Peristiwa aksi unjuk rasa di Kementrian Kesehatan yang dilakukan oleh Aliansi Rakyat Menggugat bersama Babeh Aldo pada 13 Januari 2022 sudah diliput dalam media massa dan sangat diperbincangkan di media sosial. Contohnya di Twitter, tiga tagar menjadi trending topic: #TangkapBabeAldo, #CabutDaruratPandemi, dan #KamiBersamaBabeAldo. Beberapa tokoh publik mengkritik Babeh Aldo, tanpa dasar atau fakta, karena melawan kebijakan pemaksaan vaksin untuk anak. Pernyataan terbaru yang dirilis hari ini dari juru bicara Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi bersama dengan IDAI menjadi penting bagi kita untuk mengklarifikasi faktanya. Untuk alasan ini, kami mengutip seluruh artikel tersebut dengan teks asli berwarna hitam dan penjelasan kami dengan teks warna merah.
Artikel asli: “Kemenkes Minta Babeh Aldo Pelajari Penjelasan IDAI Ini soal Vaksinasi Anak” [link]
jpnn.com, JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) angkat suara mengenai aksi Ali Ridho Assegaf alias Babeh Aldo yang mengajak orang tua melarang anak untuk vaksinasi Covid-19 [1]. Kemenkes meminta Babeh Aldo untuk belajar dari para ahli, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Juru Bicara Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi mengaku tidak mengetahui motif Babeh Aldo menyerukan ajakan tersebut.
[1] Babeh Aldo tidak mengajak orang tua untuk melarang vaksinasi anak. Beliau mengajak orang tua untuk menolak pemaksaan vaksinasi anak. Menurut Babeh Aldo vaksinasi anak bersifat sukarela dan orang tua berhak untuk menolaknya sesuai dengan Pasal 5 UU tentang Kesehatan.
Namun, Siti mengingatkan bahwa berdasarkan kajian ilmiah, vaksinasi terhadap anak dinyatakan aman [2]. “Sudah banyak penjelasan dari para ahli baik dari IDAI maupun IDI,” [3] kata dia kepada JPNN.com, Minggu (16/1).
[2] Arti ‘Aman’ itu sendiri menurut KBBI adalah pasti; tidak meragukan; tidak mengandung risiko. Tenteram; tidak merasa takut atau khawatir.
Beberapa kutipan, data dan penjelasan dari “LEMBAR FAKTA (FACT SHEET) UNTUK TENAGA KESEHATAN PERSETUJUAN PENGGUNAAN DARURAT (EUA) CORONAVAC” (Link dokumen resmi BPOM):
“Karena uji klinik dilakukan di bawah kondisi yang sangat bervariasi, angka kejadian tidak diinginkan yang diamati dalam uji klinik obat tidak dapat secara langsung dibandingkan dengan angka kejadian pada uji klinik obat lain dan mungkin tidak mencerminkan angka kejadian yang diamati dalam kondisi sebenarnya.” (Halaman 4)
“Keamanan pada Anak – Studi Klinik Fase 1 dan 2 di Cina
Sebanyak 550 subjek (usia 3-17 tahun) menerima setidaknya satu dosis vaksin atau plasebo dalam uji klinik fase I dan II.” (Artinya hanya 436 yang menerima vaksin nyata). (Halaman 9)
Penjelasan:
Sesuai dokumen resmi BPOM, Vaksin Sinovac untuk anak-anak sedang dalam tahap uji klinik fase 3 dengan populasi umum sebagai subjek uji. Biasanya vaksin melalui 4 fase uji klinik sebelum izin edar, Vaksin Sinovac untuk dewasa sudah dalam fase 4. Sebelum memulai uji klinik fase 3 dengan memvaksinasi semua anak-anak di Indonesia, fase 2 selesai dengan hanya 550 anak-anak di Cina. Uji klinik tersebut dilakukan oleh produsen Sinovac dan tidak ada informasi bahwa itu dilakukan dibawah pengawasan BPOM atau bahwa BPOM sudah memvalidasi data tersebut. Selain itu, tidak pernah dilakukan uji klinik di Indonesia untuk anak-anak.
