Jakarta, 27 Mei 2022 | Gugatan melawan Menkes (Tergugat I) dan Menkominfo (Tergugat II) Tentang Pelanggaran Hukum dan HAM Terkait Aplikasi Kesehatan
Hari ini sekelompok 13 orang berafiliasi MPR (Majelis Penderitaan Rakyat) bersama dengan tim pengacara SUTA WIDHYA SH DAN REKAN telah mengajukan gugatan di PTUN terhadap Menkes dan Menkominfo yang secara bersama-sama bertanggung jawab atas aplikasi smartphone “kesehatan”/Covid19 khususnya PeduliLindungi dan e-HAC. Gugatan sudah terdaftar dengan nomor perkara 140/G/TF/2022/PTUN.JKT di PTUN Jakarta (http://sipp.ptun-jakarta.go.id/)
Tujuan gugatan ini adalah untuk menghentikan kewajiban penggunaan aplikasi “kesehatan” apapun, menghapus semua aplikasi dan data yang tersedia, mencegah “tirani” medis lewat ID digital di masa depan dan memaksa pemerintah untuk membuktikan beberapa elemen kunci dari “pandemi” Covid 19, misalnya bahwa tes PCR & antigen dapat mendeteksi “infeksi Covid 19”.
Sebelum mengajukan gugatan ini, para Penggugat telah mengajukan surat keberatan administratif kepada para Tergugat, surat lengkap dan penjelasan ada di Pers Release sebelumnya dan pembacaannya direkomendasikan untuk pemahaman yang lebih mendalam mengenai gugatan ini:
Berikut adalah beberapa kutipan dan penjelasan dari gugatan yang diajukan hari ini, semua dokumen lengkap akan dipublikasikan nanti setelah proses persidangan dan pembuktian sudah dimulai.
__________
Jenis Gugatan:
“Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatige Overheidsdaad)”
Objek Gugatan:
Tindakan Pemerintahan oleh TERGUGAT I bersama dengan TERGUGAT II berupa Kewajiban Penggunaan Aplikasi Kesehatan, atau Alat Elektronik/Non-Elektronik Lain, yang berbasis Informasi Medis dan Data Pribadi lainnya.
Petitum (Tuntutan para Penggugat):
- Menyatakan batal atau tidak sah tindakan Pemerintahan TERGUGAT I dan TERGUGAT II berupa mewajibkan dan memfasilitasikan penggunaan Aplikasi Kesehatan atau Alat Elektronik/Non-Elektronik Lain, yang berbasis Informasi Medis dan Data Pribadi lainnya;
- Mewajibkan kepada TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk melakukan Tindakan Pemerintahan, yakni Menghentikan segala tindakan yang mewajibkan dan memfasilitasikan penggunaan aplikasi Covid-19 atau Alat Elektronik/Non-Elektronik Lain, yang berbasis Informasi Medis dan Data Pribadi lainnya;
- Mewajibkan kepada TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk melakukan Tindakan Pemerintahan, yakni menonaktifkan semua aplikasi Covid-19 dan menghapus semua data terkait;
- Mewajibkan kepada TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk bayar ganti rugi sebesar 1 juta per hari per Penggugat mulai dari tanggal 10 Mei (10 hari kerja setelah surat keberatan) dan 10 juta per hari per Penggugat setelah putusan gugatan ini (dikabulkan) selama putusan tidak 100% diimplementasikan;
- Menghukum TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini;
Hukum yang dilanggar oleh para Tergugat (antara lain):
1. Bahwa bahkan PARA PENGGUGAT memiliki hak yang dijamin dalam UUD 1945 antara lain:
Pasal 28A ayat (1), yang menyatakan:
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Pasal 28D ayat (1), yang menyatakan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Pasal 28G ayat (1), yang menyatakan:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”
2. Bahwa terhadap hak-hak konstitusional tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam UU 39/1999, antara lain:
Pasal 9, yang menyatakan:
Ayat (1)
“Setiap oang berhak untuk hidup, mempertahankan hidupnya dan meningkatkan taraf kehidupannya”
Ayat (2)
Setiap orang berhak tentram, aman, damai, Bahagia, sejahtera lair dan batin.
