Kita sudah berada di dalam masa satu setengah tahun memasuki pandemi ini dan sebagian besar dari kita sudah terbiasa dengan segala macam upaya mitigasi oleh pemerintah, yang disebarkan oleh mitra mereka di media. Jangan lakukan ini atau itu. Jangan kemana-mana. Pakailah masker. Pakai 2 masker. Setiap orang harus divaksinasi atau kita semua akan sakit parah dan meninggal. Kita mendengar dan melihat beritanya setiap hari, di mana-mana, disertai dengan gambar berbagai macam orang yang divaksinasi dan fasilitas kesehatan yang kewalahan di televisi. Ini adalah realitas baru, atau “new normal”, yang seharusnya kita terima dan patuhi. Bagaimanapun, pemerintah dan mitra media adalah satu-satunya yang tahu apa yang terbaik untuk kita dan mereka selalu mengatakan yang sebenarnya. Tetapi siapa pun yang berani melihat sedikit di balik tirai mulai menyadari perbedaan dalam kebenaran itu.
Kita mulai mengajukan pertanyaan berbahaya, seperti mengapa begitu banyak orang sekarat. Jawabannya tentu saja:
“mereka tidak divaksinasi!” “Lihat, ini juga akan terjadi padamu jika kamu tidak melakukan apa yang kami katakan!”
Saya berani membuka tirai sedikit lebih jauh dan terkejut dengan apa yang saya temukan, sangat terkejut sehingga saya berpikir penemuan-penemuan itu layak untuk dibagikan dengan lebih banyak orang. Sehingga lebih banyak orang juga mulai mengajukan pertanyaan yang tepat, membuat keputusan berdasarkan informasi-informasi ilmiah yang ada untuk diri mereka sendiri dan mungkin kita bisa mulai mendapatkan jawaban yang tepat atau setidaknya membuka debat yang jujur.
Saya akan mencoba mengeksplorasi beberapa elemen kunci dari pandemi ini dan mencapai kesimpulan berbasis sains.
Vaksin
Semua orang harus mendapatkan vaksinasi. Semua orang. Tua dan muda. Sakit dan sehat. Hamil. Itulah satu-satunya cara kita bisa keluar dari pandemi ini. Hanya ketika 100% divaksinasi, semuanya akan kembali normal. Dan di era “new normal” ini, kita harus tetap divaksinasi.
Apa saja faktanya?
Vaksin yang tersedia memiliki efektifitas yang biasa-biasa saja. Efektifitas Sinovac berada di angka 50–55% tergantung pada penelitian. Data terbaru dari Juli 2021 berdasarkan penelitian di Inggris, AS, dan Israel menunjukkan bahwa Pfizer memiliki tingkat efektifitas 39% terhadap varian Delta.
Saya ingat ungkapan “capaian minimal 80% herd immunity agar kita terbebas dari pandemi Covid”. Namun dengan perhitungan matematika dasar berdasarkan informasi data penelitian yang telah disebutkan di atas terhadap efektivitas vaksin, jelas perlakuan vaksinasi 100% tidak akan memberikan capaian minimal 80% herd immunity.
Apa kiranya jawaban pemerintah untuk hal ini? Tidak ada upaya untuk melihat fakta apa adanya. Sejauh yang saya perhatikan jawabannya selalu sama: “Lebih banyak vaksinasi!” Kenyataannya: Ribuan orang yang telah mendapatkan vaksinasi lengkap tetap terserang Covid dan sekarat. Respon pemerintah tentu saja, “Perlu lebih banyak vaksin! Tambahan Suntikan ke-3. Suntikan ke-4… dan Seterusnya…”
Bagaimanakah fakta informasi yang diberikan oleh pemerintah dan media? Kita bisa melihat contoh sederhana: Satu pesan menonjol karena selalu kita dapatkan dan temukan berulang-ulang adalah “Vaksinasi tidak ada risiko”. Betulkah? Bagaimana dengan risiko nyata yang terkait dengan semua vaksin? Data pemerintah AS, yang dapat diakses melalui www.openvaers.com, menunjukkan adanya lebih dari 13.000 kematian akibat vaksin covid di AS saja. Atau bagaimana dengan logika sederhana “tidak ada resiko” untuk ibu hamil? Kita baru menggunakan vaksin selama kurang dari 9 bulan, sehingga tidak ada cara untuk mengetahui dengan pasti apakah ada risiko terhadap ibu hamil maupun bayi yang dikandungnya. Jadi, bagaimana bisa dengan yakin bahwa “Tidak Ada Resiko”?
