Dalam artikel ini kami akan menganalisis semua elemen vaksinasi Covid19, mulai dari kebenaran tentang seberapa “berbahaya” Covid19 sebenarnya, keamanan dan efektivitas vaksin, detail dan data tambahan seperti booster dan vaksinasi ibu hamil dan kegagalan total pemerintah untuk mencegah puluhan ribu kematian akibat Covid19. Di akhir artikel ini, kami akan menganalisis risiko versus manfaat vaksin Covid19, yang merupakan kriteria paling dasar dan penting untuk intervensi medis apa pun.
Semua data dalam artikel ini berasal dari sumber resmi pemerintah dan jurnal ilmiah terkemuka.
Resiko / bahaya dari Covid19
Siapa yang terkena dampak Covid19? Jelas bahwa hanya sebagian kecil orang yang sakit parah atau meninggal, sehingga penting untuk menganalisis hal ini untuk memahami ancaman yang ditimbulkan oleh Covid 19.
Penyakit Penyerta:
Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur dr. Herlin Ferliana, M.Kes menjelaskan berdasarkan Analisa di Provinsi Jawa Timur sebanyak 95% pasien positif COVID-19 meninggal karena komorbid. Jenis penyakit bawaan di antaranya penyakit paru-paru dan jantung.
__________
(Direktur Jenderal Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan) Abdul Kadir pun mengimbau masyarakat lansia, yang memiliki komorbid apalagi memiliki penyakit hipertensi untuk tetap berada di rumah sementara. Jangan ke mana-mana sebab bila terpapar bisa menyebabkan kematian, kritis atau gejala berat.
“Umur lanjut dan komorbid ada hipertensi bisa menyebabkan kematian (bisa terinfeksi omicron). Teman-teman lansia dan ada komorbid stay di rumah,” terangnya.
__________
Direktur Pencegahan Penyakit dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI Cut Putri Arianie …
Dari data Peta Sebaran COVID-19 per 12 Desember 2020, pasien positif Corona dan meninggal dengan riwayat hipertensi dan diabetes melitus menduduki peringkat atas. Prevalensi pasien Corona dengan hipertensi 51,2 persen dan diabetes melitus 34,9 persen. Kematian pasien Corona dengan hipertensi 11,3 persen dan diabetes 10,1 persen.
__________
Meskipun disebut ringan, COVID-19 varian Omicron juga berisiko fatal untuk sejumlah kelompok masyarakat. Juru bicara vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan, dr Siti Nadia Tarmizi, mengungkapkan bahwa varian Omicron berisiko memicu gejala berat dan kematian pada kelompok rentan, yaitu lansia dan pengidap komorbid.
“Kita tahu walaupun kematian serta perawatan di rumah sakit akibat Omicron jauh lebih rendah dibandingkan pada saat Delta, tetap akan ada kelompok-kelompok yang berisiko terjadi keparahan dan kematian yaitu kelompok lansia, kemudian kelompok komorbid apalagi komorbidnya lebih dari satu dan tidak terkendali dengan baik,” ujarnya dalam konferensi pers virtual terkait perkembangan COVID-19 di Indonesia, Rabu (16/2/2022).
__________
Presence of one or more comorbidities, especially pre-existing hypertension, diabetes, or chronic kidney disease strongly increased the risk of death in Jakarta, by 51%, 54%, and 160%, respectively, compared to those without such comorbidities.
https://www.thelancet.com/pdfs/journals/lanwpc/PIIS2666-6065(21)00017-1.pdf
__________
Umur:
Laporan resmi Kemenkes dengan data CFR di halaman 26: Link
__________
__________
https://www.bmj.com/content/369/bmj.m1985
__________
“Risiko terendah diamati pada anak-anak berusia 5-11 tahun tanpa penyakit penyerta. Dalam kelompok ini, tingkat masuk IGD adalah 0,2 per 10.000 dan kasus kematian tidak dapat dihitung, karena tidak adanya kasus.“
(The lowest risk was observed in children aged 5-11 without comorbidities. In this group, the ICU admission rate was 0.2 per 10,000 and case fatality could not be calculated, due to an absence of cases.)
https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2021.11.30.21267048v1
__________
The mortality rate in CYP (children) who died of SARS-CoV-2 was 0·2 per 100,000 (95%CI 0·1-0·3) compared to 25·5 per 100,000 (95%CI 24·7-26·5) for all other causes of death. Although the proportion of CYP from Asian and Black ethnic groups who died of SARS-CoV-2 was higher, their absolute risk of death from SARS-CoV-2 was still extremely low at 0·6 per 100,000 (95%CI 0·3-1·1) and 0·8 per 100,000 (95%CI 0·3-1·8) respectively. Similarly the proportion of CYP aged 10-14 years and 15-17 years who died of SARS-CoV-2 was higher, however their absolute risk of death from SARS-CoV-2 was still extremely low at 0·3 per 100,000 (95%CI 0·1-0·5) and 0·5 (95%CI 0·2-0·9) per 100,000 respectively.
Co-morbidities (Table 2, Table 3)
A similar proportion of the 25 CYP who died of SARS-CoV-2 (n=19, 76%) and the 3080 deaths from all other causes (n=2267, 74%) (chi2 0·004, p=0·60) had a chronic underlying health condition. Significantly more CYP who died of SARS-CoV-2 had a life-limiting condition (n=15, 60%) compared to deaths from all other causes (n=988, 32%) (chi2 8·5, p=0·005). 64% (n=16) of the 25 CYP who died of SARS-CoV-2 had comorbidities in two or more body systems compared to 45% (n=1373) of the CYP who died from all other causes (chi2 5·5, p=0·14).
https://www.researchsquare.com/article/rs-689684/v1
__________
Banyak penelitian tentang faktor risiko Covid19 tersedia dan kriteria standar untuk evaluasi risiko telah ditentukan, sehingga memudahkan regulator dan penyedia layanan kesehatan untuk menilai risiko individu atau kelompok.
Seventy-six studies were identified, with a total of 17,860,001 patients across 14 countries. The studies were highly heterogeneous in terms of the sample under study, outcomes, and risk measures reported. A large number of risk factors were presented for COVID-19. Commonly reported variables for adverse outcome from COVID-19 comprised patient characteristics, including age >75 (OR: 2.65, 95% CI: 1.81–3.90), male sex (OR: 2.05, 95% CI: 1.39–3.04) and severe obesity (OR: 2.57, 95% CI: 1.31–5.05). Active cancer (OR: 1.46, 95% CI: 1.04–2.04) was associated with increased risk of severe outcome. A number of common symptoms and vital measures (respiratory rate and SpO2) also suggested elevated risk profiles.
Based on the findings of this study, a range of easily assessed parameters are valuable to predict elevated risk of severe illness and mortality as a result of COVID-19, including patient characteristics and detailed comorbidities, alongside the novel inclusion of real-time symptoms and vital measurements.
__________
Masalah Data:
Semua kematian dicatat sebagai “karena” Covid sebenarnya tidak terbukti karena Covid tapi hanya “dengan” Covid. Satu-satunya kriteria untuk mencatat kematian sebagai “karena” Covid adalah tes positif.
Dalam data IDAI tentang semua anak yang meninggal pada tahun 2020 “akibat” Covid, terlihat jelas bahwa dalam banyak kasus tidak ada hubungan sama sekali antara Covid dengan penyebab kematian (misalnya korban luka bakar yang meninggal karena luka bakar, DBD, meningitis, tifus dll) dan kasus lain di mana Covid mungkin menjadi faktor penyebab tambahan kematian (bersama dengan komorbiditas ekstrim atau penyakit lain) tetapi tidak ada bukti. Dan tidak ada anak sehat “normal” yang dapat ditemukan dalam data ini. Data IDAI 2020
Permintaan data penyebab kematian yang akurat ke Kemenkes dari September 2021 telah ditolak Kemenkes, bahkan setelah ada surat resmi dari Ombudsman untuk memberikan data tersebut. Yang paling penting permintaan itu mencakup data/studi yang digunakan sebagai dasar untuk membenarkan vaksinasi orang yang tidak tua dan tidak memiliki penyakit penyerta. Surat Ombudsman
Permintaan lebih lanjut ke Kemenkes khusus untuk data ini telah diterima secara resmi oleh mereka pada 27 Januari 2022 dan diproses secara internal di Kemenkes, tetapi tidak ada data, bahkan jawaban, yang diberikan, yang melanggar UU KIP. Permohonan data ke Kemenkes
Dalam kasus data tentang anak-anak, telah dibuktikan bahwa angka resmi kematian akibat Covid-19 adalah palsu. Fakta bahwa Kemenkes menolak untuk memberikan data apa pun untuk analisis mengarah pada kecurigaan yang masuk akal bahwa data ini dirahasiakan agar tidak ada yang mempertanyakan validitas klaim mereka bahwa banyak orang meninggal karena Covid. Wajar jika kita berasumsi bahwa jumlah sebenarnya kematian “akibat” Covid jauh lebih rendah dari angka resmi, artinya risiko/bahaya dari Covid jauh lebih rendah dari yang diklaim Kemenkes.
Untuk menentukan jumlah kematian “dari” Covid19 yang benar dan akibatnya bahaya nyata dari Covid19, satu-satunya cara adalah pemerintah merilis semua data yang ada sehingga dapat diverifikasi secara independen.
__________
Terjadi juga banyak penyebaran disinformasi dan Hoax oleh pemerintah, misalnya Wapres menyampaikan kematian anak adalah 30% meskipun data resmi Kemenkes adalah di bawah 0.2%:
“Keputusan ini sangat tepat mengingat mortalitas penderita Covid-19 usia 10-18 cukup tinggi yaitu 30%,”
Pada saat yang sama, IDAI yang merupakan bagian dari lembaga yang memberikan rekomendasi vaksinasi kepada pemerintah juga menyebarkan informasi palsu bahwa kematian anak adalah 3-5%.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengungkap bahwa kasus Covid-19 pada anak usia 0 hingga 18 tahun di Indonesia mencapai 12,5 persen, yang artinya satu dari delapan kasus Covid-19 yang terkonfirmasi adalah anak. Lalu, case fatality rate Covid-19 pada anak juga tertinggi di dunia, mencapai tiga sampai lima persen.
“Jadi kita itu adalah negara yang kematiannya paling banyak di dunia. Bisa dibayangkan, satu dari delapan kasus yang terkonfirmasi Covid-19 itu adalah anak dan tiga sampai lima persen di antaranya meninggal.”
https://www.republika.co.id/berita/quw3xc414/covid19-idai-kematian-anak-indonesia-tertinggi-di-dunia
__________
Menurut Universitas Indonesia, 4,1% dari total 5,6% penderita diabetes di Indonesia tidak terdiagnosis, artinya sebagian besar diabetes tidak diketahui oleh pasien dan dokter. Dapat diasumsikan bahwa tingkat penyakit kronis/komorbiditas lain yang serupa juga tidak terdiagnosis. Hal ini menimbulkan keraguan serius tentang klaim/data orang tanpa penyakit penyerta yang meninggal akibat Covid19. Karena kemungkinan tinggi yang terbukti dari komorbiditas yang tidak terdiagnosis, klaim kematian apa pun dari Covid19 “tanpa komorbiditas” harus ditolak kecuali bukti seperti kadar gula darah HbA1c dan hasil tes lain yang sesuai dapat diberikan. Studi Universitas Indonesia
__________
Orang dengan gejala mirip Covid19 yang dirawat di rumah sakit atau meninggal hanya dites untuk Covid19. Namun virus pernapasan lainnya menyebabkan gejala dan hasil yang serupa tetapi tetap tidak terdeteksi. Beberapa penelitian menemukan bahwa koinfeksi Covid19 dengan virus/patogen lain sangat umum, misalnya Influenza (flu):
19% – Studi
49,8% – Studi
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang statistik Covid19, terutama setiap individu yang dicatat kematian. Apakah kematian itu benar-benar disebabkan oleh Covid19? Atau misalnya oleh Influenza yang menurut beberapa penelitian sebenarnya lebih berbahaya bagi anak-anak daripada Covid19? Tes PCR akan positif jika ada infeksi yang sangat ringan, bahkan cukup untuk beberapa fragmen virus yang tidak aktif di hidung untuk menyebabkan tes positif dan fragmen virus tersebut beredar dalam jumlah tinggi di lingkungan rumah sakit dengan pasien Covid19.