Sudah jelas bahwa semua itu tidak sesuai dengan definisi kata “aman” menurut KBBI. Kemudian, informasi bahwa setiap anak yang disuntik dengan Sinovac berpartisipasi dalam uji klinik fase 3 sebagai subjek uji tidak pernah disosialisasikan kepada penerima vaksin atau orang tua. Hal ini melanggar setidaknya Pasal 8 UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran mengenai informed consent dan mungkin juga Pasal 5 UU Kesehatan tentang keamanan pengobatan. Selain itu, Code Nuremberg dan etika kedokteran mewajibkan informed consent untuk setiap orang yang akan berpartisipasi dalam eksperimen/uji klinik pengobatan apapun.
[3] IDAI pastinya bukan sumber yang dapat dipercaya untuk informasi tentang Covid19 dan vaksin.
IDAI telah mempublikasikan studi di jurnal internasional dengan data yang dipilih dan dimanipulasi untuk menciptakan kesimpulan yang sesuai agenda mereka untuk mendorong vaksinasi anak secara membabi buta. Rincian dalam artikel:
Manipulasi Data untuk Membenarkan Vaksinasi Anak
IDAI telah dengan sengaja menyebarkan berita bohong tentang kematian anak-anak di Indonesia dengan tujuan untuk menciptakan ketakutan pada masyarakat. Laporan ini sudah secara resmi diterima Polisi dan sedang diproses di Polda Metro Jaya. Rincian dalam artikel:
Tindak Pidana IDAI: Menyebarkan Berita Bohong Untuk Menciptakan Ketakutan
Ketua IDAI telah mencoba “cek fakta” terhadap peringatan pencipta teknologi mRNA Dr. Robert Malone tentang vaksinasi anak. Cek Fakta tersebut sepenuhnya gagal den penuh informasi palsu seperti dibuktikan dalam artikel berikut:
Bongkar: “Cek fakta” TV One & IDAI yang gagal terhadap ahli vaksin terkenal Dr. Robert Malone
IDAI menyatakan vaksinasi terhadap anak usia 6-11 tahun boleh dilakukan dengan sejumlah syarat.
Ketua Umum IDAI dr Piprim Basarah Yanuarso dalam rekomendasinya menyebut ada beberapa perubahan dibanding syarat sebelumnya. Hal itu mengacu pada penemuan atau hasil diskusi dengan banyak pihak. IDAI merekomendasikan anak dengan penyakit komorbiditas, seperti kondisi kronis yang stabil boleh diberikan imunisasi, dengan catatan telah mendapat rekomendasi dari dokter yang merawat.
Menurut IDAI, anak dengan komorbid mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mengalami komplikasi jika terinfeksi Covid-19. [4]
Ini benar. Menurut data IDAI sendiri, hampir hanya anak-anak dengan komorbid berat yang terdampak oleh Covid19. Anak-anak normal/sehat tidak berisiko tinggi untuk penyakit parah atau kematian akibat Covid19. Pada kenyataannya, semua data dan studi dari seluruh dunia membuktikan hal tersebut; misalnya bahwa Covid19 tidak lebih berbahaya daripada flu pada anak-anak, bahwa anak-anak tidak menularkan Covid19 di sekolah dan bahwa tidak ada kematian akibat Covid19 pada kelompok anak-anak tanpa komorbid. Semua data sudah kami publikasikan dalam dua artikel:
Bongkar! Penipuan Vaksinasi Anak Covid19
Vaksinasi Covid 19 Sebaiknya Tidak Diperuntukkan Bagi Anak
Kesimpulan yang masuk akal adalah hanya memvaksinasi anak-anak yang berisiko (komorbid) saja. Menggunakan vaksin eksperimental, yang tidak ada data tentang analisis risiko-manfaat untuk konsekuensi jangka panjang, kepada semua anak-anak yang tidak berisiko dari Covid19 adalah pelanggaran terhadap prinsip kedokteran bahwa setiap tindakan medis harus lebih banyak manfaat daripada risiko.
