objek gugatan juga melanggar asas dasar tentang proporsionalitas.
4. Berdasarkan data resmi pemerintah, 99.2% dari penduduk telah memiliki imunitas terhadap Covid-19 pada April 2022 (vide Artikel CNN Indonesia 18 April 2022 “Menkes: 99,2 Persen Masyarakat Indonesia Punya Antibodi Covid-19” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220418163040-20-786210/menkes-992-persen-masyarakat-indonesia-punya-antibodi-covid-19). Dengan tingkat imunitas begitu tinggi dalam populasi, Covid-19 tentu saja tidak merupakan ancaman besar (atau sama sekali) dan objek gugatan sangat tidak dibutuhkan dan tidak proporsional.
5. Data epidemiologis dari Indonesia dan seluruh dunia jelas membuktikan bahwa orang yang divaksinasi, terutama yang dibooster, lebih banyak (dan lebih sering) terinfeksi dan lebih menularkan dari yang tidak divaksin sama sekali. Secara epidemiologi mereka adalah sumber penularan lebih signifikan, yang divaksin rata-rata 2 kali lebih terinfeksi dari yang tidak divaksin dan yang dibooster rata-rata 2 kali lebih terinfeksi dari yang tidak divaksin dan divaksin “lengkap” (2 suntikan). Oleh karena itu, pembatasan berdasarkan vaksinasi/booster yang merupakan tujuan utama objek gugatan sangat tidak mungkin efektif, pada kenyataannya objek gugatan mempunyai efektivitas negatif.
“Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Mohammad Syahril mencatat setidaknya 50 persen pasien terinfeksi mutasi SARS-CoV-2 Omicron dengan subvarian baru yakni BA.4 dan BA.5 di Indonesia sudah menerima suntikan dosis vaksin Covid-19 lanjutan atau booster. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220705141927-20-817476/kemkes-temukan-50-persen-pasien-ba4-dan-ba5-sudah-booster.)
6. Anak-anak normal tidak terdampak dari Covid-19, tidak pernah ada satupun anak normal yang meninggal akibat Covid-19, data tentang kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia terbukti dipalsukan oleh IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia, yang telah mengakui bahwa data kematian anak palsu), anak-anak terbukti bukanlah sumber penularan Covid-19 (pertimbangan epidemiologis) dan semua ketentuan tentang pembatasan pembelajaran dalam objek gugatan sangat tidak mungkin efektif, tidak dibutuhkan dan tidak proporsional. Jumlah anak-anak sangat kecil dengan penyakit penyerta berat dan tertentu yang berada dalam bahaya dari Covid-19 dapat dilindungi dengan cara yang tidak berdampak berat pada 99.99+% anak-anak lain. Angka kematian IFR adalah 0,0003% pada kelompok umur 0-19 tahun, jauh kurang dari Influenza/Pneumonia.
7. Objek gugatan jelas dan terbukti tidak efektif dari aspek epidemiologis yang terbukti dari fakta bahwa “gelombang” di awal tahun 2022 lebih tinggi dari “gelombang” di tengah tahun 2021 dan keduanya jauh lebih tinggi dari “gelombang” pertama:
(Sumber data kasus baru per hari dan tingkat vaksinasi “lengkap” (Vax): Johns Hopkins University CSSE Covid-19 yang berdasarkan data dari pemerintah Indonesia)
8. Kewajiban penggunaan PeduliLindungi adalah salah satu tujuan utama objek gugatan. Penggugat Nomor 4 (Ted Hilbert) telah melakukan permohonan berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik kepada Kemenkes untuk semua data terkait PeduliLindungi dan bukti bahwa PeduliLindungi telah mencegah satupun infeksi Covid-19 (Permohonan Informasi No. 2022061760217). Dari jawaban Kemenkes dan datanya dapat dilihat dengan jelas bahwa tidak ada data atau kajian yang menunjukkan/membuktikan bahwa PeduliLindungi efektif untuk mencegah infeksi dan penularan. Oleh karena itu, semua pembatasan/persyaratan berdasarkan PeduliLindungi dalam objek gugatan (dan akibatnya keseluruhan dari objek gugatan) melanggar ketentuan tentang pertimbangan epidemiologis dan efektivitas.