Pemerintah yang jujur akan mengatakan, “Berdasarkan apa yang kami ketahui, ada kemungkinan resiko yang rendah dari penggunaan vaksin dan kami yakin manfaatnya lebih besar daripada risiko terinfeksi Covid. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk sampai pada kesimpulan yang lebih pasti, tetapi untuk saat ini kami merekomendasikan wanita hamil untuk divaksinasi.” Kemudian serahkan keputusan untuk mendapatkan vaksinasi kepada setiap wanita hamil untuk mereka menggunakan hak konstitusionalnya dalam membuat keputusan untuk kesehatannya sendiri. Hal yang sama berlaku untuk banyak aspek lain dari mitigasi pemerintah. Pernyataan “Tidak ada risiko” membuat mereka seolah tidak memiliki kredibilitas, orang-orang mulai tidak percaya apa pun yang mereka katakan dan begitulah hoax berkembang.
Sekarang, mari kita lihat lebih dekat klaim dan target vaksinasi 100%. Apakah kita mungkin melewatkan sesuatu? Jawabannya pasti ya, kita kehilangan aspek terpenting:
Kekebalan Alami Dari Infeksi & Herd Immunity
Siapa yang tidak pernah melihat berita utama “Vaksin memberikan perlindungan yang lebih baik daripada kekebalan alami” atau “Mengapa para penyintas covid perlu divaksinasi”? Jika Anda berani mengatakan sebaliknya, pembasmi hoax nasional kita turnbackhoax.id Mafindo akan mengejar Anda dan berteriak HOAX! HOAX!, seperti yang telah mereka lakukan pada 28 Juli 2021. Kementerian Kesehatan menghimbau semua penyintas covid untuk segera mendapatkan vaksinasi 3 bulan setelah sembuh. Karena vaksin adalah jawaban dari segalanya! Ingat, kita hanya bisa kembali normal jika 100% divaksinasi!
Apa saja faktanya?
CDC AS pada 13 Agustus 2021 menyatakan bahwa, “orang yang divaksinasi memiliki perlindungan yang lebih baik daripada orang yang memiliki infeksi sebelumnya”. Pasti benar kalau begitu, kan? Itu berdasarkan penelitian dengan 246 orang di Kentucky. 246 orang. Di Kentucky. Dan semua media Indonesia dengan bersemangat mengangkat cerita tersebut dan menirukannya. Lagi dan lagi. Mungkin mereka mengabaikan sesuatu, karena ketidaktahuan atau dengan tujuan tertentu? Yah, mereka melakukannya, dan itu besar.
Pada 10 Mei 2021, WHO mengeluarkan laporan ilmiah resmi “Covid-19 Natural immunity” dengan kesimpulannya:
– “Bukti saat ini menunjukkan sebagian besar individu mengembangkan respons imun protektif yang kuat setelah infeksi alami”
dan
– “bukti terbaru menunjukkan bahwa infeksi alami dapat memberikan perlindungan yang sama terhadap penyakit simtomatik seperti halnya vaksinasi”
Kata “dapat” seharusnya tidak memberikan alasan untuk mengalihkan perhatian, orang yang akrab dengan bahasa WHO (sebagaimana seharusnya pemerintah & media) tahu bahwa mereka selalu menggunakan kata-kata yang hati-hati dan hal yang sama berlaku untuk vaksin.