Kemungkinan koinfeksi yang tinggi ini merupakan kontaminasi tambahan dari data tentang kematian terkait Covid19. Tidak mungkin untuk menguji secara surut orang yang meninggal selama pandemi untuk infeksi lain, tetapi dengan memberikan hasil tes PCR lengkap untuk setiap kasus, nilai Ct dapat digunakan untuk menentukan apakah infeksi Covid19 serius atau hanya infeksi ringan/positif palsu terlibat.
__________
Seperti terlihat pada grafik CFR Kemenkes di atas, dan dalam banyak pernyataan publiknya, Kemenkes menggunakan CFR – “Case Fatality Rate” sebagai ukuran kematian dan akibatnya sebagai ukuran ancaman dari Covid19. Namun ini sangat menyesatkan dan tidak memberikan indikasi tentang ancaman sebenarnya karena CFR didasarkan pada jumlah tes positif yang sangat tergantung jumlah tes yang dilakukan, bukan jumlah orang yang terinfeksi sebenarnya. Di awal pandemi, CFR sangat tinggi, 10% bahkan 15% karena tidak ada pengujian secara luas, hampir hanya orang yang sudah sangat sakit yang perlu masuk rumah sakit yang diuji. Jadi CFR di awal pandemi sebenarnya lebih mirip angka antara rawat inap dan kematian. Saat pengujian menjadi lebih luas, CFR turun secara signifikan. Bahkan sekarang jumlah tes harian bervariasi secara signifikan dan akibatnya CFR juga. Jelas bahwa pengukuran seperti ini tidak dapat digunakan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang ancaman dari Covid19. Bahkan WHO menyatakan hal ini (pedoman WHO).
Kemenkes memiliki data dan cara untuk melakukan perhitungan IFR – “Infection Fatality Rate” yang jauh lebih relevan yang didasarkan pada perkiraan jumlah sebenarnya orang yang terinfeksi. Ini adalah contoh untuk perhitungan IFR:
Pada bulan Maret survei serologi dilakukan oleh Universitas Indonesia di Jakarta dan menemukan bahwa hanya 8,1% dari jumlah orang yang terinfeksi sebenarnya yang terdeteksi dengan pengujian = “kasus”:
“Ketika survei ini dilakukan, total kasus terkonfirmasi di Jakarta adalah 382.055. Ini berarti dari jumlah 4,7 juta estimasi warga yang pernah terinfeksi, hanya 8,1 persen yang terdeteksi,” kata Anies. (Artikel CNN Indonesia)
Untuk menyederhanakan contoh dan estimasi ini, kami akan menggunakan 10%, yang berarti jumlah orang yang pernah terinfeksi sebenarnya 10 kali lebih tinggi dari angka “kasus” resmi. Ini berarti untuk menghitung IFR kita perlu membagi CFR dengan 10.
Dengan menerapkan ini pada data Kemenkes di atas, kami mendapatkan hasil sebagai contoh data berikut:
IFR Anak usia 7 hingga 12 tahun: 0,014%
IFR Orang berusia 46 hingga 59 tahun: 0,5%
IFR lansia 60+: 1,2%
IFR ini merupakan perkiraan ancaman nyata dari Covid19 secara umum (tanpa mempertimbangkan penyakit penyerta). Ini juga menunjukkan bahwa Covid19 jauh lebih tidak menakutkan dan berbahaya daripada yang sering dipromosikan dan merupakan satu-satunya data yang dapat digunakan untuk manajemen risiko dan kebijakan kesehatan masyarakat yang tepat.
__________
Kesimpulan:
Ada stratifikasi risiko yang sangat jelas dan terbukti untuk Covid19 berdasarkan usia dan penyakit penyerta. Untuk orang muda dan sehat, risikonya tidak ada dan meningkat seiring bertambahnya usia dan/atau penyakit penyerta. Akibatnya, setiap analisis risiko-manfaat untuk vaksin harus didasarkan pada kelompok risiko ini. Selain itu, data tersebut tampaknya terkontaminasi dengan banyak kematian palsu (bukan karena Covid) dan harus dibersihkan terlebih dahulu untuk hanya berisi kasus-kasus yang terbukti atau setidaknya diduga kuat di mana Covid telah menyebabkan kematian. Karena data yang sangat terkontaminasi, tingkat risiko sebenarnya tidak dapat ditentukan tetapi pasti lebih rendah dari yang diklaim secara resmi.
Risiko dari Covid19 secara konsisten dibesar-besarkan dengan sengaja atau ketidakmampuan oleh pemerintah dan penasihat yang terlibat dalam vaksinasi untuk menciptakan ketakutan pada masyarakat. Ini adalah tindak pidana.
Efektivitas Vaksin Covid19
Vaksin tidak mencegah infeksi dan penularan
(Januari 2021, Republika) Judul: “Vaksinasi Bukan untuk Mencegah Penularan Covid-19”
“Jadi vaksin itu mencegah kita menjadi sakit, bukan mencegah kita menjadi tertular,” kata Nadia yang juga Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (Dirjen P2P) Kemenkes, Jumat (29/1).
https://www.republika.co.id/berita/qnorqe328/vaksinasi-bukan-untuk-mencegah-penularan-covid19
(December 2021, Republika) Judul: “Satgas: Vaksinasi Dosis Lengkap tak Bisa Cegah Penularan Kasus”
(Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito) “Terlepas dari adanya varian omicron, saat ini terdapat beberapa data yang menunjukkan negara dengan cakupan vaksinasi dosis lengkap nyatanya masih dapat mengalami kenaikan kasus,” kata Wiku saat konferensi pers, dikutip pada Rabu (22/12)…
“Namun, vaksin tidak dapat mencegah penularan. Penularan hanya dapat dicegah dengan disiplin prokes dan kebijakan pelaku perjalanan internasional yang ketat,” jelasnya.
(18 Februari 2022 Suara.com) Judul: Profesor Zubairi Sebut Peningkatan Kasus Positif Covid-19 Bukan Karena Vaksin dan Booster Tidak Efektif:
Profesor Zubairi menyampaikan, fungsi sebenarnya vaksin memang bukan untuk mencegah infeksi virus.
“Publik perlu memahami bahwa kasus harian yang tinggi sekarang bukan karena vaksin dan booster tidak berhasil. Vaksin tak dimaksudkan mengurangi tingkat infeksi, tetapi rawat inap dan tingkat kematian. Tentu harus didukung prokes ketat,” kata Profesor Zubairi melalui akun Twitter pribadinya, Jumat (18/2/2022).
Vaksin tidak mencegah kasus, rawat inap dan kematian
Data Kemenkes Januari 26, Konferensi pers Menkes:
Dari 3 pasien yang meninggal, 2 sudah vaksinasi lengkap dan 1 bahkan sudah booster. Artinya 66% kematian telah divaksinasi lengkap:
Dari 854 pasien rawat inap, 755 sudah vaksin dan 99 tidak vaksin. Artinya 88.4% telah divaksinasi:
Tren yang sama bisa kita lihat di negara lain:
Kasus, rawat inap dan kematian per 100.000 orang di Skotlandia:
Data pemerintah New Zeeland tentang rawat inap mengkonfirmasi tren ini juga (sumber data: https://www.health.govt.nz):
Kasus di Inggris:
Kasus, Rawat Inap dan kematian di Kanada (Data pemerintah Kanada: https://health-infobase.canada.ca/covid-19/epidemiological-summary-covid-19-cases.html):
Kasus, Rawat Inap dan kematian di UK: 9 dari setiap 10 kematian Covid19 telah divaksin lengkap (2 dosis) dan 4 dari setiap 5 diantaranya telah menerima booster (https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/1057599/Vaccine_surveillance_report_-_week-8.pdf):
Pemerintah Inggris menerbitkan data yang mengonfirmasi bahwa Orang yang Divaksinasi Lengkap 3,2x lebih mungkin meninggal karena Covid-19 daripada yang Tidak Divaksinasi (https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/1057599/Vaccine_surveillance_report_-_week-8.pdf):
(Efektifitas dihitung menggunakan metode yang sama dengan perhitungan efektivitas Pfizer resmi dalam data uji klinis)
Australia: Orang yang Divaksinasi lengkap adalah 9 dari setiap 10 rawat inap & 4 dari setiap 5 Kematian (https://www.health.nsw.gov.au/Infectious/covid-19/Documents/covid-19-surveillance-report-20220223.pdf):
Dua jurnal baru (pre-print) telah menunjukkan bahwa vaksin memiliki efektivitas negatif, yang berarti meningkatkan risiko alih-alih menurunkannya.
Studi Kanada: Asli | Terjemahan bahasa Indonesia
Studi Denmak: Asli | Terjemahan bahasa Indonesia
Efektivitas negatif untuk infeksi dapat juga dilihat dari data terbaru Inggris. Bagan berikut menunjukkan tingkat kasus Covid-19 per 100 ribu populasi di antara mereka yang menerima booster dan tidak divaksinasi di Inggris antara 23 Januari 2022 dan 13 Februari 2022. Data diambil dari Tabel 13 yang ditemukan di halaman 44 UKHSA Laporan Surveilans Vaksin – Minggu 7 – 2022.
Berdasarkan data yang sama dari Inggris, efektivitas (negatif) vaksin untuk infeksi menggunakan metode perhitungan resmi menunjukkan hasil berikut untuk booster:
Studi CDC AS:
“Approximately three quarters (346; 74%) of cases occurred in fully vaccinated persons”
“Overall, 274 (79%) vaccinated patients with breakthrough infection were symptomatic.”
“Among five COVID-19 patients who were hospitalized, four were fully vaccinated”
“Real-time reverse transcription–polymerase chain reaction (RT-PCR) cycle threshold (Ct) values in specimens from 127 vaccinated persons with breakthrough cases were similar to those from 84 persons who were unvaccinated”
https://www.cdc.gov/mmwr/volumes/70/wr/mm7031e2.htm?s_cid=mm7031e2_w
Vaksinasi Covid19 tidak menciptakan kekebalan kelompok (herd immunity)
Berdasar data pemerintah Indonesia dan negara lain bahwa ada lebih banyak kasus Omicron pada orang yang divaksinasi daripada yang tidak divaksinasi serta fakta yang sudah diakui bahwa vaksin Covid19 tidak mencegah infeksi dan penularan, jelas bahwa vaksinasi tidak mungkin dapat menciptakan kekebalan kelompok.