Pasal 27, yang menyatakan:
Setiap warga negara Indonesia berhak untuk bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia
3. Bahwa PARA PENGGUGAT memiliki hak untuk perlindungan data/informasi pribadi dan medis, seperti status vaksinasi, hasil tes Covid 19 yang dijamin antara lain oleh:
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pasal 26 ayat (1) UU 19/2016:
Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan. (Kewajiban/pemaksaan tidak pernah bisa dianggap sebagai “persetujuan orang”)
Penjelasan Pasal 26 ayat (1) UU 19/2016:
Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:
- Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
- Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.
- Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.
Definisi data pribadi terdapat dalam Pasal 1 angka 29 PP PSTE Nomor 71 Tahun 2019:
Data Pribadi adalah setiap data tentang seseorang baik yang teridentifikasi dan/atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui Sistem Elektronik dan/atau nonelektronik.
Dan
Pasal 84 ayat (1) UU 24/2013, meliputi:
- keterangan tentang cacat fisik dan/atau mental;
- sidik jari;
- iris mata;
- tanda tangan; dan
- elemen data lainnya yang merupakan aib seseorang.
Pasal 57 ayat (1) UU 36/2009 tentang Kesehatan:
“Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.”
Penjelasan Tambahan:
Bahwa TERGUGAT I dalam gugatan ini adalah MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA yang melakukan tindakan faktual dengan mewajibkan secara langsung penggunaan Aplikasi Kesehatan dengan berbagai aturan, misalnya HK.02.01/MENKES/847/2021, HK.02.02/I/3933/2021. Tergugat I lewat lembaganya Kementerian Kesehatan juga adalah “pemilik” utama berbagai aplikasi Covid-19, misalnya PeduliLindungi dan e-HAC yang berarti Tergugat I mengontrol dan memiliki semua data pribadi dan kesehatan dari pengguna Aplikasi Kesehatan tersebut dan menjadi fasilitator yang memungkinkan pihak lain untuk mewajibkan penggunaan aplikasi tersebut. Satu-satunya dasar hukum yang dapat membenarkan pembatasan dan kewajiban seperti kewajiban penggunaan aplikasi kesehatan adalah UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dimana Menteri Kesehatan selaku TERGUGAT I adalah Pejabat yang menjadi pemegang tanggung jawab dalam penanganan semua tindakan kekarantinaan Kesehatan. Meskipun terjadi kewajiban penggunaan aplikasi kesehatan oleh instansi pemerintahan lain, misalnya Kementerian Perhubungan dan Satgas Covid 19, Tergugat I sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
Bahwa TERGUGAT II dalam gugatan ini adalah MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA yang memfasilitasikan tindakan faktual mewajibkan penggunaan Aplikasi Kesehatan dengan berbagai aturan, misalnya Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 171 Tahun 2020 tentang Penetapan Aplikasi Pedulilindungi Dalam Rangka Pelaksanaan Surveilans Kesehatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Tergugat II lewat lembaganya Kementerian Komunikasi dan Informatika juga adalah pencipta dan salah satu “pemilik” kunci berbagai aplikasi Covid-19, misalnya PeduliLindungi, yang berarti Tergugat II memiliki semua data pribadi dan kesehatan dari pengguna Aplikasi Kesehatan tersebut dan menjadi fasilitator yang memungkinkan pihak lain untuk mewajibkan penggunaan aplikasi tersebut. Tergugat II lewat keputusan yang sama telah memberikan pihak ketiga PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) akses ke semua data pribadi dan medis yang disimpan dalam Aplikasi Kesehatan PeduliLindungi.