“Di lapangan itu anak-anak dengan kondisi yang kronis seringkali ditolak, tetapi IDAI justru menguatkan anak-anak dengan kronis tetapi stabil,” ujar dr Piprim dalam keterangannya, Jumat (17/12).
Misalnya, anak dengan penyakit jantung bawaan, boleh vaksin asal kondisinya stabil. Demikian juga anak dengan diabetes melitus, boleh vaksin asal gula darahnya terkontrol.
Begitu pula bagi anak dengan kondisi autoiumun terkontrol, harus mendapatkan vaksinasi. “Karena kalau mereka kena Covid-19 risikonya lebih tinggi,” kata Piprim. Selain itu, anak yang telah sembuh dari Covid-19, termasuk yang mengalami long Covid, perlu dilakukan vaksinasi. [5]
[5] Menurut siapa? Lebih dari 140 studi dari seluruh dunia telah membuktikan bahwa natural immunity jauh lebih kuat dan bertahan jauh lebih lama daripada imunitas buatan hasil vaksinasi. Khususnya untuk Sinovac, studi peer reviewed besar di Thailand sudah membuktikan bahwa efikasi vaksin Sinovac terhadap varian seperti Delta hampir tidak bisa dideteksi. Pada studi yang sama juga ditemukan bahwa natural immunity berkali-kali lipat lebih efektif terhadap varian Delta daripada vaksin Sinovac. Bahkan WHO secara resmi mengeluarkan pedoman pada bulan Maret 2021 bahwa natural immunity setara dengan vaksinasi. Jadi, pernyataan (yang tidak berdasarkan data) dari IDAI bertentangan dengan semua data serius dari seluruh dunia dan bahkan pedoman WHO. Pola perilaku seperti ini dapat kami temukan pada hampir semua pernyataan yang keluar dari IDAI. Kami telah mempublikasikan semua data tersebut dalam artikel tentang vaksinasi penyintas Covid19:
CEK FAKTA | Penyintas Covid-19 Harus Divaksin?
Namun, anak yang menderita Covid-19 dengan derajat berat atau MIS-C (Multi System Inflammantory Syndrome in Children) [6], pemberian vaksinasi corona ditunda 3 bulan. Sementara pada derajat ringan hingga sedang, dapat ditunda vaksinasinya selama satu bulan.[7] IDAI juga merekomendasikan anak dengan kebutuhan khusus, anak dengan gangguan perkembangan dan perilaku, dan anak di panti asuhan atau perlindungan, perlu mendapat vaksinasi Covid-19 melalui pendekatan khusus. Terakhir, jika sebelumnya jarak pemberian vaksin Covid-19 dengan vaksin lainnya minimal 4 minggu, IDAI merekomendasikan minimal dua minggu.
[6] & [7] Ini adalah pernyataan yang sering kami temui, tapi tidak pernah ada informasi tentang data atau studi yang merupakan dasarnya. Jadi kami meminta IDAI untuk memberi semua data dan studi yang merupakan dasar untuk rekomendasi tersebut. Sesuai informasi dari poin sebelumnya [5], penyintas Covid19 tidak membutuhkan vaksinasi sama sekali.
“Karena vaksin Covid-19, seperti Sinovac, Coronavac, atau vaksin biofarma, termasuk vaksin mati [8] maka tidak masalah dengan jarak dua minggu, [9]” kata Piprim. (tan/fat/jpnn)
[8] Vaksin mati? Kami tahu sebetulnya yang dimaksud adalah vaksin virus mati. Tapi mohon maaf dengan segala hormat, dalam dunia kedokteran presisi terminologi itu sangat penting. Semua vaksin tersebut adalah jenis vaksin “inactivated virus” atau virus inaktif. Selain itu, virus bukanlah makhluk hidup (seperti misalnya bakteri), jadi tidak bisa dikatakan “mati”. Itu adalah ilmu virologi, bahkan biologi, paling dasar. Sekali lagi, kami dapat melihat bukti tentang kekurangan yang luar biasa pada keahlian dan keilmuan dari sisi IDAI dan ketuanya.
