Virus covid ini memang dibentuk seperti alat untuk menjajah negara-negara yang sistem kesehatannya belum maksimal. Plus ada kesenjangan literasi di sebagian rakyatnya, terutama yang ada di pinggiran peradaban. Kaum marjinal dan kawanannya. Rentan untuk dimanipulasi memakai rumus 24/7. Apalagi dibombardir di setiap layar hape, billboard, booklet taxi, majalah, koran, iklan tivi dan lain-lain. Perut mereka sebagai turbin generator pengolah daya pikiran dalam kondisi lemah.
Apa-apa dibatasi. Dagang, usaha depan rumah, hajat hidup rakyat dikudeta oleh suatu sistem bernama Tiga M, Memaksa rakyat, Menakut-nakutinya, dan Memetik hasilnya di LHKPN. Canggih gak tuh skema si mata picek jelek kurang ajar? Orang sudah susah makin blangsak, kaum menengah di-guillotine pakai lockdown kemasan rupa-rupa. Agar kewajiban negara di UU karantina sumir terlaksana. Ujungnya, saat rakyat sudah dalam posisi setengah kojor, akibat dibatasi tadi. Ketika mendengar ada informasi seperti LHKPN seperti kemarin, reaksinya dipastikan akan menëng bae lah jon, ora urus, palingan bengong doangan. Persis seperti ayam nelen karet gelang.
Wajar dong, mereka super duper pusing lah. Anak dirumah tetiba dapat jadwal masuk sekolah tatap muka. Ini biaya. Bini yang kemarin kerja, sekarang ngendon di rumah bantu dagang depan rumah hasil pesangon enam digit. Biaya juga bukan? Iyelah.
Bapake yang baru aja kena PHK dan nyoba nge-grab motor, malah kena langkah skak ster, dihunus langsung sekaligus sepuluh hingga belasan item kebutuhan yang “harus”. Tidak bisa tidak. Ujungnya disiram lagi sama belasan grup media tayangkan info tentang LHKPN pejabat yang anehnya justru melesat naik? Ya gak usah orang pinter yang prediksi om. Sudah pasti mereka Bodo Amat.
Alias gak muat lagi syaraf otaknya mencerna tsunami peristiwa yang sebenarnya pantas disebut by design. Rezim yang mengendalikan narasi di era post modernisme. Cuap-cuaplah kau di sosmed, baku serang kalimat lah kalian disitu, kami tak anggap penting. Makanlah semua umpan divide dari dapur kami, pola singgungan agama -yang bagi umat islam suci- terus saja difabrikasi. Tanpa pernah disentuh oleh pelbagai UU. Adalah pola Orwellian yang banyak dipraktekan oleh rezim simbolisasi seperti sekarang.
Bukankah simbol lebih utama buat seorang badut? Lihatlah tatkala badut injakkan kaki di panggung gemerlap sana. Make up-nya saja sudah memberi tanda, saya penghibur maka tertawalah kalian. Hidung saya merah, rambut saya megar seperti gulali 5000-an di pinggir Kali Angke. Seragam saya warna-warni ceria agar kalian gembira. Iya itu dunia badut. Sosok penghibur batinnya penuh derita.
Coba kita sambungkan dengan Plandemic buatan anak turunan Mao Tse Tung. Kalau Amerika kaya dari teknologinya, maka kami juga bisa kaya dengan replika KW1 yang mendunia. Jika Eropa menepuk dada sebagai bangsa berbudaya, maka negeri kami bangga dengan rasa patuh tiada tara. Pada sosok agung, Jinping. Yang dengan siasat jitu mampu membuat drama kolosal di Wuhan, tempat asal bencana virus hasil rekayasa genetika.
Sekilas sejarah WuhanFLU
Di pertengahan bulan desember 2019, dilansir berita domestik China yang menyebutkan adanya ancaman serangan virus yang ditengarai lebih ganas dari virus SARS. Aplikasi media sosial milik china weibo melansir kutipan serupa yang berasal dari postingan netizen lokal china.