Bahwa TERGUGAT I dan TERGUGAT II keduanya adalah stakeholder utama dalam Aplikasi Kesehatan PeduliLindungi dan e-HAC dan keduanya adalah juga stakeholder dalam Satgas Covid 19 yang memanfaatkan Aplikasi Kesehatan untuk mengeluarkan berbagai aturan terkait kewajiban penggunaan Aplikasi Kesehatan yang merugikan para Penggugat.
Bahwa meskipun TERGUGAT II tidak mewajibkan penggunaan Aplikasi Kesehatan secara langsung, Tergugat II sebagai pencipta dan pemilik utama Aplikasi Kesehatan, dan datanya, memfasilitasikan pihak lain, termasuk Tergugat I dan pihak ketiga misalnya Satgas Covid 19, untuk melakukan tindakan kewajiban.
Bahwa berdasarkan kondisi itulah maka, para Penggugat dalam merumuskan gugatan ini berpendapat tidak dapat memisahkan hubungan hukum antara TERGUGAT I (MENTERI KESEHATAN) dan TERGUGAT II (MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA) karena tindakan faktual dengan mewajibkan penggunaan Aplikasi Kesehatan, dan pemaksaan kepada orang untuk memberikan data pribadi dan medis, adalah pelaksanaan kewenangan bersama yang saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan pemerintahan yang mempunyai peran dan tanggung jawab satu sama lain. Gabungan tindakan para tergugat juga memungkinkan instansi lain / pihak ketiga termasuk perusahaan swasta untuk menerapkan kewajiban penggunaan Aplikasi Kesehatan, yang tanpa tindakan para Tergugat tidak mungkin dilakukan.
___
Bahwa kewajiban penggunaan aplikasi kesehatan adalah tindakan kekarantinaan kesehatan sesuai definisi dalam Pasal 1 UU 6/2018: “Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit /atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.”
Sesuai Pasal 2 UU 6/2018 “Kekarantinaan Kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan:
- perikemanusiaan;
- manfaat;
- pelindungan;
- keadilan;
- nondiskriminatif;
- kepentingan umum;
- keterpaduan;
- kesadaran hukum; dan
- kedaulatan negara.
Fakta bahwa tindakan kewajiban penggunaan aplikasi kesehatan tidak mencegah infeksi dan penularan (Karena Vaksin Covid 19 tidak mencegah infeksi dan penularan yang diakui oleh Tergugat I; Menkes: “Karena vaksinasi itu bukan membuat kita kebal ya kita bisa tertular dan menularkan” https://www.republika.co.id/berita/qyod91428/menkes-vaksinasi-tak-buat-kebal-covid19), point b., c., d., e. dan f. tidak terpenuhi, bahkan melanggar point d. dan e. secara berat karena tidak adil dan diskriminatif tanpa dasar terhadap orang yang tidak bisa/bersedia untuk menggunakan aplikasi kesehatan.
___
Bahwa tindakan Faktual TERGUGAT I dan TERGUGAT II yang mewajibkan penggunaan Aplikasi Kesehatan bertentangan secara langsung dengan Pasal 5 ayat (3) UU 36/2009 yang menyatakan dengan tegas bahwa “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”, Pasal 27 UU 39/1999, yang menyatakan dengan tegas bahwa: “Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.” dan Pasal 57 ayat (1) UU 36/2009 yang menyatakan dengan tegas bahwa: “Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.”
___
Kewajiban penggunaan Aplikasi Kesehatan yang berdasarkan status vaksinasi secara keseluruhan tidak memberikan kontribusi apapun untuk menghentikan / menurunkan Covid 19 karena vaksin Covid 19 tidak mencegah infeksi dan penularan. Fakta tersebut juga membuat status vaksinasi informasi kesehatan yang dilindungi, tidak ada kepentingan untuk orang lain, jadi pemerintah dan pihak lain tidak berhak untuk diketahui informasi tersebut.
