Apakah penyintas Covid-19 harus divaksin? salah, tidak tepat.
Glofirikasi media mainstream selalu senada dengan apa yang diutarakan oleh para ahli dalam menyikapi penyintas Covid-19. Setali tiga uang, Kemenkes di atasnya, juga menyatakan penyintas covid perlu divaksinasi. Alasannya adalah:
- Tidak diketahui seberapa efekti kekebalan alami tubuhnya.
- Tidak diketahui berapa lama kekebalan alami bisa bertahan.
- Spekulasi bahwa kekebalan alami ‘diperkirakan’ akan menurun dengan cepat.
Menjadi semakin jelas bahwa mereka banyak bernarasi penuh keraguan dibalik kalimat ‘tidak diketahui’. Mereka berasumsi di atas sebuah asumsi berdalih ilmiah. Bagaimana keraguan tentang kekebalan alami manusia dianggap ringkih dan ‘perlu bantuan’ via suntikan demi suntikan vaksin. Lebih baik menerima suntikan ketimbang nanti semakin semrawut dan berujung fatal. The worst case scenario.
Juga jelas bahwa mereka tidak pernah mengutip studi atau data apa pun, mereka hanya berharap semua orang mempercayainya karena mereka adalah ‘ahli’.
Prinsip penting yang perlu diterapkan pada pernyataan ilmiah dan medis: Jika tidak diterbitkan dalam jurnal, itu tidak kredibel. Terkadang ‘para ahli’ dan media justru merujuk pada rekomendasi US CDC (Centre for Disease Control).
Pada 13 Agustus 2021 menyatakan bahwa mereka yang yang divaksinasi memiliki perlindungan lebih baik ketimbang mereka yang memiliki infeksi sebelumya. Berdasarkan, penelitian CDC terhadap 246 orang di Kentucky, Amerika Serikat. Berkaca bahwa CDC adalah acuan kesehatan ‘sebagaimana mestinya’, semua warga negeri ini menganggukan kepala tanda setuju.
Untuk mendapatkan jawaban yang benar, lebih baik kita melihat penelitian ilmiah yang nyata dan data dari ilmuwan yang sebenarnya, daripada orang yang menyebut dirinya “ahli”.
Informasi resmi dari WHO. Pada 10 Mei 2021, WHO mengeluarkan laporan ilmiah resmi “Covid-19 Natural immunity” dengan kesimpulannya:
- Bukti saat ini menunjukkan sebagian besar individu mengembangkan respons imun protektif yang kuat setelah infeksi alami.
- Bukti terbaru menunjukkan bahwa infeksi alami dapat memberikan perlindungan yang sama terhadap penyakit simtomatik seperti halnya vaksinasi”.
Pada 15 Juli 2021, sebuah studi besar terkait diterbitkan dengan judul “Varian kekhawatiran SARS-CoV-2 menunjukkan penurunan sensitivitas terhadap netralisasi virus hidup dalam serum dari vaksin CoronaVac dan pasien COVID-19 yang terinfeksi secara alami”. Studi ini menggunakan data masyarakat/pasien di Thailand. Studi ini membandingkan kekebalan alami akibat infeksi Covid dengan kekebalan yang diberikan oleh vaksin Sinovac.
Kesimpulan utama dari Studi tersebut adalah: “Strain Delta dinetralisir sama baiknya oleh serum Infeksi Alami 2020 dan 2021, (…) dan titer NAb CoronaVac bahkan masih lebih rendah (…) menjadi 2,82 (…) dan 3,85 (.. .) lipat lebih rendah dibandingkan, masing-masing, hampir pada batas deteksi.”
Dengan kata sederhana, imunitas dari Sinovac terhadap varian Delta sangat rendah (hampir tidak terdeteksi) dibandingkan dengan imunitas yang kuat dari infeksi alami, bahkan pada orang yang mengembangkan imunitas dari varian sebelumnya atau virus awal pada tahun 2020. Klik disini untuk mengetahui hasil studi di Thailand.
Belum yakin? Bagaimana dengan studi yang terbesar di dunia dengan 835.792 orang? Kementerian Kesehatan Israel, telah menjadi terkenal karena penanganan datanya yang metodis, transparan, dan terbuka secara umum, menyimpulkan bahwa:. Orang Israel yang telah divaksinasi beresiko 6,72 kali untuk terinfeksi daripada penyintas Covid.
Vaksin sering diukur dalam persentase efektivitas. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa vaksin sekitar 50% efektif terhadap varian Delta. Sebuah studi baru dari Qatar telah menentukan efektivitas kekebalan alami 95% terhadap varian Delta.