Pada 15 Juli 2021, sebuah studi besar terkait diterbitkan dengan judul “Varian kekhawatiran SARS-CoV-2 menunjukkan penurunan sensitivitas terhadap netralisasi virus hidup dalam serum dari vaksin CoronaVac dan pasien COVID-19 yang terinfeksi secara alami”. Studi ini menggunakan data masyarakat/pasien di Thailand. Studi ini membandingkan kekebalan alami akibat infeksi Covid dengan kekebalan yang diberikan oleh vaksin Sinovac.
Kesimpulan utama dari Studi tersebut adalah: “Strain Delta dinetralisir sama baiknya oleh serum Infeksi Alami 2020 dan 2021, (…) dan titer NAb CoronaVac bahkan masih lebih rendah (…) menjadi 2,82 (…) dan 3,85 (.. .) lipat lebih rendah dibandingkan, masing-masing, hampir pada batas deteksi.”
Dengan kata sederhana, imunitas dari Sinovac terhadap varian Delta sangat rendah (hampir tidak terdeteksi) dibandingkan dengan imunitas yang kuat dari infeksi alami, bahkan pada orang yang mengembangkan imunitas dari varian sebelumnya atau virus awal pada tahun 2020.
Belum yakin? Bagaimana dengan studi yang terbesar di dunia dengan 835.792 orang? Kementerian Kesehatan Israel, telah menjadi terkenal karena penanganan datanya yang metodis, transparan, dan terbuka secara umum, menyimpulkan: “Orang Israel yang telah divaksinasi beresiko 6,72 kali untuk terinfeksi daripada penyintas Covid”.
Saya bisa melanjutkan tulisan ini dengan mengemukakan banyak studi yang telah dilakukan dalam skala global, namun artikel ini akan menjadi sangat panjang. Informasi-informasi terkait dapat kita (masyarakat) akses, dapatkan, dan baca dari berbagai sumber ilmiah terpercaya. Intinya adalah, mengapa berbagai informasi ini tidak diteruskan secara luas kepada masyarakat di Indonesia? Apakah fakta-fakta ilmiah terkait bukanlah konsumsi masyarakat umum? Atau mungkin masalahnya adalah para pengelola “kebenaran” di pemerintah dan media menolak untuk membicarakan hal ini?
Pada 13 Agustus 2021, saya menemukan “tweet” dari ahli epidemiologi terkenal Dr. Pandu Riono dari Universitas Indonesia di mana ia menggunakan 55% efikasi untuk vaksin dan 70% untuk kekebalan alami untuk perhitungan epidemiologinya. Jadi sekarang kita tahu bahwa dia tahu yang sebenarnya, namun tidak pernah membicarakannya.
Pada 19 Agustus, Kompas memuat artikel berjudul “3,9 Juta Kasus Covid-19 dan Prediksi Pandemi Jadi Endemi” yang dikutip oleh Wiku Adisasmito (Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 = pemerintah) yang mengatakan:
“kekebalan masyarakat terhadap virus SARS-CoV-2 akan meningkat seiring dengan percepatan vaksinasi atau infeksi alami”
Jadi sekarang kita tahu bahwa pemerintah tahu. Dan Kompas. Namun mereka tidak pernah membicarakannya.
Ada banyak “kebisingan” dan propaganda vaksin yang tersedia, studi setengah matang, studi observasional, anekdot dan lainnya, semua dirancang untuk meningkatkan keraguan tentang kekebalan (imunitas) alami. Saya hanya dapat menyimpulkan bahwa ini adalah tentang “menjual vaksin”, mengingat fakta bahwa semua ilmu pengetahuan yang serius dan WHO sepakat bahwa imunitas alami, pada kenyataannya, adalah yang terkuat dan paling tahan lama.
Apa konsekuensi dari ini dan apa kenyataannya?
– Orang-orang telah menjadi sekarat karena pemerintah melanjutkan kebijakan “vaksinasi semua” yang buta dan keras kepala. Kita memiliki stok vaksin yang sangat terbatas. Vaksin tersebut diberikan kepada jutaan orang yang sudah memiliki imunitas yang lebih kuat daripada dari vaksin, sedangkan jutaan lainnya dibiarkan terpapar tanpa vaksin, tanpa imunitas, dan banyak yang meninggal sebagai akibatnya.