Menkes: “Karena vaksinasi itu bukan membuat kita kebal ya kita bisa tertular dan menularkan” https://www.republika.co.id/berita/qyod91428/menkes-vaksinasi-tak-buat-kebal-covid19
Fakta tersebut diketahui sejak setidaknya Januari 2021:
Januari 2021: “Jadi vaksin itu mencegah kita menjadi sakit, bukan mencegah kita menjadi tertular,” kata Nadia yang juga Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (Dirjen P2P) Kemenkes, Jumat (29/1).” https://www.republika.co.id/berita/qnorqe328/vaksinasi-bukan-untuk-mencegah-penularan-covid19
Vaksin Covid19 tidak mencegah infeksi dan penularan. Bahkan banyak data menunjukkan bahwa yang divaksinasi tampaknya lebih mudah terinfeksi dan lebih menular, orang yang divaksinasi banyak saling menular sama satu lain. Karena efektivitas vaksin adalah negatif untuk infeksi dan penularan, dapat disimpulkan bahwa orang yang divaksinasi lebih menularkan virus daripada orang yang tidak divaksinasi. Ini berarti dari perspektif epidemiologi, orang yang divaksinasi adalah sumber penularan yang LEBIH BESAR daripada yang tidak divaksinasi, artinya orang yang divaksinasi adalah ancaman yang lebih besar bagi kesehatan masyarakat daripada yang tidak divaksinasi. Artinya kewajiban penggunaan Aplikasi Kesehatan berdasarkan status vaksinasi memperburuk penularan Covid 19 karena menciptakan konsentrasi tinggi orang yang berpotensi tinggi menular Covid 19 dalam ruang atau fasilitas umum.
Kegagalan kebijakan/tindakan kewajiban penggunaan Aplikasi Kesehatan jelas dari fakta bahwa gelombang besar Delta dan Omicron terjadi.
Menurut pernyataan Jubir Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, dalam laman resmi Kemenkes RI Jumat (15/4/2022): “Peduli Lindungi sudah mencegah 3.733.067 orang dengan status merah atau vaksinasi belum lengkap memasuki ruang publik”. Ini adalah diskriminasi massal yang jelas dan tanpa dasar, karena melarang semua orang tersebut untuk memasuki ruang publik tidak berkontribusi sama sekali dalam pencegahan penularan Covid 19, karena vaksin Covid 19 tidak mencegah penularan. (https://www.kompas.com/wiken/read/2022/04/16/040300181/as-tuding-aplikasi-pedulilindungi-melanggar-ham-ini-respons-kemenkes?page=all)
Banyak warga masyarakat, terutama yang miskin, tidak memiliki handphone yang dapat digunakan untuk aplikasi Covid19, atau tidak memiliki handphone sama sekali, atau memilih untuk tidak memiliki handphone yang dapat digunakan untuk aplikasi Covid19 karena berbagai alasan termasuk perlindungan privasi. Kewajiban penggunaan aplikasi Covid19 untuk mengakses ruang publik jelas merupakan diskriminasi terhadap orang tersebut.
___
Pemerintah sendiri sudah mengakui bergabung dalam “Agenda 2030” dan “Great Reset” yang dijalankan oleh UN (PBB), WEF (World Economic Forum) dan WHO dengan tujuan implementasi pemerintah dunia, membatasi / mengeliminasi kedaulatan nasional dan banyak pembatasan dan kewajiban untuk masyarakat, misalnya vaksinasi eksperimental secara teratur dan kontrol total masyarakat lewat uang digital. Digital ID atau identitas digital adalah salah satu persyaratan inti untuk mengimplementasikan agenda tersebut dan entitas yang tidak dipilih dan tidak bertanggung jawab seperti UN, WHO dan WEF secara terbuka mengakui menyalahgunakan Covid 19 untuk menerapkan identifikasi digital ini lewat Aplikasi Kesehatan.