[9] Sekali lagi, kami meminta semua data dan studi yang merupakan dasar untuk rekomendasi atau pernyataan ini.
Masalah tambahan:
- Sudah banyak anak mengalami kematian pasca vaksinasi, tapi itu tidak pernah diinvestigasi ataupun dianalisis dengan benar. Contohnya, tidak satu otopsipun pernah dilakukan. Dan semua kematian, walaupun jelas akibat vaksinasi, selalu dinyatakan “tidak berhubungan dengan vaksin” tanpa bukti apapun untuk mendukung pernyataan tersebut. Artikel:
Kematian Akibat Vaksin Covid19 di Indonesia
- Semua data yang berhubungan dengan analisis risiko-manfaat dan KIPI dinyatakan rahasia oleh BPOM secara resmi. Bahkan dokter tidak diperbolehkan untuk melihat data tersebut. Artikel:
Rakyat Berhak Tahu Data Keamanan Vaksin Covid19? BPOM: Rahasia!
__________
Sekarang, setelah semuanya jelas bahwa ada masalah serius pada vaksinasi anak yang terjadi dan kredibilitas IDAI, kami harap pernyataan dari Babeh Aldo tentang penolakan pemaksaan vaksin menjadi masuk akal.
Disamping masalah yang dijelaskan di atas, kita juga punya masalah dengan kredibilitas Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan RI, Siti Nadia Tarmizi. Mari kita kuliti satu-persatu!
1. Vaksinasi Ibu Hamil
Tanggal: Jakarta, Rabu (22/12/2021)
Sumber: www.suarasurabaya.net [link berita]
Konteks
“Menurut Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan RI, Siti Nadia Tarmizi, rendahnya angka vaksinasi ibu hamil tersebut terjadi karena masih ditemukan adanya penolakan ibu hamil yang tidak mau divaksin, juga pihak keluarga yang tidak mengizinkan akibat kurangnya informasi maupun tidak percaya akan khasiat vaksin Covid-19.”
Nadia berharap melalui sosialisasi yang diberikan dapat mencegah kematian pada ibu akibat Covid-19 maupun penyakit lain. Sehingga, keluarga tidak akan merasakan dampak yang tidak diharapkan sekaligus menghindari hoaks yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Jawaban
Dalam kasus ini jubir kemenkes mendorong ibu hamil untuk mendapatkan vaksinasi. Padahal dalam dokumen resmi BPOM tertulis “Tidak ada data keamanan dan efikasi yang tersedia untuk penggunaan Vaksin SARS-COV-2 inaktif *(Sinovac)* pada wanita *hamil* dan pada wanita menyusui.” [link]. Kemudian dalam Uji Klinis resmi Sinovac secara umum hanya dilakukan uji untuk penyakit bergejala, bukan kematian. [link].
Kesimpulan: Siti Nadia ingin “mengedukasi” ibu hamil tentang manfaat vaksinasi yang belum ada bukti atau datanya, dan tidak mau menyebutkan fakta bahwa vaksin itu eksperimental, tanpa data tentang efektivitas dan yang paling penting data keamanannya bagi ibu hamil. Ini merupakan pelanggaran ekstrim terhadap Pasal 5 UU Kesehatan tentang obat-obatan yang aman dan Pasal 8 UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan & Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tentang informed consent. Selain itu, diduga melanggar Pasal 204 KUHP tentang sengaja membahayakan kesehatan atau jiwa orang.
