“UU Kesehatan baru dengan sengaja ditulis sedemikian rupa sehingga memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk mengimplementasikan kediktatoran kesehatan kapan pun tanpa pertanggungjawaban”
Kami sebelumnya telah menerbitkan analisis konstitusionalitas Rancangan Undang-undang Kesehatan baru (link) dan mengirimkannya ke DPR dan Kemenkes sebelum rancangan tersebut “disahkan” menjadi Undang-undang. Keduanya mengkonfirmasi penerimaan analisis tersebut.
Ketakutan terburuk kami telah menjadi kenyataan dan pelanggaran paling mengerikan terhadap konstitusi dan hak asasi manusia dalam RUU tersebut telah “disahkan” dalam UU Kesehatan baru.
UU Kesehatan Baru: Ancaman terhadap Hak Medis Dasar, HAM dan Kontroversi Pencabutan Informed Consent
Pasal 4 Ayat (2) dan (3) dari UU Kesehatan baru (No. 17/2023) membawa konsekuensi serius terhadap hak-hak medis dasar yang sekaligus merupakan hak asasi manusia, terutama dalam situasi di mana dinyatakan “KLB” atau “Wabah”.
Informed consent, atau persetujuan yang diberikan dengan pengetahuan penuh, telah menjadi landasan etika medis sejak diperkenalkan oleh dokter Inggris, Sir William Osler, pada awal abad ke-20. Konsep ini memastikan bahwa pasien memiliki pengetahuan yang memadai tentang diagnosis, pengobatan, risiko, dan alternatif sebelum memberikan persetujuan untuk prosedur medis.
Pencabutan informed consent dapat dengan mudah diilustrasikan: Tindakan medis apapun dapat dipaksakan kepada semua orang, seperti penyuntikan bahan apapun termasuk yang percobaan, obat percobaan, bahkan pembedahan. Tanpa memberikan informasi apa pun tentang kandungan, keamanan, dan efektivitas tindakan tersebut.
Selain itu, hak untuk mendapatkan informasi dan memberikan persetujuan secara bebas merupakan bagian integral dari kode etik medis dan telah diakui secara internasional. Deklarasi Helsinki, sebuah panduan etika medis internasional, menggarisbawahi pentingnya informed consent sebagai prinsip utama. Begitu juga dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal PBB dan Deklarasi Universal tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia UNESCO yang menegaskan hak setiap individu untuk memberikan persetujuan bebas dan memahami implikasi dari keputusan medis yang diambil.
Dalam konteks konstitusional, hak untuk mendapatkan informasi dan memberikan persetujuan sejalan dengan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, penghentian informed consent harus dianggap sebagai langkah ekstrem yang hanya dapat dilakukan dalam situasi yang paling ekstrem. Hak dasar / HAM tidak dapat dicabut secara sembarangan atau sewenang-wenang.
Pencabutan informed consent tidak hanya mencabut hak asasi manusia, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip etika medis yang selama ini menjadi dasar interaksi antara dokter dan pasien. Keputusan untuk menyatakan “KLB” atau “Wabah”, yang berakibat pada pencabutan informed consent, haruslah dipertimbangkan dengan cermat, karena pencabutannya tidak seharusnya menjadi kebijakan rutin yang diterapkan dengan sembarangan.
Dengan demikian, kita perlu menilai apakah definisi KLB oleh Kementerian Kesehatan memang mencerminkan kondisi yang benar-benar ekstrem, atau apakah hal ini menjadi bagian dari permasalahan lebih besar yang mengancam hak-hak medis dasar dan hak asasi manusia.
Pencabutan Informed Consent: Tantangan Konstitusional Pasal 4 UU Kesehatan Baru
Pasal 4 Ayat (1) dari UU Kesehatan baru dengan jelas menetapkan informed consent sebagai hak dasar: “h. menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap”. Namun, paradoks muncul pada Ayat (3), yang menggantikan hak dasar tersebut dengan ketentuan sebagai berikut: “Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h tidak berlaku pada: … b. penanggulangan KLB atau Wabah;”.
Untuk memahami implikasi dari ketentuan ini, kita perlu memahami arti dari “KLB” dan “Wabah”, yang tidak didefinisikan dalam UU. Kementerian Kesehatan baru-baru ini mengeluarkan pedoman berjudul “PEDOMAN Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) Penyakit Potensial KLB / Wabah” yang mencakup kriteria untuk menyatakan suatu kejadian sebagai KLB (Link ke dokumen pedoman).
Lampiran 3 (mulai dari halaman 69) mencantumkan kriteria untuk mendeklarasikan KLB untuk daftar panjang penyakit. Sebagai contoh, panduan tersebut menyatakan bahwa satu kasus “suspek” COVID sudah cukup untuk menyatakan KLB. Di sisi lain, satu kasus Kolera, yang memiliki tingkat kematian hingga 50%, dianggap setara dengan COVID yang memiliki tingkat kematian jauh lebih rendah, di bawah 0.05% dan hanya menyerang orang yang sudah sangat tua atau dengan penyakit penyerta yang parah.