BPK: Indonesia Masuk Great Reset untuk Agenda 2030 https://www.tribunnews.com/bisnis/2021/06/23/bpk-indonesia-masuk-great-reset-untuk-agenda-2030
Wikipedia: Great Reset https://en.wikipedia.org/wiki/Great_Reset
World Economic Forum and UN Sign Strategic Partnership Framework https://www.weforum.org/press/2019/06/world-economic-forum-and-un-sign-strategic-partnership-framework/
How digital identity can improve lives in a post-COVID-19 world https://www.weforum.org/agenda/2021/01/davos-agenda-digital-identity-frameworks/
Bahwa tindakan faktual kewajiban penggunaan Aplikasi Kesehatan tanpa dasar atau hubungan dengan kesehatan sama sekali, terutama karena berdasarkan status vaksinasi, jelas adalah langkah pertama untuk mengimplementasikan agenda di Indonesia yang direkayasa oleh institusi global yang tidak dipilih oleh siapa pun dan tidak memiliki akuntabilitas. Para tergugat melalui tindakannya melanggar kedaulatan negara dan setiap pengurangan atau hilangnya kedaulatan negara merupakan kerugian yang besar bagi generasi yang akan datang.
Pemerintah tidak berhak memberikan kedaulatan nasional kepada entitas asing, atau melaksanakan agenda entitas asing yang mengurangi/membatasi kedaulatan nasional, melalui tindakannya. Konstitusi secara khusus melindungi generasi mendatang dari penyalahgunaan kekuasaan seperti itu: Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD.”
___
Tindakan Faktual TERGUGAT I dan TERGUGAT II yang secara langsung memaksa rakyat untuk Vaksinasi Covid 19 dengan kewajiban penggunaan Aplikasi Kesehatan yang berdasarkan status vaksinasi, sebagai salah satu alat pemaksaan, ternyata bertentangan dengan kepentingan manusia dan ekosistem, karena vaksin memiliki efek jangka panjang yang tidak diketahui, tidak pernah diuji dan berdasarkan ribuan studi ilmiah diduga berbahaya, bahkan ada kemungkinan untuk perubahan genom penerima vaksin yang sudah terindikasi dalam penelitian dan jurnal tapi dalam uji klinis vaksin toksisitas genomik tidak pernah diuji.
___
Bahwa berdasarkan kondisi ini para Penggugat merumuskan beberapa fakta ketidakcermatan TERGUGAT I dan TERGUGAT II dalam menetapkan tindakan kewajiban penggunaan Aplikasi Kesehatan, sebagai berikut:
- Belum pernah dilakukan kajian atau analisis tentang kewajiban penggunaan Aplikasi Kesehatan, misalnya analisis risiko vs manfaat, oleh para Tergugat.
- Pencegahan infeksi dan penularan tidak pernah diuji dalam uji klinik Vaksin Covid 19, dan setidaknya Tergugat I tahu sejak awal bahwa Vaksin Covid 19 tidak mencegah penularan, artinya penggunaan Aplikasi Kesehatan yang berdasarkan status vaksinasi tidak mungkin mencegah penularan atau melindungi siapapun.
- Fakta ini memperjelas bahwa penggunaan wajib Aplikasi Kesehatan yang berdasarkan status vaksinasi tidak berdasarkan data ilmiah, tidak memiliki tujuan kesehatan, tidak dapat berkontribusi untuk mengurangi tingkat penularan, tidak akan melindungi satupun orang dari infeksi Covid 19 dan tidak masuk akal secara umum, tetapi meskipun demikian para Tergugat telah mewajibkannya.
- Pedoman resmi WHO menjelaskan bahwa dalam konteks “paspor vaksin” kekebalan alami hasil infeksi alami Covid 19 sama dengan vaksinasi. Tersedia lebih dari 150 studi ilmiah peer review yang membuktikan bahwa kekebalan alami jauh lebih kuat dan bertahan jauh lebih lama daripada vaksinasi. Tidak tersedia satu pun studi ilmiah serius di seluruh dunia yang menunjukkan bahwa kekebalan alami kurang efektif dari vaksinasi. CDC AS bahkan telah mempublikasikan studi ilmiah berdasarkan data seluruh penduduk AS selama gelombang Delta yang membuktikan bahwa kekebalan alami beberapa kali lebih kuat/efektif dari vaksinasi. Di negara lain, misalnya di Uni Eropa, kekebalan alami diakui sama dengan vaksinasi untuk mendapatkan status hijau dalam paspor Covid 19 Uni Eropa. Meskipun semua fakta tersebut, Tergugat I bertindak tanpa dasar data dan secara tidak ilmiah dengan menyatakan “penyintas Covid 19 harus divaksin karena kekebalan alami tidak cukup kuat” dan menolak untuk mengakui kekebalan alami untuk mendapatkan status “hijau” dalam aplikasi kesehatan.