Fakta tersebut didukung oleh data dari seluruh dunia, negara-negara dengan tingkat vaksinasi sangat tinggi mengalami gelombang besar Omicron:
Faktanya, Israel sebagai negara dengan tingkat vaksinasi sangat tinggi secara umum ditambah tingkat booster dan bahkan dosis ke-4 tertinggi di dunia saat ini mengalami wabah terbesar sejak awal pandemi. Jumlah kasus baru harian saat ini adalah yang tertinggi di dunia.
New Zeeland (Fully vaccinated: 78%, Booster 44% dari penduduk):
Tren yang sama di Singapore sebagai negara dengan tingkat vaksinasi (85% dari penduduk fully vaccinated) dan booster (57% dari penduduk) sangat tinggi, saat ini tingkat vaksinasi tertinggi di seluruh pandemi dan gelombang kasus tertinggi juga:
Berbeda dengan negara-negara di atas, gelombang Omicron di India lebih kecil dari Delta dan sudah selesai. Ada 2 perbedaan utama antara India dan negara-negara lain yang dapat menjelaskan hal ini:
– India memiliki tingkat vaksinasi yang jauh lebih rendah. Dengan banyaknya data yang menunjukkan bahwa vaksin memiliki efektivitas negatif terhadap infeksi dan penularan, yang berarti meningkatkan kasus, data dari India ini tampaknya mengkonfirmasi bahwa tingkat vaksinasi yang lebih rendah menyebabkan infeksi dan penyebaran yang lebih rendah.
– Sama seperti Indonesia, kebanyakan orang di India mendapatkan kekebalan pertama mereka dari infeksi alami selama gelombang Delta besar (pada Mei-Juni 2021 di India). Saat itu tingkat vaksinasi tidak relevan, di bawah 10%. Terbukti bahwa kekebalan alami ini jauh lebih kuat dan efektif daripada vaksin, terutama terhadap infeksi, yang menjelaskan mengapa Omicron berdampak jauh kurang pada populasi dengan kekebalan yang begitu kuat. Di negara-negara di mana kebanyakan orang memiliki “kekebalan” dari vaksin, yang terbukti tidak efektif, Omicron tidak memiliki resistensi yang menyebabkan wabah besar.
Studi ilmiah: Peningkatan COVID-19 tidak terkait dengan tingkat vaksinasi di 68 negara dan 2.947 kabupaten di Amerika Serikat. Studi asli | Studi bahasa Indonesia
Uji Klinis semua vaksin:
Uji efektivitas semua vaksin dilakukan dengan virus asli Wuhan. Ini sudah menjadi tidak berarti bagi Delta karena tingginya tingkat mutasi pada protein spike dan bahkan lebih tidak berarti lagi bagi Omicron, yang memiliki lebih banyak mutasi pada protein spike. Klaim tentang efektivitas vaksin berdasarkan uji klinis tidak valid dan harus ditolak sepenuhnya. Hal ini sudah terbukti oleh banyak jurnal, misalnya studi di Thailand yang membandingkan efektivitas Sinovac dengan imunitas alami terhadap Varian Delta:
“Strain Delta dinetralisir sama baiknya oleh serum Infeksi Alami 2020 dan 2021, (…) dan titer NAb CoronaVac bahkan masih lebih rendah (…) menjadi 2,82 (…) dan 3,85 (.. .) lipat lebih rendah dibandingkan, masing-masing, hampir pada batas deteksi.”
Mutasi pada varian Delta dan Omicon (berwarna) vs virus asli Wuhan (warna abu-abu). Mutasi terbanyak terjadi pada spike protein (bagian atas di gambar):
Efektivitas semua vaksin terhadap infeksi dan penularan serta rawat inap dan kematian belum pernah diuji dalam uji klinis. Satu-satunya ukuran untuk efektivitas dalam semua uji klinis adalah infeksi simtomatik/bergelalah. Sebagai contoh kami memberikan uji klinis dari Sinovac, BPOM memiliki data yang sama untuk semua vaksin lainnya. Dokumen uji klinis Sinovac.
British Medical Journal juga telah memeriksa uji klinis vaksin Covid19 dan menegaskan bahwa mereka tidak memberikan data apa pun bahwa vaksin menyelamatkan nyawa. https://www.bmj.com/content/371/bmj.m4037
Masalah Data:
Pemerintah Indonesia tidak mempublikasikan data kasus, rawat inap, dan kematian berdasarkan status vaksinasi. Mereka hanya membuat klaim yang tidak dapat diverifikasi.
Permintaan ke Kemenkes untuk memberikan data berdasarkan status vaksinasi diterima secara resmi tetapi tidak dijawab/ditolak yang merupakan pelanggaran UU KIP: Contoh
Kami telah memergoki Kemenkes aktif memanipulasi/memalsukan penyajian data ke publik. Dalam konferensi pers Menkes pada 26 Januari melalui live video, disertakan slide yang menunjukkan 3 kematian akibat Omicron (2 divaksinasi lengkap, 1 tidak divaksinasi). Setelah jumpa pers, video youtube dijadikan “private” dan kemudian muncul kembali di channel youtube Kemenkes dengan manipulasi, bagian yang menampilkan slide tentang kematian diganti dengan layar buram / putih dan juga ditambahkan slide yang tidak terkait, yang tidak ada dalam konferensi pers asli.
Video dimanipulasi Kemenkes yang di upload di Channel Youtube resminya Kemenkes: https://www.youtube.com/watch?v=ABn2hrkgNS8
Video asli sebelum dimanipulasi Kemenkes yang di rekam oleh netizen dari konferensi pers live: https://www.bitchute.com/video/IcS7jd1lKt2a/
Kesimpulan:
Vaksin Covid19 tidak mencegah infeksi dan penularan. Bahkan banyak data menunjukkan bahwa yang divaksinasi tampaknya lebih mudah terinfeksi. Dikombinasikan dengan data resmi dari CDC bahwa viral load (Ct value hasil RT-PCR) pada orang yang divaksinasi yang terinfeksi sama dengan yang tidak divaksinasi dan penelitian & data yang menunjukkan efektivitas vaksin negatif untuk infeksi, dapat disimpulkan bahwa orang yang divaksinasi lebih menularkan virus daripada orang yang tidak divaksinasi. Ini berarti dari perspektif epidemiologi, orang yang divaksinasi adalah sumber penularan yang LEBIH BESAR daripada yang tidak divaksinasi, artinya orang yang divaksinasi adalah ancaman yang LEBIH BESAR bagi kesehatan masyarakat daripada yang tidak divaksinasi. Fakta-fakta tersebut tidak dibantah oleh pemerintah Indonesia atau pemerintah lain.
Definisi kekebalan/imunitas oleh CDC AS tidak terpenuhi oleh vaksin Covid19 (https://www.cdc.gov/vaccines/vac-gen/imz-basics.htm):
“Protection from an infectious disease. If you are immune to a disease, you can be exposed to it without becoming infected.”
“Perlindungan dari penyakit menular. Jika Anda kebal terhadap suatu penyakit, Anda dapat terpapar tanpa terinfeksi.”
CDC AS bahkan telah mengubah definisi vaksin karena ini, seperti yang dapat dilihat dengan membandingkan definisi saat ini di situs web CDC dengan versi yang diarsipkan dari sebelum pandemi Covid19:
Definisi baru saat ini: https://www.cdc.gov/vaccines/vac-gen/imz-basics.htm
Definisi sebelum vaksin Covid19 (Juli 2020): https://web.archive.org/web/20200714005257/https://www.cdc.gov/vaccines/vac-gen/imz-basics.htm
Sebagai konsekuensi dari fakta tersebut, jelas bahwa vaksin Covid 19 tidak menciptakan “kekebalan” individu yang berarti juga tidak menciptakan kekebalan kelompok/herd immunity, yang juga jelas dari semua data dimana terjadi wabah/gelombang Omicron besar di banyak negara meskipun tingkat vaksinasi tinggi (80% lebih).
Mengenai rawat inap juga tampak jelas baik dari data Kemenkes maupun data internasional (New Zeeland, Scotland) bahwa orang yang divaksinasi tampaknya lebih mungkin membutuhkan perawatan di rumah sakit daripada yang tidak divaksinasi, dan booster tidak membuat perbedaan. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin juga memiliki efektivitas negatif untuk rawat inap, yang berarti vaksinasi tidak mencegah “kelebihan” kapasitas rumah sakit tetapi sebenarnya meningkatkannya dan yang tidak divaksinasi tidak menimbulkan ancaman yang lebih besar bagi sistem perawatan kesehatan daripada yang divaksinasi, bahkan mereka dapat MENGURANGI beban pada sistem kesehatan.
Mengenai tingkat efektifitas pencegahan kematian datanya kurang jelas. Yang jelas dan tak terbantahkan adalah sejumlah besar orang yang divaksinasi meninggal dari Covid19. Beberapa data menunjukkan bahwa ada beberapa efektivitas, data lain menunjukkan tidak ada atau efektivitas negatif. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan seperti usia dan komorbiditas, kita dapat mengamati kecenderungan yang sama dari kematian orang yang divaksinasi pada orang tua dan komorbiditas seperti pada orang yang tidak divaksinasi. Semua data kematian, orang yang divaksin dan tidak divaksin, sangat terkontaminasi karena cara pencatatan yang sebagian besar berdasarkan hasil tes positif saja dan seringkali tanpa bukti bahwa kematian tersebut disebabkan oleh Covid19. Analisis yang tepat menggunakan semua data yang tersedia, membersihkan data dan menyesuaikan faktor-faktor seperti usia dan penyakit penyerta perlu dilakukan untuk membuat penelitian yang valid tentang efektivitas vaksin terhadap kematian. Tidak ada penelitian semacam itu di Indonesia.
Keamanan Vaksin Covid19
Arti ‘Aman’ itu sendiri menurut KBBI adalah pasti; tidak meragukan; tidak mengandung risiko. Tenteram; tidak merasa takut atau khawatir.
Uji Klinis
Pertama-tama harus dicatat bahwa tidak pernah ada pengujian keamanan, terutama jangka panjang, yang memadai untuk semua vaksin Covid19 saat ini, seperti yang diilustrasikan berdasar contoh Sinovac:
Kutipan dari “LEMBAR FAKTA (FACT SHEET) UNTUK TENAGA KESEHATAN PERSETUJUAN PENGGUNAAN DARURAT (EUA) CORONAVAC” (Link dokumen resmi BPOM):
“Karena uji klinik dilakukan di bawah kondisi yang sangat bervariasi, angka kejadian tidak diinginkan yang diamati dalam uji klinik obat tidak dapat secara langsung dibandingkan dengan angka kejadian pada uji klinik obat lain dan mungkin tidak mencerminkan angka kejadian yang diamati dalam kondisi sebenarnya.” (Halaman 4)
Pada halaman 31 dokumen studi uji klinis Sinovac kita dapat melihat bagaimana mereka membuat klaim bahwa vaksin tersebut aman: Dengan mengikuti 540 orang terpilih yang telah divaksinasi selama 28 hari. Sekitar 70% orang mengalami efek samping. Sesuai data “efektivitas” dalam studi ada 798 orang yang menerima vaksin, demi keamanan mereka menyebutkan 540 orang. Ada 258 orang yang hilang di data “keamanan”, apa yang terjadi dengan mereka? Juga jelas bahwa vaksin memiliki dampak besar pada tubuh, terutama sistem kekebalan tubuh, yang dapat memiliki berbagai konsekuensi jangka panjang. Namun vaksin ini diterima sebagai “aman” setelah hanya 28 hari.