9. Sudah jelas bahwa objek gugatan tidak mungkin efektif untuk melindungi siapapun atau mencegah apapun dan melanggar ketentuan UU Nomor 6 Tahun 2018 Pasal 49 Ayat (2) antara lain. Lebih parah lagi, objek gugatan sangat merusak ekonomi bangsa dan hidup sosial masyarakat. Pada saat ini, kurang dari 30% dari penduduk dibooster, berarti objek gugatan mengecualikan/membatasi lebih dari 70% dari masyarakat dari transportasi umum, pergerakan, masuk mall, masuk pusat belanja, masuk tempat kerja dan banyak kegiatan hidup normal lain. Efek buruk dari fakta ini sangat jelas tanpa adanya manfaat apapun. (Tingkat Booster pada tanggal 6 November 2022 adalah 27.86% sesuai data Kemenkes https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines)
Dan
Bahwa INSTRUKSI MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 45 TAHUN 2022, INSTRUKSI MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 46 TAHUN 2022 atau KTUN apapun lain terkait objek gugatan tidak menyebutkan dasar (hukum) untuk melakukan pembatasan sosial berdasarkan vaksinasi/jumlah suntikan. Diktum KEDUA dari dua INMENDAGRI tersebut mereferensikan “Indikator Penyesuaian Upaya Kesehatan Masyarakat dan Pembatasan Sosial dalam Penanggulangan Pandemi COVID-19” = KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.01.07/MENKES/4805/2021 TENTANG INDIKATOR PENYESUAIAN UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT DAN PEMBATASAN SOSIAL DALAM PENANGGULANGAN PANDEMI CORONAVIRUS DISEASE 2019 (COVID-19). KEPMEN tersebut menyebutkan vaksinasi sebagai upaya untuk melindungi kelompok orang rentan akan tetapi tidak menyebutkan persyaratan vaksinasi sama sekali sebagai bagian dari “upaya kesehatan masyarakat dan pembatasan sosial” (Halaman 12). Fakta tersebut berarti bahwa semua pembatasan berdasarkan syarat vaksinasi/jumlah suntikan dalam objek gugatan tidak memiliki dasar, persetujuan atau rekomendasi dari Menteri Kesehatan yang sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah pejabat yang memiliki kewenangan atas semua aspek dari segala tindakan Kekarantinaan Kesehatan seperti objek gugatan. Para Tergugat tidak memiliki dasar atau kewenangan untuk melakukan pembatasan berdasarkan vaksinasi/jumlah suntikan apapun yang ada dalam objek gugatan.
Para Tergugat juga melanggar AAUPB (Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik), antara lain karena menyalahgunakan kewenangan:
Asas Tidak Menyalahgunakan Kewenangan yakni; asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/ atau tidak mencampuradukkan kewenangan:
- Para Penggugat sangat menduga bahwa Para Tergugat menyalahgunakan kewenangan masing-masing mereka untuk tujuan dan agenda tersembunyi. Para Penggugat telah menjelaskan bahwa objek gugatan tidak dapat mencegah penularan penyakit dan tidak dapat berkontribusi sama sekali untuk memperbaiki situasi Covid-19 karena tujuan utama objek gugatan (pemaksaan vaksinasi/booster Covid-19) tidak mencegah penularan, yang telah diakui oleh Pemerintah melalui Kementerian / Menteri Kesehatan. Oleh karena itu, jelas bahwa tujuan objek gugatan bukanlah untuk kesehatan masyarakat. Para Penggugat dapat melihat lebih lanjut bahwa Tergugat I, berbagai Menteri dan pejabat lain terafiliasi dekat dengan WEF – World Economic Forum, bersama dengan berbagai perusahaan yang secara langsung mendapatkan banyak keuntungan dari tindakan Para Tergugat, misalnya pembuat vaksin Pfizer dan Moderna. WEF juga menjalankan agenda “Great Reset” dan “Agenda 2030” yang pada dasarnya adalah upaya untuk menghancurkan kedaulatan nasional demi keuntungan perusahaan-perusahaan raksasa global. Para Penggugat dapat melihat bahwa infiltrasi WEF dalam Pemerintah Indonesia sudah dalam proses dan menduga bahwa objek gugatan adalah bagian dari agenda tersebut: Artikel Tribunnews 23 Juni 2021 berjudul “BPK: Indonesia Masuk Great Reset untuk Agenda 2030” (https://www.tribunnews.com/bisnis/2021/06/23/bpk-indonesia-masuk-great-reset-untuk-agenda-2030). Kita sudah tahu bahwa objek gugatan tidak memberikan manfaat apapun bagi masyarakat dan bangsa, jadi kita harus melihat “quo bono”, siapa mendapatkan keuntungan/manfaat dari objek gugatan? Hasil: Kewajiban penggunaan PeduliLindungi dalam objek gugatan adalah implementasi kontrol sosial melalui ID digital sesuai agenda WEF. Pemaksaan vaksin dalam objek gugatan memberikan keuntungan secara langsung kepada para pembuat vaksin yang anggota WEF.