Pada 13 Agustus 2021, kami menemukan tweet (link ke tweet) dari ahli epidemiologi terkenal Dr. Pandu Riono dari Universitas Indonesia di mana ia menggunakan 55% efektivitas untuk vaksin dan 70% untuk kekebalan alami untuk perhitungan epidemiologinya. Jadi sekarang kita tahu bahwa dia tahu yang sebenarnya, namun tidak pernah membicarakannya.
Penyintas SARS (sars-cov-1) dari tahun 2003 masih memiliki kekebalan kuat sekarang yang bahkan bekerja melawan Covid 19 (sars-cov-2). Waktu yang sangat lama dan virus corona yang serupa tetapi berbeda. Begini Kekuatan Imunitas Alami. Studi
“Kartu vaksin” Uni Eropa termasuk Penyintas Covid 19 dengan hak yang sama dengan yang divaksin. Link resmi
Sudah 100% jelas bahwa infeksi Covid 19 sebelumnya memberikan perlindungan yang jauh lebih kuat daripada vaksin apa pun. Jauh lebih buruk, ada bukti ilmiah bahwa vaksinasi penyintas Covid memiliki risiko tinggi KIPI: “Studi terhadap petugas kesehatan ini menunjukkan bahwa COVID-19 sebelumnya dikaitkan dengan peningkatan risiko AE setelah vaksinasi”. Studi
Akhirnya di bawah ini adalah daftar 15 studi serius lainnya. Menunjujkan dengan jelas bahwa kekebalan alami adalah lebih kuat, lebih efektif, melindungi lebih baik terhadap varian dan bertahan lebih lama daripada vaksin:
- New York University, May 3, 2021
- Washington University, St. Louis, Missouri, May 24, 2021, published in Nature
- Cleveland Clinic, June 19, 2021
- Fred Hutchinson Cancer Research Center, Seattle/Emory University, Washington, July 14, 2021, published in Cell Medicine
- University of California, Irvine, July 21, 2021
- University of California, San Francisco, May 12, 2021
- Israeli researchers, August 22, 2021
- Irish researchers, published in Wiley Review, May 18, 2021
- Cornell University, Doha, Qatar, published in the Lancet, April 27, 2021
- Israeli researchers, April 24, 2021
- French researchers, May 11, 2021
- Duke-NUS Medical School, Singapore, published in Journal of Experimental Medicine
- Korean researchers, published in Nature Communications on June 30, 2021
- Rockefeller University, July 29, 2021
- Researchers from Madrid and Mount Sinai, New York, March 22, 2021
Masih kurang? Berikut adalah artikel tambahan dengan 91 studi: Artikel
Ada banyak ‘kebisingan’ dan propaganda terus-menerus vaksinasi. Studi setengah matang, studi observasional, anekdot dan lainnya, semua dirancang untuk meningkatkan keraguan tentang kekebalan (imunitas) alami. Kami hanya dapat menyimpulkan bahwa ini adalah tentang ‘menjual vaksin’.
Mengingat fakta bahwa semua ilmu pengetahuan yang serius dan WHO sepakat bahwa imunitas alami, pada kenyataannya, adalah yang terkuat dan paling tahan lama.
Selain bukti dan konsensus ilmiah yang melimpah, media dan ‘para ahili’ tidak jujur tentang fakta penting lainnya: Siapa pun dapat menguji dan mengkonfirmasi kekebalan mereka dengan mudah jika mereka ingin memastikan. Rumah sakit dan laboratorium terkenal menawarkan tes “titer antibodi” untuk menentukan-mengonfirmasi kekebalan. Kami menemukan contoh tes tersebut di Prodia dengan biaya Rp. 250.000,-.
Penting untuk disebutkan bahwa vaksin memiliki risiko serius, data dari pemerintah AS menunjukkan lebih dari 16.000 kematian yang disebabkan oleh vaksin. Data tersebut dapat diakses di openvaers.com. Ada banyak risiko jangka panjang lainnya yang telah diabaikan oleh persetujuan keamanan vaksin, yang paling mengkhawatirkan bagi penyintas covid adalah kerusakan potensial pada sistem kekebalan yang bahkan dapat menghancurkan kekebalan alami (dan bahkan mengubah cara sistem kekebalan mengelola kanker).
Baca artikel ini untuk detail lebih lanjut tentang keamanan vaksin dan hak Anda tentang menerima / menolak vaksinasi.
Tentu saja terserah kepada setiap orang, pilihan vaksinasi atau tidak adalah masing-masing, untuk membuat keputusan sendiri tentang kesehatan mereka dan untuk mengevaluasi risiko versus manfaat bagi tubuhnya sendiri.
Kami berharap kami telah memberikan informasi yang berharga untuk membandingkan dengan disinformasi dan kurangnya ilmu pengetahuan dari pemerintah, ‘ahli’ dan di banyak pemberitaan media.