Faktanya, telah terungkap dalam kasus Pfizer bahwa masalah besar terjadi dalam pengujian dan persetujuan vaksin yang mengarah pada hasil dan data yang tidak dapat dipercaya. Rinciannya telah dipublikasikan di salah satu jurnal paling terkenal dan bereputasi di dunia: BMJ (British Medical Journal): Artikel BMJ
Berikut adalah beberapa elemen kunci:
- Peserta ditempatkan di lorong setelah injeksi dan tidak dipantau oleh staf klinis
- Kurang tepat waktu tindak lanjut pasien yang mengalami efek samping
- Protokol penyimpangan tidak dilaporkan
- Vaksin tidak disimpan pada suhu yang tepat
- Spesimen laboratorium salah label
- Penargetan dan intimidasi staf yang melaporkan jenis masalah ini
Dalam kasus vaksin Pfizer, FDA AS terpaksa merilis semua data uji coba Pfizer oleh gugatan keterbukaan informasi publik. Data ini dirahasiakan dari publik hingga FDA terpaksa merilisnya melalui gugatan. Data tersebut menunjukkan bahwa dari semua orang yang berpartisipasi dalam uji klinis, 42.086 menderita efek samping yang serius, 1.223 meninggal dan 11.361 menderita efek jangka panjang (belum sembuh pada saat laporan dibuat). Di bawah ini adalah tabel dari laporan resmi yang menunjukkan data ini dan ini adalah tautan ke laporan lengkap: Laporan
Dokumen yang sama dirilis sebagai akibat dari gugatan tersebut mencantumkan 1.291 efek samping yang berbeda setelah vaksinasi. Daftar tersebut termasuk cedera ginjal akut, myelitis flaccid akut, antibodi anti-sperma positif, emboli batang otak, trombosis batang otak, henti jantung, gagal jantung, trombosis ventrikel jantung, syok kardiogenik, vaskulitis sistem saraf pusat, kematian neonatal, trombosis vena dalam, ensefalitis batang otak, ensefalitis hemoragik, epilepsi lobus frontal, mulut berbusa, psikosis epilepsi, kelumpuhan wajah, sindrom gawat janin, amiloidosis gastrointestinal, kejang tonik-klonik umum, ensefalopati Hashimoto, trombosis vaskular hati, reaktivasi herpes zoster, hepatitis yang dimediasi imun, penyakit paru interstitial, emboli vena jugularis, epilepsi mioklonik remaja, cedera hati, berat badan lahir rendah, sindrom inflamasi multisistem pada anak-anak, miokarditis, kejang neonatal, pankreatitis, pneumonia, lahir mati, takikardia, epilepsi lobus temporal, autoimun testis, infark serebral trombotik, Jenis 1 diabetes mellitus, trombosis vena neonatal, dan trombosis arteri vertebralis di antara 1.246 kondisi medis lain setelah vaksinasi. Dokumen (APPENDIX 1, Halaman 30)
Perlu dicatat bahwa hasil uji klinis tidak dapat dianggap “aman”. Sebaliknya, uji klinis ini sangat tidak memadai, cacat dan dalam beberapa kasus menunjukkan tanda bahaya yang jelas.
Studi dan data ilmiah
Daftar 1000 studi ilmiah tentang resiko vaksin Covid19: Dokumen
Berikut ini adalah contoh kecil daftar studi termasuk terjemahan ke bahasa Indonesia untuk beberapa di antaranya:
Risiko mengembangkan sindrom koroner akut (ACS, penyakit jantung) meningkat secara signifikan pada pasien setelah menerima vaksin mRNA COVID-19, menurut laporan yang dipresentasikan di Sesi Ilmiah American Heart Association (AHA) 2021. Artikel asli | Artikel bahasa Indonesia
SARS-CoV-2 Spike Merusak Perbaikan Kerusakan DNA dan Menghambat Rekombinasi V(D)J In Vitro. Ini adalah potensi untuk kanker dan banyak penyakit lainnya. Studi asli | Studi bahasa Indonesia
(Otopsi) Kematian Mendadak Akibat Miokarditis (penyakit jantung) Setelah Vaksinasi BNT162b2 mRNA (Pfizer) COVID-19 di Korea: Laporan Kasus Berfokus pada Temuan Histopatologi. Studi asli | Studi bahasa Indonesia
Vaksin Astra Zeneca dan J&J: Bisakah vaksin COVID-19 tertentu membuat orang lebih rentan terhadap virus AIDS? Studi asli | Studi bahasa Indonesia
Data resmi FDA: 86% Anak-anak mengalami Reaksi Merugikan terhadap Vaksin Pfizer Covid-19 dalam Uji Klinis. Dokumen FDA (Halaman 25)
Para ilmuwan telah menemukan bahwa vaksin Pfizer membuat perubahan yang luas pada seluruh sistem kekebalan tubuh. Tidak ada yang tahu seberapa parah konsekuensi jangka panjangnya. Vaksin ini bahkan mengubah respon imun terhadap bakteri, jamur dan tumor. Studi
Vaksin Pfizer dapat menghasilkan DNA yang masuk ke dalam inti sel. Konsekuensi jangka panjang yang berpotensi sangat berbahaya dari hal ini belum diketahui, masalah terbesar adalah bahwa tidak ada studi toksisitas genomik yang dilakukan untuk vaksin mRNA dan tidak boleh digunakan sampai studi tersebut diselesaikan dan diverifikasi.
“Our results indicate a fast up-take of BNT162b2 into human liver cell line Huh7, leading to changes in LINE-1 expression and distribution. We also show that BNT162b2 mRNA is reverse transcribed intracellularly into DNA in as fast as 6 h upon BNT162b2 exposure.” Studi https://www.mdpi.com/1467-3045/44/3/73/htm
Pemerintah Indonesia melalui Kominfo bahkan telah menerbitkan sebuah “cek fakta” yang mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin terjadi dan menyebutnya sebagai hoax. Ini telah terbukti salah dan juga merupakan bukti bahwa tidak ada pengujian toksisitas genom yang dilakukan sebelum menyuntikkan populasi massal dengan teknologi genetik eksperimental ini. Klaim palsu dari Kominfo dilakukan tanpa dasar atau verifikasi dan ini adalah disinformasi yang disebarkan oleh pemerintah.
“Modifikasi genetik hanya bisa terjadi jika memasukkan DNA asing ke dalam inti sel manusia, dan vaksin sama sekali tidak melakukan itu. Jadi tidak ada vaksin yang bisa mengubah DNA manusia” https://www.kominfo.go.id/content/detail/30935/vaksin-covid-19-berbasis-mrna-bisa-rusak-dna-manusia-itu-hoaks/0/berita_satker
Komponen nanopartikel lipid platform mRNA-LNP yang digunakan dalam studi vaksin pra klinis sangat menyebabkan inflamasi: Studi
Menurut penuturan resmi, vaksin tinggal di otot lengan, tidak menyebar ke seluruh tubuh. Pada kenyataannya, vaksin mempengaruhi semua organ. Kami telah menemukan dokumen dari Pfizer dan AstraZeneca yang menunjukkan bagaimana setiap organ utama terpengaruh. Ini adalah penjelasan yang mungkin untuk tingginya jumlah penyakit serius dan kematian akibat vaksin. Dokumen Pfizer | Dokumen AstraZeneca
Myocarditis Cases Reported After mRNA-Based COVID-19 Vaccination in the US From December 2020 to August 2021. Studi
COVID-19 Vaccine-Induced Thrombotic Thrombocytopenia: A Case Series. Studi
KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) / VAERS
Data resmi pemerintah VAERS/KIPI dari AS, UE dan Inggris menunjukan puluhan ribu kematian dan jutaan efek samping serius.
Data pemerintah UE: https://www.adrreports.eu/en/
Data pemerintah AS: https://vaers.hhs.gov/
Data pemerintah Inggris: https://www.gov.uk/government/publications/coronavirus-covid-19-vaccine-adverse-reactions
Perlu dicatat bahwa berdasarkan beberapa perkiraan dan penelitian, hanya antara 10% dan 50% dari efek samping parah dan kematian yang dilaporkan ke database tersebut. Jadi jumlah sebenarnya dari efek samping parah dan kematian adalah 2 hingga 10 kali lebih besar.
Di sisi lain, hubungan kausal tidak terbukti untuk semua kasus di database ini. Tujuan dari database ini adalah untuk mendeteksi sinyal keamanan yang didasarkan pada frekuensi dan jumlah laporan untuk efek samping tertentu. Dalam kombinasi dengan kasus yang dikonfirmasi oleh otopsi dan data lainnya, tren keamanan dapat ditentukan.
Dalam kasus vaksin Covid19, sejumlah besar data dari berbagai negara dikombinasikan dengan banyak otopsi yang membuktikan penyebab kematian dari vaksin memberikan indikasi kuat bahwa ada masalah keamanan yang parah dengan vaksin ini.
Contoh data Inggris:
Contoh data UE:
Contoh data AS:
Selain database VAERS, sinyal keamanan penting dapat diperoleh dari data perusahaan asuransi. Beberapa perusahaan asuransi jiwa melaporkan peningkatan dramatis kematian pada paruh kedua tahun 2021 yang tidak terkait dengan Covid19. Satu-satunya penjelasan logis untuk ini adalah vaksin. Contoh OneAmerica:
“Kami melihat, saat ini, tingkat kematian tertinggi yang pernah kami lihat dalam sejarah bisnis ini – tidak hanya di OneAmerica,” kata CEO perusahaan Scott Davison selama konferensi pers online minggu ini. “Datanya konsisten di setiap pemain dalam bisnis itu.”
OneAmerica adalah perusahaan asuransi senilai $100 miliar yang memiliki kantor pusat di Indianapolis sejak 1877. Perusahaan ini memiliki sekitar 2.400 karyawan dan menjual asuransi jiwa, termasuk asuransi jiwa kelompok kepada pemberi kerja di seluruh negeri.
Davison mengatakan peningkatan kematian mewakili “jumlah besar, sangat besar,” dan bukan orang tua yang sekarat, tetapi “terutama orang usia kerja 18 hingga 64” yang merupakan karyawan perusahaan yang memiliki asuransi jiwa kelompok melalui OneAmerica.
“Dan apa yang kami lihat baru di kuartal ketiga, kami melihatnya berlanjut ke kuartal keempat, adalah tingkat kematian naik 40% dari sebelum pandemi,” katanya.
“Hanya untuk memberi Anda gambaran tentang seberapa buruk itu, bencana tiga sigma atau satu dalam 200 tahun akan meningkat 10% dibandingkan pra-pandemi,” katanya. “Jadi 40% tidak pernah terdengar.”
Artikel: Indiana life insurance CEO says deaths are up 40% among people ages 18-64
Contoh lain dari Jerman menunjukkan bagaimana data perusahaan asuransi membuktikan bahwa efek samping sangat kurang dilaporkan dalam database VAERS pemerintah:
Setelah menganalisis data dari lebih dari 10 juta individu, anggota dewan BKK ProVita Andreas Schöfbeck, selama periode 7,5 bulan yang dimulai pada awal 2021, 216.695 pemegang polis dari 10,9 juta dirawat karena efek samping vaksin. Ini dibandingkan dengan 244.576 laporan dari 61,4 juta yang dilaporkan oleh Institut Paul Ehrlich (database VAERS Jerman).
“Data yang tersedia untuk perusahaan kami memberi kami alasan untuk percaya bahwa ada sangat banyak kasus dugaan efek samping vaksinasi setelah mereka menerima vaksin [COVID-19].”
