Dalam tulisan ini saya ingin berbagi sedikit mengenai alasan saya menolak vaksin Covid-19. Awalnya saya sudah berencana untuk mendapatkan vaksin ini sebelum bulan Oktober berakhir. Saya membutuhkannya supaya bisa berangkat ke lokasi pekerjaan baru yang terletak di luar kota. Tapi semakin hari saya semakin ragu untuk melakukannya. Saya sudah mendownload aplikasi Peduli Lindungi dan mencari informasi tempat-tempat yang menyediakan vaksin. Tapi rasanya saya sama sekali tidak punya energi untuk menyelesaikan pendaftaran dan berangkat ke lokasi vaksin.
Sejak aturan mengenai vaksin dikeluarkan, saya memang sudah memiliki beberapa keraguan, namun saya memilih untuk mengabaikan keraguan itu karena membutuhkan sertifikat vaksin untuk bisa mulai bekerja di tempat yang sudah menerima saya. Saya tidak begitu yakin dengan efektivitas vaksin Covid-19 yang didistribusikan saat ini, tapi saya membutuhkan pekerjaan untuk melanjutkan hidup dan rencana-rencana saya. Karena pertimbangan itu, saya tidak meneliti dengan detail mengenai berbagai kejanggalan yang terdapat dalam aturan wajib vaksin belakangan ini. Faktanya, saya terlalu malas, lelah dan pusing untuk melakukannya.
Tapi tidak lama setelah menandatangani kontrak kerja, saya iseng membuka twitter dan melihat postingan akun @ProtestNews_EN. Akun ini membagikan video demonstrasi yang sedang terjadi di negara-negara Eropa (Inggris, Perancis, Spanyol, Italia, Luxemburg, Swiss, Jerman) dalam rangka penolakan atas aturan wajib vaksin/vaccine mandate. Informasi mengenai berbagai demonstrasi itu menjadi salah satu aspek penting yang membuat saya mempertimbangkan kembali keputusan saya menerima vaksin (demi bisa mulai bekerja di luar kota).
Setelah mendapat informasi itu, saya menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk mencari berbagai informasi dan sudut pandang mengenai kebijakan vaksin yang diterapkan hampir seluruh negara (termasuk Indonesia). Namun, seperti yang kita ketahui, dunia saat ini sedang mengalami fenomena “kebanjiran informasi”, dimana ada banyak sekali informasi yang beredar, tapi seringkali berlawanan satu sama lain. Ini adalah hal yang sangat membingungkan, dan terkadang saya berpikir untuk berhenti memikirkan perkara vaksin ini, berhenti mencari informasi lebih lanjut, segera mendaftarkan diri untuk divaksin supaya saya bisa berangkat ke lokasi pekerjaan yang baru.
Namun, saya terus merasa gelisah dan ragu. Karena itu, saya memutuskan untuk terus mencari tahu dan menganalisa berbagai opini yang beredar, demi mencapai sebuah keyakinan yang mantap bagi diri saya sendiri. Lagi-lagi, ini bukan hal yang mudah karena hampir semua media mainstream terkesan hanya menonjolkan satu sisi argumen (pro wajib vaksin) dan sangat terburu-buru dalam mencap semua orang yang meragukan vaksin (vaccine hesitant) sebagai penyebar hoax, penganut teori konspirasi, dan anti-vaxxer yang tak berakal sehat. Bahkan ahli virologi dengan credential resmi seperti Geert Vanden Bossche, Robert Malone, dan Luc Montagnier[1] dengan mudahnya diabaikan dan disanggah sepihak oleh fact-checkers media-media mainstream.
Di tengah berbagai kebingungan dan keraguan, saya memutuskan untuk terus mencari informasi hingga saya merasa yakin untuk menarik kesimpulan bagi diri saya sendiri.