– Semua mandat vaksin dan bukti vaksinasi sama sekali mengabaikan fakta penting ini. Orang dengan infeksi sebelumnya yang terbukti, atau dengan bukti imunitas resmi seperti titer antibodi dari laboratorium yang resmi, harus mendapatkan sertifikat dan hak yang sama dengan yang divaksinasi. Kami membutuhkan sertifikat imunitas, bukan kartu vaksinasi. Seluruh tujuannya adalah untuk membatasi penyebaran dan menghentikan wabah, bukan? Ini bukan hanya akal sehat, tetapi juga diamanatkan oleh konstitusi (perlakuan yang sama oleh hukum, Pasal 27 (1) UUD 1945). Banyak negara lain, misalnya seluruh Uni Eropa, mengakui imunitas alami sama dengan vaksinasi di paspor imunitas mereka.
– Kita sedang menunda herd immunity dan kembali ke “normal”. Vaksin di Indonesia tersedia dalam jumlah terbatas. Pemberian vaksin kepada orang yang sebetulnya tidak membutuhkan akan menghambat akses pemberian vaksin kepada orang yang tidak memiliki imunitas. Hal ini akan memperlambat pencapaian “herd immunity” dan bahkan memperpanjang masa pandemi. Secara logika sederhana.
Kemudian dua fakta penting tambahan dibawah ini sama sekali diabaikan.
- Pada Maret 2021, sebelum gelombang delta melanda kita, hampir separuh penduduk Jakarta diketahui sudah memiliki imunitas dari infeksi sebelumnya, berdasarkan survei serologi. Berita ini telah diberitakan di media, namun dengan cepat dilupakan dan pemerintah tidak menggunakan data penting itu dalam pembuatan kebijakannya. Masuk akal jika dikatakan bahwa saat ini, setelah gelombang Delta, persentase imunitas yang sangat tinggi di Indonesia, terutama di kota-kota besar, memiliki tingkat imunitas alami yang sangat tinggi. Kita bisa melihat hal ini dari penurunan kasus yang cepat (dan ya, ini bukan karena PPKM atau vaksinasi).
- Kita dapat melihat situasi di India, di mana berdasarkan laporan data resmi mereka, India telah memiliki tingkat herd immunity 70% yang berasal dari infeksi alami setelah gelombang delta menyerang mereka. Imunitas alami telah menyebabkan kasus mereka turun ke tingkat yang sangat rendah. Tingkat vaksinasi di India adalah hanya 10% .
Kematian
Kita memiliki pandemi “orang yang tidak divaksinasi”. “Mereka semua sekarat”. Saya pikir ini adalah kesimpulan umum dari pemerintah dan media. Kita semua tahu, faktanya ribuan orang yang telah divaksinasi juga sekarat, bahkan menyedihkannya ratusan dokter yang juga telah divaksinasi lengkap meninggal dunia. Saya sangat menyayangkan fakta ini. Apa yang benar-benar hilang dari pembahasan terkait fakta ini adalah alasan mengapa orang-orang ini, divaksinasi atau tidak, sekarat. Hal ini, membutuhkan penyelidikan lebih dekat jika kita ingin “hidup dengan virus” dengan cara yang “normal” dan endemik.
Kebanyakan orang mungkin pernah mendengar beberapa pembicaraan tentang komorbiditas untuk diabetes & obesitas yang memiliki faktor risiko terhadap Covid. Terus? Apa yang memangnya bisa kita lakukan? Kondisi ini disebabkan oleh faktor genetik dan tidak ada yang bisa kita lakukan untuk itu, kan? Tunggu dulu…, apakah memang begitu faktanya?
Diabetes dan obesitas adalah dua “gejala” dari PTM (Penyakit Tidak Menular) yang lebih luas yang disebut Sindrom Metabolik.
