Kami baru-baru ini melihat peningkatan jumlah klaim dari para “ahli” bahwa vaksin telah menyebabkan kasus/kematian turun. Kami berharap klaim ini akan semakin disebarluaskan, dan digunakan oleh pemerintah dan sekutu media mereka sebagai pembenaran untuk kebijakan vaksin mereka. Masalah terbesar adalah bahwa kita sudah melihat klaim ini digunakan sebagai pembenaran untuk memvaksinasi anak kecil. Jadi kami memutuskan untuk menganalisis data dan menemukan kebenaran.
Memang benar kasus penderita Covid-19 maupun kasus kematian akibat Covid-19 turun drastis, pada kenyataannya pandemi sudah tidak ada lagi. Jumlahnya tinggal sangat sedikit, sehingga bisa diabaikan. Juga benar bahwa tingkat vaksinasi meningkat maka inilah yang disebut “korelasi”. Bagi orang awam, melihat korelasi antara dua hal tersebut seringkali mengarah pada kesimpulan bahwa yang satu pasti disebabkan oleh yang lain. Hal itu disebut “kausalitas” atau “sebab-akibat”. Kesalahpahaman dari orang awam inilah yang dimanfaatkan oleh pemerintah, media dan para “ahli” untuk membuat klaim palsu.
Siapa pun dengan pendidikan dasar sains tahu: Korelasi tidak berarti sebab-akibat.
Mari kita jelaskan menggunakan contoh: Penjualan es krim (garis hijau) dan kebakaran hutan (garis merah):
Apa yang pertama kali kita lihat? Lihatlah garis hijau dan merah yang berdampingan dan saling mengikuti. Apakah Anda berpikir sejenak bahwa kedua hal ini saling mempengaruhi? Pikirkan kembali tentang sebab-akibat, bagaimana es krim bisa menyebabkan kebakaran hutan?
Percaya atau tidak, ini sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, banjir Jakarta karena hujan di Bogor, kemacetan lalu lintas yang disebabkan oleh banyak angkot, hidup saya menderita karena Jokowi menjadi presiden. Sering dengar pernyataan – pernyataan tersebut kan? Contoh-contoh di atas sungguh menggugah rasa ingin tahu kita tentang apa yang menyebabkan sesuatu bisa terjadi. Logikanya jika ini terjadi maka kejadian tersebut adalah logika sebab akibat. Tetapi kita harus sangat berhati-hati untuk menghubungkan dua peristiwa tersebut yang tampaknya berkaitan akan tetapi sebenarnya keduanya hanyalah hasil dari penyebab yang berbeda.
Menggunakan logika sederhana kita tahu bahwa es krim dan kebakaran hutan tidak berhubungan, tetapi ada hal-hal yang bisa menghubungkan keduanya. Kita bisa menggambarkannya sebagai berikut:
Kebakaran hutan –> Suhu meningkat –> Lingkungan menjadi sangat panas dan kering –> Konsumsi makanan untuk menurunkan suhu tubuh –> Makan es krim –> Penjualan es krim meningkat
Sepertinya lebih masuk akal bukan?
Kembali ke “pandemi” kita, mari kita lihat data sebenarnya.
Kasus dan kematian:
Tingkat vaksinasi:
Kita dapat melihat kasus yang menurun dan vaksinasi yang meningkat. Tetapi sekalipun untuk mata yang tidak terlatih, keduanya terlihat sangat berbeda, kan? Bahkan tidak ada korelasi yang terlihat secara langsung.
Namun data yang paling penting adalah tingkat vaksinasi. Gelombang Delta berakhir sekitar awal September, saat itu tingkat vaksinasi kurang dari 15%. (Pada puncak gelombang Delta sekitar pertengahan Juli, tingkat vaksinasi adalah 6%). Pada titik ini kita dapat merujuk pada pernyataan sebelumnya dari “para ahli” yang sebenarnya dapat dipercaya: Kita membutuhkan setidaknya 80% tingkat vaksinasi untuk berdampak pada pandemi. Tingkat vaksinasi 15% yang rendah TIDAK DAPAT menyebabkan pengurangan dramatis kasus dan kematian yang terjadi.
Jadi bagaimana mungkin kasus dan kematian turun begitu cepat dan pandemi telah berakhir? Sekali lagi, mari kita lihat data nyata.
Pada bulan Maret, sebelum gelombang Delta, hampir separuh penduduk Jakarta sudah memiliki kekebalan alami dari infeksi. Hal ini berdasarkan studi dari Universitas Indonesia, bahkan Gubernur Jakarta mengumumkan data ini di media: artikel CNN Indonesia.
Kekebalan alami dari infeksi yang disebabkan oleh virus Covid-19 jauh lebih kuat dan bertahan lebih lama daripada kekebalan tubuh dari hasil vaksinasi, semua ilmu pengetahuan dan bahkan WHO telah membuktikannya. Lihat artikel kami yang mengkaji ilmu dan data tentang kekebalan alami vs kekebalan yang divaksinasi: artikel
Kami dapat membuat 2 kesimpulan dari penelitian tersebut di Jakarta;
- Ada tingkat kekebalan alami yang tinggi dari infeksi pada populasi.
- Bahkan setengah dari populasi sudah memiliki kekebalan tetapi itu masih belum cukup untuk mencegah gelombang Delta, sehingga tingkat kekebalan yang jauh lebih kecil dari vaksinasi (15%) tentu tidak dapat menyebab dampak apapun.
Sayangnya tidak ada data lain tentang kekebalan alami yang tersedia di Indonesia. Pemerintah menolak untuk melakukan survei tambahan. Ini sangatlah tidak bertanggung jawab dan kemungkinan besar karena mereka tahu bahwa penelitian semacam itu akan mengkonfirmasi bahwa tidak ada alasan untuk diberlakukannya vaksinasi.