- Bahwa Tergugat I yang memiliki kepentingan dalam produksi vaksin utamakan bisnis kesehatan dan permainan politik atas kesehatan masyarakat:
- Artikel Kompas.com tanggal 7 Oktober 2022 berjudul “Jokowi Resmikan Pabrik Vaksin Covid-19 Berbasis mRNA Pertama di Asia Tenggara” https://nasional.kompas.com/read/2022/10/07/18502121/jokowi-resmikan-pabrik-vaksin-covid-19-berbasis-mrna-pertama-di-asia.
- Artikel Setneg.go.id tanggal 13 Oktober 2022 berjudul “Luncurkan Vaksin IndoVac, Presiden: Dorong Terus agar Negara Berdikari dalam Vaksin” https://www.setneg.go.id/baca/index/luncurkan_vaksin_indovac_presiden_dorong_terus_agar_negara_berdikari_dalam_vaksin
Dengan adanya tingkat kekebalan 99.2% terhadap Covid-19 dalam populasi dan Covid-19 terbukti dan diketahui tidak berbahaya bagi lebih dari 99.8% dari penduduk, sebenarnya tidak ada kebutuhan untuk pabrik vaksin. Kebanyakan orang sudah sadar sejak lama bahwa vaksin Covid-19 tidak dibutuhkan, tidak aman dan tidak efektif. Survey bebas Para Penggugat di media sosial menemukan bahwa dari hampir 3000 peserta survey, hanya 3% telah mendapatkan vaksinasi/booster untuk tujuan kesehatan, yang lain mendapatkannya karena dipaksa atau untuk tujuan perjalanan (=pemaksaan):
(https://twitter.com/GratisTerbaik/status/1579362953467691008?s=20&t=kM0LEv-eEiF6Jze–nR7jQ)
Sangat jelas bahwa tanpa paksaan/pemaksaan melalui tindakan seperti objek gugatan, tidak lagi akan ada banyak orang yang bersedia untuk divaksin, kebutuhan vaksin di pasar tidak akan cukup untuk profitabilitas pabrik, semua pabrik vaksin akan segera bankrut dan Tergugat I akan disalahkan oleh oligarki (yang mendanai dan mengontrol banyak partai politik, terutama PDI-P) yang berinvestasi dalam pabrik vaksin dengan harapan mendapatkan banyak keuntungan. Memaksa rakyat untuk divaksin melalui objek gugatan untuk keuntungan oligarki dan tujuan permainan politik adalah penyalahgunaan kewenangan yang luar biasa berat. Fakta bahwa Elite PDI-P terlibat sebagai investor/pemegang saham dalam bisnis vaksin telah terbongkar oleh Tempo: Artikel Tempo tanggal 17 Mei 2022 berjudul “Vaksin Halal Elite PDIP” (https://newsletter.tempo.co/read/1592436/vaksin-halal-elite-pdip)
Para Penggugat akan rilis gugatan lengkap setelah proses pemeriksaan mempersiapkan selesai.
Saat ini 3 Gugatan lain oleh MPR (Majelis Penderitaan Rakyat) sedang dalam proses persidangan di PTUN Jakarta:
- Gugatan “Cabut Kewajiban Vaksinasi Covid-19” – Perkara No. 61/G/TF/2022/PTUN.JKT yang saat ini dalam proses banding
- Gugatan “Cabut PeduliLindungi” – Perkara No. 140/G/TF/2022/PTUN.JKT, putusan dijadwalkan untuk tanggal 14 November 2022
- Gugatan “Diskriminasi berdasarkan status vaksinasi” – Perkara No. 274/G/TF/2022/PTUN.JKT yang dalam persidangan, pada tanggal 17 November 2022 ada jadwal sidang ahli patologi dan imunologi Para Penggugat
MPR akan terus berjuang dan menggugat untuk melindungi HAM, konstitusi dan melindungi Rakyat dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah.
___
Kontak Pers:
Ted Hilbert
Tel & WhatsApp: 0812 94055 112
Email: investigasi.org@protonmail.com, investigasidotorg@gmail.com