Pada 16 April 2020, sebuah artikel diterbitkan di European Scientist berjudul “Covid 19 and the elephant in the room” Oleh Dr. Aseem Malhotra yang merupakan ahli jantung di NHS, UK dan salah satu ahli jantung paling berpengaruh di Inggris. Dia memiliki beberapa data dan fakta penting untuk dibagikan:
– Data dari 2204 pasien pertama yang dirawat di 286 NHS ICU dengan COVID-19 mengungkapkan bahwa 72,7% diantaranya memiliki kelebihan berat badan atau obesitas
– “Pasien dengan diabetes tipe 2 dan sindrom metabolik mungkin memiliki risiko kematian hingga 10 kali lebih besar ketika mereka tertular COVID-19” dan setiap RS melakukan kontrol glukosa dan metabolik wajib dari pasien diabetes tipe 2 untuk menurunkan hasil buruk dari pasien Covid.
– perokok 14 kali lebih mungkin terkena penyakit parah setelah tertular COVID-19
Dr. Malhotra selanjutnya dikutip di berbagai media lain berdasarkan temuannya:
“Yang mengejutkan adalah melihat semua data, tidak dapat disangkal bahwa penyakit metabolik adalah penyebab utama kematian akibat COVID-19,” kata Dr Malhotra.
Dia mengatakan menurunkan konsumsi gula dan makanan olahan akan memiliki manfaat “dan hanya dalam hitungan minggu” dapat mengurangi efek morbiditas dan kematian akibat COVID-19.
Dosen senior dan ahli gizi AUT Caryn Zinn sependapat dengan Dr. Malhotra:
“Yang terbaik yang bisa kita lakukan untuk mencegah COVID-19 atau mengurangi virulensinya jika Anda mendapatkannya adalah memiliki sistem imun yang kuat dan kesehatan metabolisme yang baik. Untuk mencapai kedua hal ini, sangat penting untuk mengonsumsi makanan utuh yang tidak diproses berlebihan sehingga dapat menstabilkan gula darah — tentu saja di samping perilaku gaya hidup lainnya seperti cukup tidur, paparan sinar matahari (jika memungkinkan), olahraga teratur, hubungan sosial dengan teman dan keluarga (mudah dilakukan secara online) dan mengelola stres.”
Dokter Robert Lustig, Universitas California, menambahkan bahwa makanan olahan (proses industri skala besar dan fast food) serta gula secara umum membuat tubuh Anda memiliki peradangan. Peradangan di dalam tubuh ini akan membuat penderita COVID-19 memiliki kondisi yang buruk. Sudah saatnya, kita memikirkan kembali menu hidangan keseharian kita.
Apakah orang-orang ini mengetahui dan menemukan sesuatu? Nah, pencarian sederhana di Google untuk “makanan olahan sindrom metabolik” atau “gula sindrom metabolik” memperlihatkan sejumlah besar studi peer review yang mengejutkan, diterbitkan dalam jurnal terkemuka terkait bukti/fakta hubungan antara konsumsi makanan olahan termasuk gula dengan penyakit metabolik.
Jadi bagaimana dengan tautan ke penyakit dan kematian covid? Beberapa penelitian sudah dipublikasikan, salah satu contohnya yang diterbitkan oleh US National Institute of Health pada 16 Juli 2021 berjudul “COVID-19: infeksi, perkembangan, dan vaksinasi. Fokus pada obesitas dan gangguan metabolisme terkait”
Kesimpulan dari publikasi ini cukup mengejutkan:
“Pasien dengan obesitas dan gangguan metabolisme terkait memiliki peningkatan risiko terinfeksi SARS-CoV-2. Selain itu, karena respons imun yang terganggu di paru-paru, respons sistemik hiper-inflamasi, peningkatan risiko trombosis dan peningkatan viral load, pasien dengan obesitas dan gangguan metabolisme terkait juga mengembangkan komplikasi parah pada infeksi SARS-CoV-2, yang mengarah ke peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas pada COVID-19”
dan
“Obesitas dikaitkan dengan berkurangnya respons memori dari sistem imun yang mengarah pada berkurangnya perlindungan jangka panjang terhadap infeksi ulang. Oleh karena itu, meskipun ada hasil vaksinasi COVID-19 yang menjanjikan, pasien dengan obesitas mungkin masih rentan untuk terinfeksi ulang dengan SARS-CoV-2 dalam jangka panjang. Ini dapat memengaruhi herd immunity dan berdampak pada eliminasi SARS-CoV-2. Kesimpulannya, untuk membatasi dampak COVID-19 lebih lanjut pada pasien dengan obesitas dan gangguan metabolisme terkait, dan masyarakat, efektifitas vaksin COVID-19 jangka panjang harus dipantau secara ketat pada pasien ini. “
Menurut suatu penelitian di UI, tingkat obesitas di Indonesia adalah 28%.