Beberapa hari ini, tibalah saya pada suatu titik dimana saya bisa menyimpulkan (sejauh informasi yang saya dapatkan dan sejauh kemampuan saya untuk berpikir kritis) bahwa aturan vaksin yang diterapkan oleh pemerintah berbagai negara, termasuk negara saya sendiri, Republik Indonesia, sebagai suatu hal yang meragukan dan mengkhawatirkan. Saya tergoda untuk menggunakan kata-kata seperti “tidak masuk akal” dan istilah-istilah lainnya yang terkesan ekstrim. Tapi di dalam argumen ini, saya merasa lebih tepat menggunakan kata-kata seperti “meragukan” dan “mengkhawatirkan”, mengingat keterbatasan informasi yang saya miliki, ketiadaan credential saya dalam bidang medis, dan juga kemungkinan bahwa hipotesis yang saya buat sejauh ini salah.
Namun, kebijakan pemerintah yang meragukan dan mengkhawatirkan tersebut merupakan alasan yang cukup kuat bagi saya untuk menolak/menunda menaati peraturan vaksin yang sedang diberlakukan saat ini. Tujuan saya menolak aturan itu bukan semata-mata untuk menjadi seorang “pembangkang”, tapi salah satunya, rasa tanggung jawab kepada diri saya sendiri sebagai seorang manusia yang bisa berpikir dan suka mencari kebenaran. Saya tidak bermaksud menimbulkan kegaduhan apa pun atau menarik siapa pun kepada pendapat saya. Ini adalah murni pendapat saya pribadi dan saya menghargai pendapat pihak-pihak lain yang berbeda.
Izinkanlah saya memaparkan secara singkat beberapa alasan atas pendirian saya tersebut. Beberapa alasan ini tidak hanya terkait dengan kebijakan pemerintah Indonesia, namun kebijakan WHO dan organisasi lainnya yang mendominasi dan memengaruhi secara langsung kebijakan pemerintah seluruh dunia, termasuk Indonesia.
1. Alasan politik
Salah satu prinsip utama demokrasi adalah keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat. Menurut saya, prinsip ini seperti absen dari media-media mainstream belakangan, khususnya yang berkaitan dengan pemberitaan Covid-19 dan vaksinnya. Semua media mainstream hanya memiliki satu pendirian; Covid-19 adalah wabah yang sangat mematikan dan semua orang harus divaksinasi sesegera mungkin. Pandangan-pandangan yang tidak sesuai dengan naratif tersebut disensor mentah-mentah atau dinyatakan hoax oleh “tim verifikasi”. Orang yang memiliki pandangan berbeda (meskipun sangat sedikit di negara ini), tidak diajak melakukan debat terbuka, tapi kebanyakan dibungkam, diberhentikan dari pekerjaannya, bahkan di penjara, misalnya saja seperti Dr. Lois dari Indonesia dan Professor Jean Bernard Fourtillan dari Prancis. Bagi Professor Fourtillan, dia bukan hanya dipenjara, tapi juga dianggap “gila”. Hal-hal seperti itu justru menimbulkan kesan bahwa pemerintah (bergandengan tangan dengan media-media mainstream) sangat terburu-buru dalam membungkan semua pandangan alternatif. Apakah ada yang berusaha disembunyikan?
Sebelum membuat kebijakan wajib vaksin, apalagi di tengah peliknya perdebatan publik dan banyaknya informasi yang beredar, pemerintah harusnya mengadakan debat terbuka yang kompeten antara pihak-pihak yang mendukung dan tidak mendukung kewajiban vaksin. Debat seperti itu sangat diperlukan untuk menampung semua pandangan secara terbuka dan mengkritisinya secara adil dan transparan. Bukankah debat adalah fondasi dari demokrasi? Bukankah debat adalah bentuk pengakuan terhadap kebebasan berpikir dan berekspresi? Tapi kenapa banyak pemerintah di dunia (termasuk di Indonesia) sangat tidak terbuka melakukan debat mengenai pro-kontra Covid-19 beserta vaksinnya?