2. Vaksin Covid19 mencegah penularan
Tanggal: Jakarta, Rabu, 15 Desember 2021
Sumber: Berita Satu [link berita]
Konteks
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan RI, Siti Nadia Tarmizi mengatakan bahwa per 14 Desember kemarin, pemerintah resmi mengeluarkan kebijakan untuk melakukan vaksinasi bagi anak usia 6-11 tahun…
“Per 14 Desember kemarin, pemerintah resmi mengeluarkan kebijakan untuk melakukan vaksinasi bagi anak usia 6-11 tahun dengan tujuan untuk melindungi anak-anak dari sakit berat dan kematian [2] akibat Covid-19, menekan penularan [1] kepada kelompok umur lainnya, serta tentu saja untuk mempercepat pencapaian herd immunity [3],” papar Nadia dalam Siaran Pers dari Media Center Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) – KPCPEN, Rabu (15/12/2021).
Lebih lanjut, Nadia menekankan bahwa tujuan vaksinasi Covid-19 anak usia 6-11 tahun adalah untuk:
- mencegah sakit berat dan kematian [2] pada anak yang terinfeksi
- mencegah penularan [1] pada anggota keluarga dan saudara
- mendukung pelaksanaan pembelajaran tatap muka
- meminimalisasi penularan [1] di sekolah/satuan pendidikan
- mempercepat tercapainya herd immunity [3]
Jawaban
[1] Vaksinasi Covid19 tidak mencegah Penularan
Juru bicara pemerintah untuk vaksinasi covid-19, dr Siti Nadia Tarmizi (yang mengatakan di atas bahwa vaksin mencegah penularan) menjelaskan fungsi utama penyuntikan vaksin covid-19 yaitu mencegah seseorang menjadi sakit karena virus tersebut. Nadia menegaskan vaksinasi covid-19 bukan untuk mencegah penularan dari covid-19
“Jadi vaksin itu mencegah kita menjadi sakit, bukan mencegah kita menjadi tertular. Jadi bisa saja dia sudah terpapar, tapi belum ada gejala, sehingga tidak dilakukan pemeriksaan ataupun belum diketahui bahwa dia sudah positif covid-19,” katanya di Jakarta, Jumat (29/1/2021).
Artikel: “Jubir: Vaksin Covid-19 Bukan Mencegah Penularan” · Jumat, 29 Januari 2021 [link]
[2] Tidak ada bukti bahwa vaksin mencegah kematian: Dalam uji klinis resmi Sinovac hanya dilakukan uji untuk penyakit bergejala, bukan kematian, dan tidak ada data apapun tentang kematian. Juga penting untuk dicatat bahwa belum pernah ada pengujian apakah vaksin dapat mencegah penularan (sesuai [1]). [link].
[3] Sudah ada herd immunity: “Juru Bicara Vaksinasi Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi (yang mengatakan di atas bahwa vaksin mempercepat tercapainya herd immunity) mengatakan, dari hasil sero survei mengenai 86,6 persen populasi Indonesia yang memiliki titer antibodi tinggi”
Namun, dengan hasil titer antibodi yang cukup signifikan dan dimiliki oleh responden survei tersebut, membuat pemerintah yakin bahwa saat ini sebenarnya daya perlindungan masyarakat sudah cukup baik.
“Jadi proteksi masyarakat itu sudah tinggi levelnya,” kata dia.
Artikel: “Super Immunity Diduga Sudah Terbentuk, 86,6 Persen Populasi Indonesia Punya Antibodi”, 07 Januari 2022 [link]
Kita sudah muak dengan semua ketidakterbukaan, kebohongan dan penipuan yang dilakukan terhadap rakyat Indonesia. Sudah waktunya semua pihak yang terlibat seperti Kemenkes, IDI, IDAI, ITAGI dan lainnya untuk memberitahukan yang sebenarnya. Jadi tidak diperlukan lagi bagi rakyat dan Babeh Aldo untuk melakukan unjuk rasa berteriak meminta kebenaran di depan Kemenkes.
Mari ingat kembali bahwa Ombudsman masih menunggu jawaban resmi dari Kemenkes tentang data vaksin Covid19 yang sudah melewati batas waktu. Link Surat Ombudsman
Yang terhormat Bu Siti Nadia Tarmizi dan kawan-kawan, mari kita duduk bersama dan berdikusi dengan data dan fakta layaknya orang yang beradab serta bertanggung jawab. Kami tunggu itikad baiknya.