“Jika angka-angka ini diterapkan pada tahun secara keseluruhan dan untuk” seluruh penduduk Jerman, Schöfbeck memperkirakan, maka “mungkin 2,5-3 juta orang di Jerman menjalani perawatan medis karena efek samping vaksinasi setelah vaksinasi [COVID-19] .”
Schöfbeck menyimpulkan bahwa berdasarkan data mereka, “terdapat laporan yang signifikan tentang efek samping vaksinasi” di Jerman.
Surat lain yang dikirim oleh BKK (pdf) menunjukkan bahwa efek samping vaksinasi yang dilaporkan di seluruh Jerman setidaknya 10 kali lebih umum daripada yang dilaporkan oleh Institut Paul-Ehrlich, lapor surat kabar Nordkurier pada hari Rabu.
Artikel: German Health Insurer Reveals ‘Alarming’ Underreporting Of Vaccine Side-Effects
Beberapa contoh hasil otopsi yang membuktikan kematian akibat vaksin Covid19:
(Otopsi) Kematian Mendadak Akibat Miokarditis (penyakit jantung) Setelah Vaksinasi BNT162b2 mRNA (Pfizer) COVID-19 di Korea: Laporan Kasus Berfokus pada Temuan Histopatologi. Studi asli | Studi bahasa Indonesia
Autopsy Histopathologic Cardiac Findings in Two Adolescents Following the Second COVID-19 Vaccine Dose: Studi
Postmortem investigation of fatalities following vaccination with COVID-19 vaccines: Studi
Post-mortem findings in vaccine-induced thrombotic thrombocytopenia: Studi
Thrombotic Thrombocytopenia after ChAdOx1 nCov-19 Vaccination: Studi
Histological and immunohistochemical findings in a fatal case of thrombotic thrombocytopenia after ChAdOx1 nCov-19 vaccination: Studi
Database KIPI kami sendiri dengan 100+ Kasus parah dan fatal di Indonesia: tidak untuk umum
KIPI tidak dianggap serius di Indonesia.
Meskipun ada ratusan, mungkin ribuan kematian setelah vaksinasi, tidak ada penyelidikan yang tepat, misalnya otopsi, yang pernah dilakukan, kecuali kasus Trio Fauqi yang akan dijelaskan dalam bagian tertentu nanti dalam dokumen ini. Pernyataan Kemenkes tentang banyak kematian bahwa bukan disebabkan oleh vaksin tidak didasarkan pada fakta dan tidak didukung oleh bukti medis yang sesuai, sehingga tidak valid dan harus dianggap disebabkan oleh vaksin.
Dalam bagian di atas “Studi dan data ilmiah” ada banyak bukti tentang Trombositopenia akibat vaksin Covid19 termasuk kematian. Banyak anak di Indonesia telah meninggal beberapa hari setelah vaksinasi, terkonfirmasi akibat Trombositopenia, tapi Kemenkes dan instansi terkait mengklaim dalam setiap kasus bahwa penyebab kematian adalah DBD. Itu adalah terlalu banyak kebetulan dan harus dipertanyakan.
Permohonan kepada Kemenkes untuk memberikan bukti tentang klaim mereka bahwa penyebab kematian anak2 bukan vaksin tapi DBD telah ditolak. Permohonan itu dibuat secara khusus untuk memberikan data tanpa rincian pribadi para korban tetapi ditolak berdasarkan undang-undang kerahasiaan data pasien. Ini tidak masuk akal dan merupakan indikasi yang jelas bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Kalau ada bukti tentang diagnosis DBD sebagai penyebab kematian, bukti tersebut dapat diberikan tanpa data pribadi korban.
Permohonan: tidak untuk umum
Surat Penolakan: tidak untuk umum
Media Sosial
Media sosial dapat menjadi sumber data yang berguna untuk mendeteksi tren. Sementara posting individu atau bahkan kumpulan kecil posting mungkin berpotensi palsu atau menyesatkan, kumpulan besar data media sosial dari beragam demografi dan wilayah yang menunjukkan tren serupa dapat diterima sebagai valid.
Berikut kami sajikan data media sosial tentang efek samping vaksin yang memenuhi kriteria sebagai sumber valid untuk mendeteksi tren. Jelas bahwa jumlah kerusakan dan kematian setelah vaksinasi Covid19 sangat banyak.
Koleksi data KIPI dan posting media sosial dari Utah, AS: Dokumen
Grup Telegram Malaysia “My Body My Choice”: https://t.me/mbmc_malaysiacomunity21
Grup Telegram Malaysia AEFI: https://t.me/myaeficovid
Grup Telegram Indonesia “Investigasi KIPI”: https://t.me/investigasiKIPI
Akun Instagram “Jab Injuries” Indonesia: https://www.instagram.com/jab_injuries_indonesia/
https://www.instagram.com/jab_injuries_australia/
https://www.instagram.com/jab_injuries_austria/
https://www.instagram.com/jab_injuries_brasil_/
https://www.instagram.com/jab_injuries_canada/
https://www.instagram.com/jab_injuries_germany/
https://www.instagram.com/jab_injuries_singapore/
https://www.instagram.com/jab_injuries_uk/
https://www.instagram.com/jab_injuries_usa/
Kasus Tertentu: Otopsi Trio Fauqi
Press release Kemenkes: Hasil Autopsi Trio Menunjukkan Belum Cukup Bukti untuk Mengaitkan KIPI dengan Vaksin
Kesaksian keluarga korban: Video
Ekstrak dari pertemuan zoom dengan Dinkes: tidak untuk umum
Keluarga telah harus menandatangani perjanjian kerahasiaan: tidak untuk umum
Fakta bahwa Kemenkes dan semua pihak yang terlibat membuat pernyataan bahwa hasil otopsi tidak jelas dan mereka menolak memberikan laporan ke keluarga korban sangat mencurigakan dan menunjukkan adanya penyembunyian. Dugaan ini diperkuat dengan upaya Dinkes untuk merahasiakan semuanya. Laporan otopsi perlu segera dikeluarkan agar dapat diperiksa oleh ahli patologi independen, untuk mengevaluasi apakah ada indikasi kausalitas kematian dengan vaksin dan untuk memeriksa apakah otopsi dilakukan dengan cara yang sesuai.
Kasus tertentu: Ibu Hamil
Surat Edaran dari Menkes dari 2 Augustus 2021 tentang vaksinasi Ibu hamil termasuk vaksin Sinovac. Surat Edaran
Dalam dokumen resmi BPOM tertulis “Tidak ada data keamanan dan efikasi yang tersedia untuk penggunaan Vaksin SARS-COV-2 inaktif *(Sinovac)* pada wanita *hamil* dan pada wanita menyusui.” Dokumen BPOM (Halaman 3)
Rekomendasi dikeluarkan oleh POGi untuk Sinovac di bulan Juni 2021
Tapi uji ini dilakukan terhadap hewan
https://m.merdeka.com/peristiwa/setelah-diuji-ke-hewan-pogi-sebut-sinovac-aman-untuk-ibu-hamil.html
Rekomendasi juga diambil berdasarkan interim recommendation WHO.
Tapi interim recommendation tersebut juga dilakukan terhadap hewan.
“The available data on Sinovac-CoronaVac in pregnant women are insufficient to assess vaccine efficacy or vaccine-associated risks in pregnancy. However, developmental and reproductive toxicology (DART) studies in animals have not shown harmful effects in pregnancy.”
Lihat juga tidak prosedur uji cobanya, dan surat Kemenkes di atas belum keluar, tapi di bulan juni malah sudah meluncurkan program vaksinasi bumil:
Kasus tertentu: Penyintas Covid19 / Natural Immunity
Akal sehat dasar dan pengetahuan medis jelas bahwa setelah seseorang terinfeksi patogen seperti virus, tubuh mengembangkan kekebalan secara alami. Beginilah cara makhluk hidup berdampingan dan berevolusi bersama virus selama jutaan tahun. Dalam kasus Covid19, Kemenkes mengklaim bahwa kekebalan alami ini tidak mencukupi dan orang yang memiliki kekebalan alami tetap harus divaksinasi. Tidak ada data atau bukti untuk klaim ini yang diberikan oleh Kemenkes.
Permintaan kepada Kemenkes untuk memberikan bukti dan data ditolak, meski ada surat dukungan dari Ombudsman yang meminta informasi tersebut. (Surat Ombudsman)
Klaim dari Kemenkes dan vaksinasi penyintas Covid19 bertentangan dengan semua ilmu dan data serius tentang kekebalan alami untuk Covid19 dan bahkan bertentangan dengan pedoman resmi WHO, seperti yang akan kami tunjukkan.
Pada 10 Mei 2021, WHO mengeluarkan laporan ilmiah resmi “Covid-19 Natural immunity” dengan kesimpulannya:
- Bukti saat ini menunjukkan sebagian besar individu mengembangkan respons imun protektif yang kuat setelah infeksi alami.
- Bukti terbaru menunjukkan bahwa infeksi alami dapat memberikan perlindungan yang sama terhadap penyakit simtomatik seperti halnya vaksinasi”.
https://www.who.int/publications/i/item/WHO-2019-nCoV-Sci_Brief-Natural_immunity-2021.1
Sebuah studi besar dari CDC AS tentang gelombang Delta di AS telah menyimpulkan bahwa kekebalan alami beberapa kali lebih kuat daripada vaksinasi:
“Rates (of hospitalization) among vaccinated persons without a previous COVID-19 diagnosis were consistently higher than rates among unvaccinated persons with a history of COVID-19 (3.1-fold higher [95% CI = 2.6–3.7] in California and 1.9-fold higher [95% CI = 1.5–2.3] in New York)”
“hospitalization rates were 19.8-fold lower (95% CI = 18.2–21.4) among vaccinated persons without a previous COVID-19 diagnosis, 55.3-fold lower (95% CI = 27.3–83.3) among unvaccinated persons with a previous COVID-19 diagnosis”
“surviving a previous infection protects against a reinfection. Importantly, infection-derived protection was greater after the highly transmissible Delta variant became predominant, coinciding with early declining of vaccine-induced immunity in many persons”
Kesimpulan dari Studi Cleveland Clinic dengan 325,157 peserta:
“SARS-CoV-2 infection is highly protective against reinfection with the Delta variant. Immunity from prior infection lasts for at least 13 months. Countries facing vaccine shortages should consider delaying vaccinations for previously infected patients to increase access.”
Studi Cleveland Clinic: Duration of SARS-CoV-2 Natural Immunity and Protection against the Delta Variant: A Retrospective Cohort Study
Salah satu studi yang terbesar di dunia dengan 835.792 orang oleh Kementerian Kesehatan Israel menyimpulkan:
“Orang Israel yang telah divaksinasi beresiko 6,72 kali untuk terinfeksi daripada penyintas Covid.”
Studi Kementerian Kesehatan Israel: https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2021.08.24.21262415v1
Sinovac adalah vaksin yang paling umum digunakan di Indonesia. Sebuah penelitian besar di Thailand telah membandingkan efektivitas Sinovac dengan kekebalan alami:
“Strain Delta dinetralisir sama baiknya oleh serum Infeksi Alami 2020 dan 2021, (…) dan titer NAb CoronaVac bahkan masih lebih rendah (…) menjadi 2,82 (…) dan 3,85 (.. .) lipat lebih rendah dibandingkan, masing-masing, hampir pada batas deteksi.”