Keputusan berbagai pemerintah di dunia (termasuk Indonesia) untuk mewajibkan vaksin terkesan seperti keputusan sebelah pihak yang dipaksakan. Berdasarkan pengetahuan saya yang terbatas (namun terus berusaha saya perbarui), sistem imun tubuh manusia dan vaksin adalah dua hal yang sangat kompleks. Memasukkan kandungan tertentu (yang kompleks) ke dalam tubuh seorang manusia seharusnya memerlukan persetujuan sukarela dari pihak pemilik tubuh, tanpa adanya paksaan ataupun ancaman. Jika semua orang tidak berpikir kritis, tetapi hanya menaati setiap keputusan pemerintah begitu saja, bahkan yang menyangkut hal yang sangat pribadi seperti memasukkan vaksin ke dalam tubuhnya, maka kita tidak tahu di masa depan, sampai sejauh apa pemerintah akan menggunakan kekuasaannya untuk mengatur kehidupan pribadi masyarakat sesuai kepentingan mereka. Karena alasan ini, saya merasa bertanggung jawab untuk mengambil sebuah sikap, yaitu melakukan hal yang saya percayai sebagai kebenaran (setelah melakukan tugas saya untuk mencari informasi dan menimbangnya secara kritis), meskipun itu bertentangan dengan kepercayaan mayoritas dan aturan pemerintah.
2. Keraguan Atas Efektivitas Vaksin
Seperti yang kita ketahui, aturan untuk vaksin seringkali dikaitkan dengan unsur “public health”, yaitu untuk menghentikan transmisi atau penyebaran virus Covid. Orang yang meragukan vaksin terkadang dianggap egois dan tidak memikirkan kesehatan orang lain dan sebagainya. Padahal, sebuah studi[2] menunjukkan bahwa orang yang sudah divaksin dan mengalami breakthrough infection mengandung jumlah virus yang sama dengan mereka yang tidak divaksin. Studi ini mengimplikasikan bahwa orang yang divaksin dan tidak divaksin sebenarnya sama-sama memiliki potensi untuk menyebarkan virus kepada orang lain. Berdasarkan data yang kita miliki sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa memaksa masyarakat untuk divaksin untuk mencegah transmisi virus bukanlah sesuatu yang ilmiah. Studi lain menunjukkan bahwa tidak ada keterkaitan antara jumlah orang yang divaksin dengan jumlah penularan Covid-19. Studi ini malah menemukan bahwa negara dengan tingkat vaksinasi tertinggi seperti Israel (lebih dari 60%), Islandia dan Portugal (lebih dari 75%) malah memiliki jumlah kasus yang lebih tinggi per 1 juta orang, dibandingkan dengan negara-negara yang lebih rendah tingkat vaksinasinya seperti Vietnam dan Afrika Selatan (dibawah 10%).
Lebih lanjut, sebuah studi menunjukkan bahwa imun tubuh alami seseorang yang sudah terinfeksi Covid-19 memberikan perlindungan yang lebih kuat terhadap varian delta virus Corona daripada dua dosis vaksin Pfizer-BioNTech.[3] Berdasarkan fakta itu, patut dipertanyakan kenapa pemerintah hanya menggembar-gemborkan supaya semua orang divaksinasi segera dan mengabaikan efektivitas sistem imun manusia dalam menangkal virus Covid-19.
3. Mengabaikan dan Menyanggah Peringatan Ahli Secara Sepihak
Sejumlah ahli vaksin dan virus seperti Gerrt Vanden Bossch[4] dan Luc Montagnier juga sudah memperingatkan bahwa vaksinasi massal di tengah sebuah pandemi justru akan menghasilkan mutasi virus yang lebih ganas. Namun klaim itu sama sekali belum ditantang/didebat secara terbuka oleh pihak-pihak yang mengkampanyekan vaksinasi massal, meskipun Gert Vanden Bossch sudah mendesak WHO untuk segera melaksanakan debat terbuka mengenai bahaya vaksinasi massal secara global. Kini, setelah berbagai varian baru virus Corona mulai bermunculan (Delta, Delta Plus, Beta, Gamma, Lambda), tampaknya pemerintah dan media-media mainstream juga belum kunjung mengindahkan peringatan dan kekhawatiran para ahli tadi.