Tapi tidak masalah, kita bisa melihat data dari tempat lain, terutama India, yang dalam banyak hal sebanding dengan Indonesia dan telah memiliki gelombang Delta serupa beberapa bulan sebelum Indonesia.
Pada puncak gelombang Delta di India (awal Mei), tingkat vaksinasi sekitar 3%, pada akhir gelombang Delta mereka (awal Juli), tingkat vaksinasi sekitar 5%. Ini adalah juga tingkat vaksinasi yang tidak relevan dan tidak dapat menurunkan kasus dan kematian.
Di India kami menemukan data yang jauh lebih baik tentang kekebalan alami, terutama setelah gelombang Delta:
- Sebuah survei nasional yang dilakukan setelah gelombang Delta (pada bulan Juli) menemukan bahwa hampir 70% populasi memiliki kekebalan alami (Sumber)
- Sebuah studi baru-baru ini (Oktober) di Delhi menemukan bahwa 90 % dari populasi memiliki antibodi dari infeksi alami (Sumber)
Kami memperkirakan bahwa Indonesia memiliki tingkat kekebalan alami yang sama, kami yakin sudah di atas 80%. Pemerintah dapat dengan mudah mengklarifikasi tingkat kekebalan alami masyarakat yang sebenarnya jikalau mereka mau, tetapi mereka menolak.
Setelah semua data ini, mari kita kembali ke korelasi antara kasus penderita Covid-19 maupun kasus kematian akibat Covid-19 yang menurun jumlahnya dan jumlah vaksinasi. Apakah ada korelasinya? Ya. Apakah ada sebab akibat, artinya apakah vaksinasi menyebabkan kasus penderita Covid-19 maupun kasus kematian akibat Covid-19 menurun? Tidak.
Satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah bahwa kekebalan alami dari infeksi virus Covid-19 telah menyebabkan kasus penderita Covid-19 maupun kasus kematian Covid-19 menurun dan tetap stabil setelah gelombang Delta.
Angka resmi “kasus” tidaklah berarti sama sekali, hanya berdasarkan tes yang telah dilakukan. Kebanyakan orang tidak memiliki gejala (OTG) ataupun gejala yang sangat ringan dari Covid-19, sehingga tidak melakukan tes. Kita juga dapat melihat dari survei antibodi di Jakarta (dan di India) bahwa jumlah sebenarnya orang yang terinfeksi virus Covid-19 setidaknya 10 kali lebih besar dari jumlah kasus resminya.
Dengan ini, kami membuktikan bahwa vaksin tidaklah menurunkan kasus penderita Covid-19 maupun kasus kematian akibat Covid-19.
Kami juga telah membuktikan bahwa kebanyakan orang yang sudah memiliki kekebalan alami dan kami memiliki herd immunity, yang berarti bahwa vaksinasi massal, terutama dengan memaksa orang, adalah kebijakan yang tidak didasarkan pada data atau kebutuhan medis apa pun.
Ini tentang bisnis, korupsi, dan kekuasaan.
***UPDATE: Menkes secara terbuka mengakui bahwa demonstrasi kami tentang setidaknya 80% herd immunity adalah benar: Artikel
***UPDATE: Temuan kami kini juga telah dikonfirmasi oleh pakar epidemiologi di UNPAD: Artikel
Untuk memvalidasi temuan kami ini, kita dapat melihat data tentang Singapura.
Dengan vaksinasi sebanyak 83% yang sudah mereka lakukan bagaikan rekor dunia, Singapura mengalami wabah terbesar dari keseluruhan pandemi. Orang yang sudah divaksinasi justru malah terinveksi dalam jumlah rekor yg luar biasa banyaknya. Hal ini tentu saja menegaskan bahwa vaksin tidaklah mencegah infeksi virus Covid-19 yang sudah dikenal dan terbukti sejak lama (lihat artikel kami sebelumnya).
Tetapi yang paling penting adalah adanya fakta tambahan: Singapura memiliki salah satu ‘lockdown’ paling ketat di dunia dan mereka juga memiliki populasi yang sangat disiplin. Karena mereka tidak melakukan kumpul- kumpul tiap kali ‘lockdown’, tidak banyak penyebaran virus dan tidak banyak orang yang terinveksi virus tersebut, maka tingkat kekebalan tubuh yang alami dari infeksi tersebut pun menjadi rendah. Jika dibandingkan dengan Indonesia, masyarakat Indonesia cenderung menganggap bahwa kehidupan sehari – hari harus jalan terus sebagaimana selayaknya dalam keseharian, kebijakan PPKM dan aturan – aturan lainnya hanyalah sebatas cantuman di kertas saja, masyarakat tetap bercengkrama satu dengan yang lainnya dan akibatnya banyak orang dengan mudah terinfeksi virus tersebut.
Prof. Ooi Eng Eong dari Duke- NUS menjelaskan hal ini dalam artikel dari CNBC.
Sebagai konsekuensi dari fakta – fakta tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa lagi – lagi vaksin massal di Indonesia tidaklah masuk diakal dan tidak membawa manfaat apapun (tetapi justru malah menyebabkan banyak orang yang jatuh sakit dan bahkan ada banyak yang meninggal seperti yang telah kami paparkan dalam artikel ini).
Pemerintah macam apa yang berbohong kepada rakyatnya seperti itu, untuk memaksa mereka mendapatkan vaksin eksperimental dan berbahaya yang bahkan tidak berhasil?
Tetaplah berpikiran terbuka, kritislah dalam cara berfikir, pertanyakanlah segala sesuatu “kebijakan” dari pemerintah dan media dan tetap sehat selalu.