Dengan kata sederhana, imunitas dari Sinovac terhadap varian Delta sangat rendah (hampir tidak terdeteksi) dibandingkan dengan imunitas yang kuat dari infeksi alami, bahkan pada orang yang mengembangkan imunitas dari varian sebelumnya atau virus awal pada tahun 2020.
Studi Thailand: https://www.news-medical.net/news/20210719/Thai-study-looks-at-CoronaVac-vaccine-vs-natural-immunity-to-SARS-COV-2-variants.aspx
Pada 13 Agustus 2021, kami menemukan tweet (link ke tweet) dari ahli epidemiologi terkenal Dr. Pandu Riono dari Universitas Indonesia, yang juga merupakan bagian dari Satgas Covid sebagai penasehat, di mana ia menggunakan 55% efektivitas untuk vaksin dan 70% untuk kekebalan alami untuk perhitungan epidemiologinya. Jadi jelas bahwa dia tahu bahwa kekebalan alami lebih kuat daripada vaksinasi:
Informasi di atas hanyalah sebagian kecil dari data dan penelitian yang tersedia yang menunjukkan bahwa kekebalan alami jauh lebih efektif dan bertahan lebih lama (beberapa data menyarankan untuk bertahan seumur hidup) daripada vaksinasi. Daftar lengkap 150 studi tersedia: Tautan ke koleksi studi
Jelas bahwa orang yang sebelumnya telah terinfeksi Covid19 sangat terlindungi dan tidak perlu divaksinasi. Selain itu telah terbukti bahwa orang yang sudah memiliki kekebalan alami memiliki risiko lebih besar dari efek samping dan komplikasi dari vaksinasi.
“Studi terhadap petugas kesehatan ini menunjukkan bahwa COVID-19 sebelumnya dikaitkan dengan peningkatan risiko KIPI setelah vaksinasi”. Studi
Masalah serius lebih lanjut dari memvaksinasi orang dengan kekebalan alami telah ditemukan dalam laporan dari pemerintah Inggris:
Sudah jelas bahwa kekebalan alami jauh lebih baik dan memberikan perlindungan yang lebih kuat daripada vaksinasi, salah satu alasannya adalah kekebalan alami mencakup seluruh virus (antibodi N dan S), vaksin hanya sebagian kecil dari virus yang disebut “Spike protein” (antibodi S saja). Telah ditemukan bahwa setelah orang dengan kekebalan alami divaksinasi, tingkat antibodi N yang sangat efektif terhadap seluruh virus dan varian dengan spike protein bermutasi, sangat berkurang. Dapat dikatakan secara sederhana bahwa vaksinasi merusak kekebalan alami yang kuat dan efektif, yang membuat orang lebih rentan akibat vaksinasi terhadap varian Covid19 dengan protein Spike yang bermutasi seperti Delta dan Omicron. Dokumen pemerintah Inggris, Lihat Halaman 23
Selain bukti dan konsensus ilmiah yang melimpah, Kemenkes tidak jujur dan transparan tentang fakta penting lainnya: Siapa pun dapat menguji dan mengkonfirmasi kekebalan mereka dengan mudah jika mereka ingin memastikan. Rumah sakit dan laboratorium terkenal menawarkan tes “titer antibodi” untuk menentukan-mengkonfirmasi kekebalan. Kami menemukan contoh tes tersebut di Prodia dengan biaya Rp. 250.000,-
Layanan Prodia: https://prodia.co.id/en/produklayanan/pemeriksaanlaboratoriumdetails/anti-sars-cov-2-kuantitatif?Kategori=Imuno%20Serologi
Karena vaksinasi memiliki risiko lebih besar bagi orang yang sudah memiliki antibodi dan banyak orang yang memiliki antibodi setelah infeksi Covid19 tanpa gejala (OTG), titer antibodi setiap orang harus dilakukan sebelum vaksinasi dan vaksinasi tidak boleh dilakukan jika positif karena hanya ada risiko dan tidak ada manfaat.
EUA untuk vaksin Covid19 serta kebijakan vaksinasi dari Kemenkes sama sekali tidak mempertimbangkan hal ini, padahal seharusnya secara khusus mengecualikan penggunaan vaksin untuk orang dengan kekebalan alami.
Skala kegagalan ini sangat besar, mengingat pada Maret 2021, sebelum gelombang Delta, hampir separuh penduduk Jakarta sudah memiliki kekebalan dan selanjutnya terpapar risiko yang sama sekali tidak perlu dari vaksinasi:
“Hasilnya, ditemukan bahwa separuh penduduk Jakarta pernah terinfeksi virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19,” kata Anies dalam unggahannya di Instagram, Sabtu
44,5 persen sudah pernah terinfeksi virus corona. Artinya, dari 10,6 juta penduduk Jakarta, diperkirakan ada sekitar 4.717.000 orang di Ibu Kota pernah terpapar Covid-19.
“Ketika survei ini dilakukan, total kasus terkonfirmasi di Jakarta adalah 382.055. Ini berarti dari jumlah 4,7 juta estimasi warga yang pernah terinfeksi, hanya 8,1 persen yang terdeteksi,” kata Anies.
Artikel CNN Indonesia: Anies: Separuh Warga Jakarta Pernah Terinfeksi Virus Corona
Data tertentu: Kasus dan kematian menurun dari puncak Delta
Sering dikatakan bahwa vaksinasi penyebab mengapa kasus dan kematian cepat menurun dari gelombang Delta besar. Klaim ini digunakan sebagai “bukti” dari “keberhasilan” vaksinasi. Klaim ini sepenuhnya salah dan vaksinasi tidak memiliki kontribusi apa pun terhadap penurunan kasus yang cepat ini.
Satu-satunya penjelasan yang adalah bahwa kekebalan alami dari infeksi virus Covid-19 telah menyebabkan kasus penderita Covid-19 maupun kasus kematian Covid-19 menurun dan tetap stabil setelah gelombang Delta.
Angka resmi “kasus” tidaklah berarti sama sekali, hanya berdasarkan tes yang telah dilakukan. Kebanyakan orang tidak memiliki gejala (OTG) ataupun gejala yang sangat ringan dari Covid-19, sehingga tidak melakukan tes. Kita juga dapat melihat dari survei antibodi di Jakarta bahwa jumlah sebenarnya orang yang terinfeksi virus Covid-19 setidaknya 10 kali lebih besar dari jumlah kasus resminya.
Menkes secara terbuka mengakui bahwa setidaknya 80% herd immunity sudah ada:
Budi mencontohkan misalnya di Pulau Madura. Meskipun di sana vaksinasinya masih rendah, tetapi tren kasus juga masih turun.
“Sampai termasuk Madura yang vaksin baru 25%. Mungkin imunitas Tuhan sudah 60%, jadi sudah 85% punya imunitas,” tutur Budi.
Artikel Kumparan: https://kumparan.com/kumparannews/menkes-soal-corona-turun-80-populasi-sudah-imun-nanti-dibuktikan-survei-1wtcgE8MZO1
Hal ini juga telah dikonfirmasi oleh Kemenkes:
Juru Bicara Vaksinasi Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, dari hasil sero survei mengenai 86,6 persen populasi Indonesia yang memiliki titer antibodi tinggi.
Artikel Kompas.com: https://www.msn.com/id-id/berita/nasional/super-immunity-diduga-sudah-terbentuk-866-persen-populasi-indonesia-punya-antibodi/ar-AASw36N
Data tertentu: Booster
Seperti yang sudah ditunjukkan oleh data di bagian “Efektivitas Vaksin Covid19” booster tampaknya tidak memiliki efektivitas dan bahkan efek negatif, artinya membuat orang lebih rentan terhadap Covid19 bukannya berkurang.
Selain itu, beberapa penelitian mendukung data tersebut.
Booster Sinovac:
Membantah klaim dari produsen Sinovac bahwa booster mereka efektif melawan Omicron, sebuah studi dari University of Hong Kong menunjukkan bahwa booster ini tidak efektif. Hal ini menimbulkan 2 masalah:
– Kita harus mempertanyakan kredibilitas Sinovac, yang menimbulkan kekhawatiran tambahan karena tidak ada uji klinis yang pernah dilakukan untuk Sinovac untuk anak-anak di Indonesia dan EUA dari BPOM hanya didasarkan pada klaim “aman dan efektif” dari produsen Sinovac.
– BPOM telah mengeluarkan EUA untuk booster Sinovac yang tampaknya hanya berdasarkan klaim produsen tanpa pemeriksaan lebih lanjut dan saat ini masyarakat terpapar risiko KIPI dari booster ini tanpa manfaat.
“None of those vaccinated with CoronaVac met this protection threshold with the Omicron variant”
Booster Pfizer:
2 penelitian tambahan menemukan bahwa booster Pfizer tidak efektif, menimbulkan pertanyaan yang sama tentang keseriusan pemeriksaan BPOM sebelum menyetujui EUA booster Pfizer. Lagi-lagi berarti banyak orang yang terpapar risiko KIPI dari booster ini tanpa mendapat manfaat.
“Tingkat antibodi terhadap omicron 6,3 kali lipat lebih rendah jika dibandingkan dengan varian pertama dan 2,7 kali lipat lebih rendah jika dibandingkan dengan Delta,” katanya, dilansir Wartaekonomi.co.id.
Studi lain yang dilakukan dan telah disahkan Universitas Cape Town dan Universitas Stellenbosch melaporkan suntikan vaksin booster Pfizer gagal memblokir Omicron.
Studi yang diterbitkan di The Lancet tersebut menunjukkan kemampuan Omicron yang mampu menghindari kekebalan vaksin booster Pfizer.
“Itu menggarisbawahi perlunya terus memerangi pandemi dengan langkah-langkah selain vaksinasi, seperti menjaga jarak dan memakai masker,” kata peneliti studi tersebut.
Artikel termasuk referensi penelitian: https://sehat.wartaislam.web.id/2022/02/studi-booster-pfizer-tak-ampuh-hadapi.html
Sudah menjadi jelas bahwa efektivitas booster (= dosis ke-3) paling baik dipertanyakan dan tampaknya bahkan negatif, dan bahwa klaim dari produsen vaksin tentang efektivitas tampaknya palsu. Ini lebih lanjut dikonfirmasi dan diperkuatkan oleh sebuah studi baru dari Israel bahwa bahkan dosis ke-4 memiliki efek yang dapat diabaikan atau tidak ada sama sekali terhadap Omicron:
“Kami melihat peningkatan antibodi, lebih tinggi dari setelah dosis ketiga. Namun, kami melihat banyak di antara mereka yang terinfeksi Omicron ini merupakan mereka yang menerima dosis keempat,” kata seorang Kepala Peneliti dalam uji coba itu, Gili Regev-Yochay.
Ia menambahkan untuk sementara waktu, vaksin saat ini sangat baik melawan varian Alpha dan Delta.
“Namun untuk Omicron itu tidak cukup baik,” jelas Yochay.
Sementara itu, EMA (European Medicines Agency = BPOM Uni Eropa) pada pekan lalu memperingatkan potensi efek samping dari suntikan booster.
Karena vaksinasi berulang yang dilakukan dalam waktu singkat dapat mengakibatkan masalah pada respons imun.
Artikel termasuk referensi penelitian: Penelitian Sheba Medical Center Israel: 4 Suntikan Vaksin Covid-19 Tidak Cukup Efektif Lawan Omicron
Kami dapat menemukan beberapa indikasi bahwa booster menyebabkan risiko dan efek samping dan kematian yang lebih tinggi daripada “vaksinasi lengkap” sebelumnya dari 2 dosis.