4. Efek Samping dan Liabilitas
Belum ada data yang tersedia mengenai efek jangka panjang vaksin Covid-19. Tidak bisa disangkal, vaksin Covid-19 memang masih dalam masa uji coba/eksperimental (https://www.geertvandenbossche.org/post/why-are-the-current-covid-19-mass-vaccinations-to-be-considered-a-public-health-experiment). Mewajibkan seseorang menerima bentuk pengobatan yang masih berada dalam tahapan uji coba adalah sesuatu yang berbahaya dan beresiko, apalagi ketika sudah diketahui bahwa lebih dari 8.000 orang meninggal setelah menerima vaksinasi Covid.[5] Selain kematian, VAERS juga sudah mencatat lebih dari 30.000 penerima vaksin yang mengalami cedera serius per bulan Juni 2021. Hingga saat ini, beberapa gejala yang paling banyak dilaporkan terkait efek samping vaksin Covid-19 melingkupi myocarditis, pericarditis dan bell’s palsy.
Dengan resiko vaksin Covid-19 yang sangat fatal tersebut, perusahaan pemanufaktur vaksin ternyata sama sekali terbebas dari tanggung jawab atas segala efek yang mungkin ditimbulkan vaksin buatan mereka. Pemerintah dan pihak-pihak yang mewajibkan vaksin juga tidak memiliki liabilitas atas efek samping vaksin tersebut. Penerima vaksin adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas resiko atau efek samping yang mungkin muncul dari vaksin yang diterimanya. Menerima vaksin merupakan sebuah resiko tersendiri bagi penerimanya. Tidak ada pihak yang akan bertanggung jawab atas efek samping yang mungkin mereka derita, jadi saya merasa perlu sangat berhati-hati dalam memutuskan perkara ini.
Demikianlah beberapa alasan di balik keraguan saya menerima vaksin Covid-19. Saya ingin menutup artikel ini dengan beberapa kutipan dari Alexandr Solzhenitsyn.
“If we wait for history to present us with freedom and other precious gifts, we risk waiting in vain. History is us and there is not alternative but to shoulder the burden of what we so passionately desire and bear it out of the depths.”
“In keeping silent about evil, in burying it so deep within us that no sign of it appears on the surface, we are implanting it, and it will rise up a thousand fold in the future. When we neither punish nor reproach evildoers, we are not simply protecting their trivial old age, we are thereby ripping the foundations of justice from beneath new generations.”
“A life laid down cannot be reclaimed, nor can a ruined conscience.”
[1] Vanden Bossche dan Montagnier sama-sama berpandangan bahwa vaksinasi massal di tengah sebuah pandemi justru akan menghasilkan varian virus Covid yang lebih ganas dan mematikan. Lebih lanjut, Montaigner (yang merupakan peraih penghargaan Nobel karena penelitiannya akan HIV-AIDS) bahkan mengajukan gugatan ke Mahkamah Hukum Internasional/International Court of Justice. Dia menuntut ICJ untuk menginvestigasi pemerintah beberapa negara mengenai keterlibatan mereka dalam sebuah upaya genosida yang dilakukan lewat aturan/kewajiban vaksin saat ini.
[2] https://www.cdc.gov/mmwr/volumes/70/wr/mm7031e2.htm?s_cid=mm7031e2_w
[4] https://www.geertvandenbossche.org/
[5] https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/vaccines/safety/adverse-events.html
__________
Penulis artikel ini juga merupakan penerjemah untuk Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Penulis menerima tawaran untuk penterjemahan dokumen, surat, dll. Silahkan hubungi penulis di:
Email: tarrentranslations@gmail.com
WhatsApp: 081391401308