Salah satunya adalah mendiang Doktor Li Wenliang (12 Oktober 1986 – 6 Februari 2020), penduduk asli Bei Zhen, Liaoning, dan merupakan seorang dokter spesialis mata di Rumah Sakit Pusat Wuhan. Dialah yang pertama kali mengungkapkan epidemi ke dunia luar dalam wabah coronavirus baru pada 2019, dan saat itu disebut “Epidemi Sentinel.”
Pada 3 Januari 2020, Polisi Distrik mengeluarkan peringatan sekaligus tekanan pada Dokter baik hati tersebut dan meminta pernyataan untuk mengakui telah “memposting pernyataan palsu di Internet”. Tekanan khas ala sistem otoriter di negara komunis biadab laknatu.
Sementara seperti dilansir berbagai mainstream mass media, pada pukul 21:30 tanggal 6 Februari 2020, jantung dokter pemberani tadi berhenti berdetak karena memburuknya infeksi pneumonia coronavirus baru. Dunia segera berkabung. Freedom of speech digilas oleh sistem totaliter pemerintahan Tirai Besi.
Sebenarnya kalau ditelaah lebih jauh, ini menjadi semacam blunder false flag information buat rezim komunis china, dimana sebelumnya dengan terukur dan terarah media corong pemerintah berulang-ulang menyatakan bahwa wabah coronavirus ini berasal dari pasar hewan liar di Kota Wuhan dan hanya menyerang orang berusia antara 45 – 59 tahun. Awal penularan juga dikatakan hanya dari kelelawar ke manusia. Dan wabah virus disebutkan dapat dikendalikan.
Namun fakta yang sekarang justru tidak demikian, data terakhir menyebutkan ada bayi yang baru lahir dan hanya membutuhkan waktu 30 jam saja untuk positif terinfeksi nCoV-2019. Belum lagi adanya temuan beberapa ahli tentang laboratorium biohazard yang disinyalir jadi penyebab -dengan tingkat keamanan level 4- di Wuhan. Banyak ahli juga mengatakan “kebocoran” terjadi mulai dari sini.
Dan pertanyaan yang segera saja timbul di benak publik dunia adalah: “Apa benar virus corona merupakan wabah dari kebiasaan warga china sebagai etnis pemakan segala? Atau ini adalah sebuah perang senjata kimia dengan peluru virus mutan yang diduga “sengaja dibocorkan” dari sebuah lab biohazard?
Dalam dunia dengan teknologi informasi seperti sekarang, informasi bagai sebuah peluru yang bagi sebagian negara digunakan sebagai faktor kunci pelemah musuh. Opini dibentuk agar mudah menguasai publik.
Pada prakteknya rezim komunis china atau CCP berupaya untuk merekayasa setiap informasi yang keluar dari negerinya. Walau dinilai mustahil akibat terbukanya era informasi seperti sekarang, namun mereka tetap melakukan kontrol yang ketat. Padahal di awal fragmen tadi, betapa seluruh syaraf takut manusia dibuat rontok oleh tayangan dari Kantor Berita pemerintah Komunis Cina.
Betapa tidak? Ada seorang lelaki berjalan menuju ke rumah sakit tetiba ambruk, mati. Disusul adegan antrean pasien di bangsal rumah sakit di Wuhan yang berjejalan sampai ke parkiran. Kematian jadi kidung wajib di tiap sudut kota Wuhan medio Desember 2019 – Februari 2020. Bahkan setelahnya, secara sistematis seluruh kota berpenduduk 11 juta jiwa “dikunci” oleh otoritas setempat. Lockdown.
Dunia menahan napas, semua gemetar. Ada sejenis benda berukuran nanometer yang mampu dengan mudah membunuh seorang manusia yang dibekali dengan berbagai sistem imun tubuh sempurna. Racun mematikan itu adalah bukan varian yang alpha, beta, gamma ataupun delta. Racun paling ampuh itu adalah “KETAKUTAN”. Yang serempak disemburkan berbagai kanal media di seluruh dunia.