Di Israel terjadi peningkatan besar-besaran dari kematian berlebih yang berhubungan langsung dengan peluncuran booster. Belum ada bukti sebab-akibat tetapi dalam konteks semua data lainnya, kemungkinan besar ada hubungan sebab akibat langsung.
Berdasarkan data KIPI/VAERS jelas bahwa setiap vaksinasi Covid19 menimbulkan risiko reaksi merugikan yang serius dan terkadang mematikan. Ditambah, data yang menunjukkan efektivitas NEGATIF vaksin Covid19 dan khususnya booster mengarah pada kesimpulan, didukung oleh penelitian ilmiah, bahwa vaksin tersebut menyebabkan pengurangan/kerusakan fungsi sistem kekebalan tubuh.
Seperti yang telah ditunjukkan di bagian “Efektivitas vaksin Covid19”, vaksin termasuk dosis booster semuanya telah dibuat untuk melawan protein lonjakan dari galur virus Wuhan yang asli. Virus itu sudah tidak ada lagi dan telah digantikan oleh varian yang sangat bermutasi, Delta dan sekarang kebanyakan Omicron yang memiliki mutasi paling banyak di Spike Protein. Inilah alasan utama mengapa vaksin, booster, dosis ke-4 atau berapapun jumlah suntikan tambahan tidak bisa efektif. Antibodi yang mereka hasilkan sama sekali tidak efektif melawan Omicron, tidak peduli seberapa tinggi tingkat antibodi setelah dosis tambahan. Mereka adalah antibodi yang tidak cocok. Fakta ini terlihat jelas dari data dan penelitian.
Nampak jelas bahwa tidak satu pun dari faktor-faktor tersebut tentang keamanan dan efektivitas telah dipertimbangkan oleh BPOM dan Kemenkes dalam persetujuan dan kebijakan booster.
Kontrak Vaksin
Kontrak antara produsen vaksin dan pemerintah bersifat rahasia negara. Pemerintah Indonesia menolak untuk menunjukkan kepada publik apa yang telah mereka tandatangani.
Antara kegilaan lain, pembuat vaksin dilindungi dari hampir semua tanggung jawab jika vaksin mereka tidak berfungsi atau menyebabkan efek samping yang serius.
Ini adalah kutipan dari kontrak Pfizer:
“Pembeli mengakui bahwa efek jangka panjang dan kemanjuran Vaksin saat ini tidak diketahui dan bahwa mungkin ada efek merugikan dari Vaksin yang saat ini tidak diketahui.”
Berdasarkan riset kami, kontrak tersebut identik untuk setiap negara, jadi meskipun pemerintah Indonesia merahasiakan semua kontrak, dapat diasumsikan dengan aman bahwa mereka telah menandatangani kontrak seperti ini dengan semua produsen vaksin.
Kontrak seperti itu menimbulkan risiko yang sangat besar bagi keamanan dan kualitas produk. Ketika produsen tidak bertanggung jawab atas konsekuensi apa pun dari penggunaan produk mereka, tidak mungkin menjamin keamanan dan kualitas. Pernyataan dan klaim tentang keamanan dan efektivitas oleh produsen tentu tidak dapat dipercaya tanpa pemeriksaan lengkap independen karena tidak didukung oleh jaminan apapun.
Kami telah mengumpulkan kontrak berikut yang diperoleh di berbagai negara melalui tuntutan hukum keterbukaan informasi publik:
Kontrak Pfizer (Albania) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Kontrak
__________
Kontrak Uni Eropa – AstraZeneca
Kontrak Dominican Republic – Pfizer
Kontrak US Military (DOD) – Pfizer
Kontrak Dominican Republic – Pfizer
Kegagalan untuk mengambil tindakan pencegahan
Pada 16 April 2020 di awal pandemi Covid19, sebuah artikel diterbitkan di European Scientist berjudul “Covid 19 and the elephant in the room” Oleh Dr. Aseem Malhotra yang merupakan ahli jantung di NHS, UK dan salah satu ahli jantung paling berpengaruh di Inggris. Dia memiliki beberapa data dan fakta penting untuk dibagikan:
– Data dari 2204 pasien pertama yang dirawat di 286 NHS ICU dengan COVID-19 mengungkapkan bahwa 72,7% diantaranya memiliki kelebihan berat badan atau obesitas
– “Pasien dengan diabetes tipe 2 dan sindrom metabolik mungkin memiliki risiko kematian hingga 10 kali lebih besar ketika mereka tertular COVID-19” dan setiap RS melakukan kontrol glukosa dan metabolik wajib dari pasien diabetes tipe 2 untuk menurunkan hasil buruk dari pasien Covid.
– perokok 14 kali lebih mungkin terkena penyakit parah setelah tertular COVID-19
Dr. Malhotra selanjutnya dikutip di berbagai media lain berdasarkan temuannya:
“Yang mengejutkan adalah melihat semua data, tidak dapat disangkal bahwa penyakit metabolik adalah penyebab utama kematian akibat COVID-19,” kata Dr Malhotra.
Dia mengatakan menurunkan konsumsi gula dan makanan olahan akan memiliki manfaat “dan hanya dalam hitungan minggu” dapat mengurangi efek morbiditas dan kematian akibat COVID-19.
Kemenkes sudah jelas mengakui bahwa risiko penyakit parah dan kematian akibat Covid19 didasarkan pada penyakit penyerta tertentu yang terkait dengan penyakit metabolik seperti obesitas, diabetes, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dll.
Telah dibuktikan oleh semua ilmu pengetahuan bahwa penyakit/komorbid tersebut yang secara umum didefinisikan sebagai “sindrom metabolik” adalah akibat dari pilihan pola hidup yang buruk, terutama konsumsi gula, makanan olahan dan minuman manis. Selain itu, sejak awal pandemi para peneliti telah menerbitkan penelitian dan memperingatkan tentang korelasi langsung antara penyakit tersebut dan pola hidup yang buruk sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas Covid19, terutama pada orang yang tidak sangat tua. Ini adalah salah satu contoh penelitian dari Universitas Islam Bandung:
(Translated) Konsumsi Karbohidrat dan gula, terutama dalam jumlah tinggi, akan menaikkan gula darah. Kadar gula yang tinggi ini berperan dalam kerentanan terhadap infeksi COVID-19, dan juga perjalanan penyakit menjadi lebih parah bahkan fatal. Virus COVID-19 membutuhkan glukosa untuk berkembang biak sehingga hiperglikemia akan membantu prosesnya. Glukosa yang tinggi juga memudahkan pembentukan membran hialin di jaringan paru-paru dan menyebabkan gagal napas, yang merupakan penyebab utama kematian pada pasien COVID-19. Pada akhirnya, tubuh akan membuat timbunan kelebihan gula dalam bentuk lemak tubuh, yang akan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Hal ini akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi COVID-19.
Studi Universitas Islam Bandung: https://jurnal.ugm.ac.id/rpcpe/article/view/58952/30956
Dalam studi yang sama, para peneliti menyebutkan solusi nyata yang sebenarnya untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas Covid19:
(Translated) Pandemi COVID-19 seharusnya menyadarkan kita bahwa saat ini kita juga sedang menghadapi pandemi penyakit tidak menular. Upaya pengendalian penyakit tidak menular tersebut perlu ditingkatkan, terutama pada upaya pencegahan. Kita harus lebih mewaspadai asupan gula yang berlebihan karena gula darah mempengaruhi patofisiologi COVID-19. Momentum mengatasi wabah COVID-19 ini bisa kita manfaatkan sekaligus untuk mengedukasi masyarakat agar mengubah gaya hidup, terutama pola makan kita. Mengurangi konsumsi karbohidrat dan gula tentu tidak mudah dilakukan, terutama karena faktor sosial dan budaya. Kita terbiasa mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok dan karbohidrat lain seperti roti, mie, kentang, atau singkong. Oleh karena itu, semua pihak harus bekerja keras untuk menciptakan lingkungan yang mendukung gaya hidup baru ini. Pemerintah harus mengupayakan berbagai kebijakan yang berdampak pada pengurangan konsumsi gula dan karbohidrat. Kita harus mempertimbangkan beberapa strategi seperti pembatasan gula pada minuman kemasan, edukasi ekstensif di berbagai media massa, dan mendorong program untuk menggeser industri pertanian dari produksi beras ke sayuran atau bahkan peternakan.
Oleh karena itu, sebagai peneliti dan dokter primer, kita juga harus berjuang mencari pendekatan yang efektif untuk mengubah perilaku masyarakat menjadi lebih sehat. Semoga kita semua bisa terbebas dari kecanduan gula dan berhasil mengatasi pandemi COVID-19 dan obesitas.
Ternyata penyakit/komorbiditas yang sama yang menyebabkan hasil buruk dari infeksi Covid19 juga mengurangi efektivitas vaksin, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian berikut bersama dengan konfirmasi hasil penelitian di atas:
“Pasien dengan obesitas dan gangguan metabolisme terkait memiliki peningkatan risiko terinfeksi SARS-CoV-2. Selain itu, karena respons imun yang terganggu di paru-paru, respons sistemik hiper-inflamasi, peningkatan risiko trombosis dan peningkatan viral load, pasien dengan obesitas dan gangguan metabolisme terkait juga mengembangkan komplikasi parah pada infeksi SARS-CoV-2, yang mengarah ke peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas pada COVID-19”
dan
“Obesitas dikaitkan dengan berkurangnya respons memori dari sistem imun yang mengarah pada berkurangnya perlindungan jangka panjang terhadap infeksi ulang. Oleh karena itu, meskipun ada hasil vaksinasi COVID-19 yang menjanjikan, pasien dengan obesitas mungkin masih rentan untuk terinfeksi ulang dengan SARS-CoV-2 dalam jangka panjang. Ini dapat memengaruhi herd immunity dan berdampak pada eliminasi SARS-CoV-2. Kesimpulannya, untuk membatasi dampak COVID-19 lebih lanjut pada pasien dengan obesitas dan gangguan metabolisme terkait, dan masyarakat, efektifitas vaksin COVID-19 jangka panjang harus dipantau secara ketat pada pasien ini. “
Menurut suatu penelitian di UI, tingkat obesitas di Indonesia adalah 28%.
Mengenai Diabetes, kita juga memiliki masalah tambahan: “Prevalensi diabetes mellitus yang tidak terdiagnosis adalah 4,1% dari total 5,6% populasi diabetes di Indonesia.”
Jadi kita memiliki sejumlah besar orang “obesitas” dan sebagian besar diabetes tidak terdiagnosis di Indonesia.
Sejak awal pandemi diketahui bahwa kadar gula darah saat masuk rumah sakit berkorelasi langsung dengan angka kematian. Semakin tinggi gula darah, semakin tinggi angka kematiannya. Juga telah terbukti sejak lama bahwa pengelolaan (penurunan) gula darah sebagai bagian dari protokol perawatan rumah sakit sangat mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Hal ini berlaku untuk penderita diabetes, namun menurut data dari Universitas Indonesia, jumlah penderita diabetes yang tidak terdiagnosis jauh lebih tinggi daripada penderita diabetes yang terdiagnosis. Peningkatan mortalitas juga mempengaruhi pasien non-diabetes yang mengalami hiperglikemia (peningkatan gula darah yang berada di bawah tingkat yang dianggap diabetes). Ini berarti gula darah HARUS diperiksa dan dikelola untuk SEMUA pasien saat masuk rumah sakit.