Disini, kita perlu menambahkan definisi lebih lanjut untuk obesitas. Tidak semua orang “obesitas” terlihat secara fisik kelebihan berat badan, banyak juga yang “TOFI”. Wikipedia mendefinisikannya sebagai “TOFI (tipis-luar-lemak-dalam) digunakan untuk menggambarkan individu kurus dengan jumlah lemak yang tidak proporsional yang tersimpan di dalam perut mereka”.
Mengenai Diabetes, kita juga memiliki masalah tambahan: “Prevalensi diabetes mellitus yang tidak terdiagnosis adalah 4,1% dari total 5,6% populasi diabetes di Indonesia.”
Jadi kita memiliki sejumlah besar orang “obesitas” yang tidak terlihat kelebihan berat badan, dan sebagian besar diabetes tidak terdiagnosis di Indonesia, yang berarti orang maupun dokter tidak mengetahui kondisi komorbid mereka.
Saya pikir seharusnya sudah cukup jelas sekarang bahwa narasi resmi “epidemi orang yang tidak divaksinasi” adalah salah. Hal itu tidak benar. Kita memiliki semua bukti bahwa sebagian besar penyakit parah dan kematian akibat covid sebenarnya disebabkan oleh komorbiditas (yang sering tidak terdiagnosis), yang disebabkan oleh pilihan gaya hidup, seperti mengonsumsi makanan olahan, makanan fast food, minuman manis, merokok, dan sebagainya. Itu adalah epidemi yang sebenarnya. Saya ragu kita akan memiliki kondisi PPKM, kebutuhan vaksinasi, dan lainnya jika jauh lebih sedikit orang yang terkena virus memperlihatkan dampak yang serius.
Sehingga kita bisa simpulkan, jika pemerintah memperdulikan kesehatan masyarakat dan ingin mencegah angka kematian tinggi akibat covid, sangat penting untuk melakukan kampanye pendidikan besar-besaran untuk mengedukasi dan memperingatkan masyarakat tentang fakta-fakta ini. Semua pasien covid sangat dianjurkan untuk memiliki hasil tes gula darah (dan HbA1c) saat masuk rumah sakit. Pengelolaan level gula darah bagi pasien Covid adalah masalah hidup dan mati. Dan kita tidak bisa lagi menerima alasan “jobs” dan keuntungan dari industri makanan skala besar. Tindakan harus dilakukan untuk secara dramatis mengurangi konsumsi hal-hal yang dapat mengakibatkan kematian (mengonsumsi dalam jangka panjang tanpa disadari oleh konsumen), atau kita akan terjebak dalam pandemi ini untuk waktu yang sangat, sangat lama. Tingkat kematian akan terus meningkat.
Bapak Presiden yang terhormat, Pemerintah yang terhormat, Media yang terhormat, tolong sampaikan “kebenaran” kepada kami. Mohon ikuti hasil dari penelitian-penelitian ilmiah yang ada. Lakukan hal-hal yang benar dan tepat. Agar masyarakat di dalam negara yang tercinta ini mendapatkan yang terbaik.
Atau, silahkan menangani covid dengan cara yang sama seperti Anda menangani tembakau. Hentikan semua pembatasan dan mandat vaksin, hargai kebebasan dan pilihan masyarakat, perlakukan korban covid sebagai “akibat normal” dalam berbisnis dan untuk mempertahankan lapangan pekerjaan. Anda sudah sangat baik dalam hal itu.