- Tidak ada dasar untuk mewajibkan penggunaan Aplikasi Kesehatan karena tidak ada darurat. Covid 19 hanya berbahaya untuk sebagian kecil masyarakat rentan dengan penyakit / komorbid berat tertentu yang dapat dilindungi dengan cara lainnya yang tidak berdampak berat pada keseluruhan masyarakat.
- Tidak ada dasar untuk mewajibkan penggunaan Aplikasi Kesehatan karena orang yang tidak sakit, yang disebut “OTG”, bukan adalah sumber penularan yang signifikan. Sumber penularan utama adalah orang yang sakit / bergejala yang dapat diidentifikasi dengan cara seperti uji suhu. Penggunaan Aplikasi Kesehatan akan mencegah orang yang tidak divaksinasi dan mereka yang dinyatakan “positif” untuk mengakses ruang publik, yang keduanya tidak memiliki korelasi dengan penyebaran, tetapi tidak mencegah orang yang benar-benar sakit dan menular memasuki ruang tersebut.
- Tidak ada dasar untuk mewajibkan penggunaan Aplikasi Kesehatan karena tidak ada darurat. Semua data “kasus”, “rawat inap” dan “kematian” yang menjadi dasar untuk menyatakan status darurat kebanyakan sebenarnya tidak benar karena berdasarkan metode uji yang tidak mampu mendeteksi infeksi virus dan metode pencatatan “kematian” dimana tidak ada sebab akibat antara Covid 19 dan penyebab kematian, ditambah salah perawatan dan salah pengobatan yang menyebabkan kematian pasien.
- Tidak ada dasar untuk mewajibkan penggunaan Aplikasi Kesehatan karena tidak ada darurat. Tergugat I dan pemerintah secara umum telah mengadopsi pernyataan dan rekomendasi WHO tanpa pernah melakukan (cukup) investigasi atau kajian sendiri tentang Covid 19. WHO tidak dapat dipercaya karena berbagai alasan, misalnya penipuan terbukti “pandemi” palsu sebelumnya “Flu babi” dan “Flu burung” yang direkayasa untuk kepentingan industri farmasi (Vaksin, Tamiflu), proporsi pendanaan yang tinggi dari industri farmasi untuk mempengaruhi kebijakan dan rekomendasi WHO dan fakta bahwa mereka tidak dipilih, tidak bertanggung jawab kepada siapa pun dan tidak memiliki pengawasan independen. Pendana terbesar WHO adalah Bill Gates yang memiliki kepentingan keuangan yang sangat besar di industri farmasi dan teknologi besar, yang juga merupakan penerima manfaat terbesar dari kebijakan pandemi WHO.
___
Kontak Pers: Ted Hilbert
Tel & WhatsApp: 0812 94055 112
Email: investigasi.org@protonmail.com
___
Tim Hukum:
- SUTA WIDHYA, S.H.
- SAHID, S.H.
- ALEX A. PUTRA, S.H.
- DEASY ANNA VICTORINA, S.H.
- Dr. SANIDJAR PEBRIHARIATI, R, S.H.,M.H
Kesemuanya adalah Warga Negara Indonesia, Pekerjaan Advokat, Advokat Magang* dan Konsultan Hukum pada KANTOR HUKUM SUTA WIDHYA SH DAN REKAN, beralamat di JL.CIDENG BARAT DALAM 4A, JAKARTA PUSAT
__________