Big pharma butuh pasar. Pasar butuh pembeli, pembeli akan diantarkan oleh media. Media butuh biaya untuk bayar gaji. Perusahaan farmasi butuh wahana untuk menancapkan “ketakutan” soal virus. Simbiosis mutualisme ini menemukan takdirnya. Dan awet sampai sekarang. Pelahap hidangan beracun tadi malah makin lahap, pembuat racun bagi DNA manusia jejingkrakan senang bukan kepalang.
Dagangan gue laku woiiy. Serang alam bawah sadar mereka dengan glorifikasi kematian. Hujani akal sehat mereka lewat tangan pemerintah yang kebanyakan sudah terkooptasi dengan hutang. Terakhir, harus ada yang jaga sistem yang sedang berjalan, tentunya disitulah peran aparat. Sempurna.
Kedaulatan rakyat dikudeta resmi oleh sebuah dramaturgi kolosal antek dajjal. Gates, Bilderberg, Rothschild, Rockefeller merupakan segelintir elite yang saat ini merasa ruang dan waktu adalah milik mereka. Kamu mau sehat? Vaksin. Mau berpergian? Vaksin. Mau kerja? Vaksin. Mau ibadah? Vaksin. Mau ambil uang milikmu sendiri? Vaksin. Padahal Kode Nuremberg saja mereka tidak mampu menerjemahkannya. Yang dipatuhi oleh hampir seluruh dunia pasca Perang Dunia kedua. Manusia, tidak boleh menjadi kelinci percobaan. Atas nama keuntungan finansial. Suwek Pada Lo.
Bagaimana LUCID Bisa Berjalan Dengan Sempurna? Mereka harus punya alasan logis untuk melawan barisan kalimat Innassholati Wanusuki Wamahyaya Wamamati Lillahirabbil Alamin. Mereka jerat pemimpin lemah gampang digertak dengan secuil kemewahan hasil rente hutang. Mereka semburkan khasiat vaksin sebelum akhirnya terjerembab sendiri oleh perlawanan ilmuwan yang justru menyatakan bahwa pasca divaksin, tidak menjamin tidak tertular virus. Virusnya bisa bermutasi loh, artinya dibuat di lab dong? Kayak HAARP, SARS, MERS dan sebagainya.
Jadi, menurut nalar sehat saya, Ini adalah soal kepatuhan. Patuh terhadap tatanan dunia baru ala Samiri alias dajjal laknatullah. Mbok ya mikir deh, dibalik itu semua. Mall, destinasi wisata, moda transportasi publik seperti kereta api, bus umum, busway dan sebagainya sudah normal lagi tuh. Desak-desakan ala ikan pindang gitu kan?
Nanti kalau ada asap putih panjang di langit kita selama beberapa hari plus aba-ana dari menkosaurus, kurva penularan akan jadi topik hangat lagi di televisi. Kita digiring menuju materialisme hedonistik akut. Satu sisi hak-hak kita dibatasi, sisi lainnya kewajiban kita malah makin diperberat. Sudah dipaksa diam dirumah, penghasilan pasti menurun, kebutuhan malah meningkat tajam -ekses anak tidak sekolah- ditambah keharusan macam-macam.
Diluar panjangnya sambat saya pada paragraf diatas. Saya tetap sadar, bahwa korban Plandemic ini biar apapun teorinya tetaplah ada, dan nyata. Saya ucapkan bela sungkawa untuk seluruh korban yang telah tiada.
Tulisan ini terbit, tiada lain dan tak bermaksud menggurui pembaca semua. Intinya, mari kita jaga kesadaran, akal sehat terpenting akidah Islam kita. Dengan itu semua, apapun rekayasa dajjal dan bala tentaranya, Insya Allah pertolongan Allah SWT sudah dekat.
Wabillahi Taufiq Wal Hidayah Wassalamu alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
Selamat datang di New World Order.
LH – Penulis. Tinggal di Bumi Allah SWT.