Juga jelas bahwa peningkatan gula darah adalah salah satu penyebab utama mengapa orang kemudian mendapatkan gejala parah dari Covid 19. Sebagian besar kelompok orang menjadi sangat sakit parah kemungkinan mengalami gula darah yang tinggi / hiperglikemia yang menyebabkan serangan Covid 19 menjadi lebih parah di dalam tubuh, hingga mereka harus masuk ke rumah sakit.
Berdasarkan penelitian kami, pemeriksaan dan pengelolaan gula darah ini tidak dilakukan secara rutin di Indonesia, kata “gula darah” sama sekali tidak disebutkan dalam protokol pengobatan resmi Covid19 dari Kemenkes. Protocol Pengobatan Kemenkes
Kesimpulan:
Pemerintah telah gagal untuk mengambil langkah-langkah yang berarti untuk morbiditas dan mortalitas dari Covid19. Kita telah melihat bagaimana mobilisasi massal seluruh elemen di tanah air digulirkan untuk vaksinasi, menunjukkan dengan jelas bahwa tindakan drastis dan masif dapat dilakukan. Tidak ada yang dilakukan untuk mendidik penduduk tentang risiko mematikan dari pilihan pola hidup yang buruk. Tidak ada yang dilakukan untuk mengurangi konsumsi gula, makanan olahan, minuman manis dan rokok yang menjadi penyebab utama kematian akibat Covid19. Parahnya, tindakan paling mendasar dan sederhana untuk mengurangi kematian akibat Covid19 di rumah sakit bahkan tidak dilakukan.
Sebaliknya, yang dilakukan pemerintah hanyalah vaksinasi secara membabi buta bagi semua orang, meski terbukti vaksin yang secara umum diragukan efektivitasnya, paling tidak efektif bagi mereka yang paling berisiko terkena Covid19.
Analisis resiko-manfaat
Semua vaksin Covid19 adalah obat eksperimental dan vaksinasi saat ini adalah bagian dari uji coba / eksperimen medis. Analisis manfaat resiko wajib dalam peraturan BPOM EUA (poin 4) merupakan cerminan dari konvensi global tentang eksperimen medis dan prinsip etika kedokteran dasar umum bahwa setiap intervensi medis harus memiliki lebih banyak manfaat daripada risiko.
Definisi:
Analisis risiko-manfaat adalah perbandingan risiko suatu situasi dengan manfaat yang terkait. Untuk penelitian yang melibatkan lebih dari risiko kerugian minimal pada subjek, peneliti harus memastikan bahwa jumlah manfaat jelas melebihi jumlah risiko. Hanya jika ada rasio risiko-manfaat yang menguntungkan, penelitian dapat dianggap etis. Deklarasi Helsinki, yang diadopsi oleh Asosiasi Medis Dunia, menyatakan bahwa penelitian biomedis tidak dapat dilakukan secara sah kecuali jika kepentingan tujuan sebanding dengan risiko subjek. Deklarasi Helsinki dan pernyataan CONSORT menekankan pentingnya rasio risiko-manfaat yang menguntungkan.
Dari Encyclopaedia of Public Health: https://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007/978-1-4020-5614-7_3033
Alasan kami menyediakan data tentang risiko dari Covid19 sebagai bagian pertama dari dokumen ini adalah karena ini adalah bagian paling dasar dari analisis manfaat risiko, khususnya tentang manfaat. Dalam kasus obat, vaksin atau prosedur medis, itu hanya dapat bermanfaat jika penyakit yang mendasarinya menimbulkan ancaman bagi kesehatan atau kehidupan. Selain itu tingkat ancaman yang ditimbulkan oleh penyakit menentukan tingkat risiko yang dapat diterima dalam tindakan pengobatan atau pencegahan.
Kami telah menunjukkan bahwa ancaman dari Covid19 umumnya rendah dan sangat bervariasi tergantung pada kelompok risiko dari yang tidak ada hingga yang mengancam jiwa. Faktor risiko sudah diketahui dengan baik dan risiko setiap orang dapat ditentukan dengan menggunakan kriteria yang telah ditetapkan.
Kami juga telah menetapkan bahwa vaksin Covid19 tidak memberikan manfaat apa pun bagi kesehatan masyarakat karena tidak mencegah penularan dan membebani rumah sakit. Fakta ini sangat mengurangi potensi manfaat vaksin secara keseluruhan dan hanya menyisakan manfaat potensial bagi individu.
Akibatnya, manfaat potensial dari vaksin hanya dapat dipertimbangkan untuk individu yang termasuk dalam kelompok risiko yang diketahui, seperti usia tua dan/atau dengan penyakit penyerta tertentu. Tidak ada manfaat yang mungkin bagi kelompok yang tidak berisiko, seperti anak-anak normal, dewasa muda normal dan orang-orang yang sudah memiliki kekebalan dari infeksi Covid19 sebelumnya.
Dalam kasus vaksin Covid19, tingkat ancaman dari Covid19 yang dikombinasikan dengan efektivitas vaksin menentukan bagian “manfaat” dari analisis risiko-manfaat.
Seperti yang telah kami tunjukkan dalam dokumen ini, efektivitas vaksin termasuk booster sangat dipertanyakan, bahkan negatif menurut beberapa data dan secara umum harus dianggap rendah. Dikombinasikan dengan penilaian ancaman Covid19 di atas, tingkat efektivitas ini berarti bahwa manfaat keseluruhan untuk vaksin Covid19 bervariasi tergantung pada kelompok risiko, dari potensi manfaat negatif hingga kecil.
Akibatnya, tidak ada toleransi terhadap risiko apa pun dari vaksinasi untuk kelompok orang tertentu karena tidak ada manfaat dari vaksinasi, untuk kelompok yang berisiko dari Covid19 toleransi terhadap risiko dari vaksinasi rendah karena potensi manfaatnya rendah.
Kami juga telah menunjukkan bahwa risiko dari vaksinasi Covid19 harus dianggap tinggi hingga ekstrem. Efek samping jangka pendek sering terjadi, parah dan banyak kematian. Keamanan jangka panjang benar-benar belum teruji dalam uji klinis tetapi bahaya yang jelas dan parah telah ditunjukkan oleh hampir 1000 penelitian. Selain itu tidak ada jaminan dan tidak ada tanggung jawab dari produsen yang dikombinasikan dengan manajemen reaksi yang merugikan di Indonesia yang dapat dianggap sangat tidak sesuai dan tidak memadai.
Kami dapat mengatakan dengan yakin bahwa berdasarkan semua fakta ini, dikombinasikan dengan penyembunyian semua data yang disengaja dan ilegal oleh Kemenkes dan BPOM, bahwa analisis risiko-manfaat positif secara umum tidak mungkin sama sekali. Hanya MUNGKIN ada hasil positif untuk kelompok orang dengan risiko tertinggi.
Beberapa peneliti telah melakukan analisis manfaat resiko lengkap berdasarkan semua data yang tersedia dari AS dan Inggris dengan hasil yang serupa; mereka hanya dapat menemukan kemungkinan hasil positif untuk orang yang berusia di atas 80 tahun:
(Translated) Ketika data kematian COVID-19 berdasarkan status vaksinasi dari awal 2022 dianalisis untuk memperkirakan tingkat perlindungan dari kematian yang diberikan kepada populasi yang divaksinasi, perlindungan dari kematian COVID-19 jauh dari risiko kematian akibat vaksin, untuk siapa pun di bawah 50 tahun.
Menurut analisis data yang disajikan dalam makalah ini, semua kelompok usia di bawah 50 tahun berisiko lebih besar (dari 5 hingga 51 kali lebih tinggi) kematian akibat vaksin dalam bulan yang sama atau berikutnya setelah menerima inokulasi COVID-19 daripada mereka. berisiko kematian COVID-19 dalam waktu 60 hari setelah tes positif jika tidak divaksinasi. Semua kelompok usia memiliki kurang dari dari 1% manfaat pengurangan risiko absolut kematian COVID-19 dari menerima inokulasi COVID-19. Anak-anak di bawah usia 18 tahun memiliki kemungkinan kematian 51 kali lebih tinggi setelah inokulasi COVID daripada risiko kematian akibat COVID jika tidak divaksinasi.
Vaksinasi pada kelompok usia di bawah 18 tahun lebih cenderung meningkatkan jumlah kematian COVID pada kelompok usia ini daripada mencegahnya. Orang dewasa muda berusia 18 hingga 29 tahun memiliki risiko kematian 8 kali lebih tinggi dari inokulasi daripada dari COVID jika tidak diinokulasi. Analisis ini konservatif karena mengabaikan peningkatan risiko akibat inokulasi dari kematian di kemudian hari dan masa hidup yang lebih pendek dari trombosis, miokarditis, Bell’s palsy, dan cedera akibat vaksin lainnya yang diketahui dan mengabaikan 90% atau lebih penurunan risiko kematian COVID-19 jika dini, pengobatan yang efektif diberikan kepada semua orang berisiko tinggi yang bergejala.
Permohonan berdasar UU KIP data KIPI dan analisis risiko-manfaat sesuai poin 4 aturan EUA kepada BPOM ditolak dengan alasan hak kekayaan intelektual dan potensi penyalahgunaan. Lebih buruk lagi, pemohon adalah seorang dokter yang tentunya berhak, bahkan berkewajiban, untuk memahami resiko dari obat yang diberikannya kepada pasiennya:
Permohonan: Dokumen
Surat penolakan BPOM: Dokumen
Permohonan terpisah untuk analisis risiko-manfaat oleh kami ditolak secara terkoordinasi oleh semua instansi. Kronologi:
Permohonan ke BPOM dan jawaban dari BPOM yang hanya berisi lembar fakta tanpa data risiko-manfaat: tidak untuk umum
Keberatan ke BPOM: tidak untuk umum
Balasan dari BPOM hanya berisi lembar fakta yang sama: tidak untuk umum
Permohonan/eskalasi ke Komisi Informasi: tidak untuk umum
Penolakan dari Komisi Informasi: tidak untuk umum
Berdasarkan semua temuan kami, termasuk penolakan Kemenkes dan BPOM untuk memberikan analisis risiko-manfaat, kami menyimpulkan dengan kecurigaan kuat bahwa studi semacam itu tidak pernah dilakukan, atau dilakukan sengaja dengan cara yang cacat, yang jelas-jelas melanggar peraturan BPOM EUA. Dan Kemenkes melanggar etika kedokteran dasar serta konvensi internasional tentang uji medis.
Selain itu kejahatan berat dilakukan terhadap setiap orang yang divaksin dengan vaksin ini berdasarkan KUHP Pasal 351, berdasarkan fakta bahwa tidak ada informasi yang diberikan kepada mereka tentang risiko & manfaat vaksinasi ini serta tidak memberi tahu orang-orang tentang hak mereka untuk menolaknya. (Informed Consent)
Agar EUA untuk semua vaksin Covid19 valid, dan kebijakan vaksinasi dari Kemenkes & Presiden sah, studi, data, dan bukti harus disediakan untuk menjawab / menyangkal semua poin dan kekhawatiran dalam dokumen ini. Tanpa itu, vaksinasi adalah bahaya yang ekstrim, sembrono dan disengaja untuk seluruh populasi dan harus segera dihentikan untuk mencegah lebih banyak kerusakan, bahaya dan kejahatan.