Beberapa contoh KLB dalam dokumen Kemenkes:
Akibat dari semua contoh di atas adalah pencabutan informed consent bagi seluruh populasi, sesuai Pasal 4 Ayat (3) UU Kesehatan baru!
Pertanyaan mendasar muncul: apakah kondisi seperti ini benar-benar membenarkan penghentian informed consent, yang merupakan hak dasar/HAM dan konstitusional? Keputusan untuk menyatakan KLB haruslah didasarkan pada kriteria yang objektif, relevan dan proporsional dengan risiko kesehatan masyarakat yang benar.
Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan asas-asas dasar yang wajib diikuti oleh semua hukum (UU, Peraturan dll) dan tindakan pemerintah, termasuk “Asas Kepastian Hukum” dan “Asas Proporsionalitas”. Asas-asas ini tidak hanya mewajibkan agar hukum tertulis sesuai dengan asas tersebut, hukum juga tidak boleh memiliki ketentuan yang memungkinkan atau mengizinkan pelanggaran terhadap asas tersebut dan konstitusi.
Pertanyaan krusial yang muncul adalah sejauh mana pencabutan informed consent dalam UU Kesehatan baru sesuai dengan asas proporsionalitas dan kepastian hukum yang diamanatkan oleh konstitusi. Informed consent, sebagai hak dasar yang diakui oleh Pasal 4 UU Kesehatan baru, seharusnya menjadi bagian dari perlindungan hukum yang konsisten dan dapat diandalkan.
Asas Proporsionalitas, yang termaktub pada Pasal 3 Nomor (5), menyiratkan bahwa setiap hukum harus ditulis dengan cara yang menghormati prinsip ini. Dalam kasus ini, logika dasar menunjukkan bahwa penghentian informed consent untuk seluruh populasi berdasarkan 1 kasus suspek COVID (atau penyakit lain) sangat tidak proporsional. Namun, Nomor (1) Asas Kepastian Hukum memiliki makna yang lebih dalam, terutama mengandung “asas legalitas” (asas negara hukum) yang terdiri antara lain dari “lex stricta” dan “lex certa”. Makna ini telah dikembangkan oleh para akademisi hukum dan khususnya yurisprudensi oleh Mahkamah Konstitusi.
“Lex stricta” berarti hukum harus ketat dan terbatas, tanpa memberikan ruang untuk interpretasi liar dan penyalahgunaan. “Lex certa” menuntut bahwa hukum harus jelas dan spesifik, sehingga tidak memberikan ruang untuk tafsiran sembarangan. Penerapan asas legalitas pada pembentukan UU atau Peraturan sangat penting, terutama ketika melibatkan hak-hak dasar / HAM.
Dengan memahami asas-asas dan perlindungan konstitusional tersebut, jelas bahwa teks dan ketentuan Pasal 4 Ayat (2) dan Ayat (3) melanggar konstitusi. Panduan SKDR dari Kementerian Kesehatan dan tindakan-tindakan sebelumnya, seperti mendeklarasikan KLB untuk flu burung tanpa adanya satu pun kasus pada manusia atau 1 “kasus” Polio, merupakan bukti nyata bahwa pelanggaran UU Kesehatan baru terhadap konstitusi bukanlah sekadar teoretis, tetapi telah terjadi dan sedang terjadi di dunia nyata.
Mengkhawatirkan: UU Kesehatan Baru dan Ancaman Kediktatoran Kesehatan
UU Kesehatan baru dengan sengaja ditulis sedemikian rupa sehingga memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk mengimplementasikan kediktatoran kesehatan kapan pun tanpa pertanggungjawaban, dan menyerahkan kesehatan dan kebebasan kita kepada pejabat & birokrat korup dan industri farmasi. Mereka yang sama yang telah berbohong kepada kita sejak awal “pandemi” COVID, telah mempromosikan dan mewajibkan “vaksin” eksperimental yang sekarang sudah terbukti tidak hanya tidak efektif tetapi bahkan sangat berbahaya dan menyebabkan kerusakan pada kesehatan & kematian berlebihan yang masif.
Pemerintah dan terutama DPR, telah mengkhianati rakyat dan kehilangan segala rasa hormat terhadap rakyat dan konstitusi, yang merupakan dasar negara ini. UU Kesehatan baru ini mungkin merupakan pelanggaran konstitusi yang paling parah dalam sejarah, dan Mahkamah Konstitusi akan menghadapi ujian serius mengenai ketaatannya pada konstitusi pada saat kami akan mengajukan uji materiil terhadap UU Kesehatan baru.
Siapa pun yang ingin bergabung atau mendukung upaya hukum tersebut dapat menghubungi kami melalui nomor WhatsApp 085946653633 atau email investigasidotorg@gmail.com.
Ini adalah saat yang kritis untuk bersatu dan mempertahankan nilai-nilai konstitusional dan hak-hak dasar kita sebagai warga negara dan umat manusia.