Jawabannya: Benar. Hampir 4.000 wanita di Inggris mengalami gangguan menstruasi dan pendarahan hebat pasca vaksin Covid.
Pernyataan ini berdasarkan laporan yang dilansir oleh Connor Boyd Assistant Health Editor For Mailonline pada bulan Juni 2021. Telah terjadi permasalahan gangguan menstruasi hingga pendarahan hebat daripada umumnya pada wanita kisaran usia 30-49 tahun.
Badan yang mengatur obat dan kesehatan Inggris (MHRA) mengatakan telah menerima 2.374 laporan terkait AstraZeneca jab hingga 17 Mei 2021 kemarin. Sementara itu, sebanyak 1.158 laporan mengalami masalah yang sama setelah menerima Pfizer jab. Sebanyak 66 laporan lainnya terkait dengan Moderna.
Kemungkinan besar jumlah mereka lebih banyak daripada laporan yang dikemukakan, begitu klaim para ahli.
Laporan yang terbilang tinggi itu cukup menimbulkan pertanyaan: kenapa perubahan akan adanya gangguan menstruasi dan sebagainya tidak masuk dalam daftar resiko efek samping vaksin yang dikeluarkan oleh MHRA?
Sanggahan yang dilontarkan oleh regulator kebijakan adalah: bahwa gejalanya tidak terjadi lebih sering pada wanita yang baru divaksinasi daripada populasi umum. Mereka berjanji akan adanya ‘pengawasan ketat’ perihal masalah ini.
Sebagaimana pernyataan Chief Executive MHRA, dr. June “Bersama para ahli independen dari Komisi Pengobatan Manusia dan anggota Kelompok Penasihat Ahli Kesehatan Wanita, kami telah meninjau laporan adanya gangguan menstruasi dan pendarahan vagina yang tidak terduga, diduga sebagai reaksi merugikan terhadap vaksinasi.”
“Bukti saat ini tidak menunjukkan peningkatan resiko setelah vaksinasi dengan tiga vaksin Covid di Inggris.”
Sekitar seperempat wanita usia subur mengalami ketidakteraturan menstruasi; mencakup pendarahan yang lebih berat-ringan daripada umumnya dan menstruasi yang tertunda. Biasanya terjadi akibat perubahan hormonal dan stres, juga karena interaksi kondisi medis dengan obat-obatan tertentu.
Ternyata masalah serupa juga telah terjadi di Amerika Serikat, akan tetapi para ilmuwan menyatakan masih terlalu dini untuk mengkonfirmasi hal tersebut.
Seperti biasa, tidak akan pernah ada produk yang bisa menerima hal negatif seputar kontroversi dampak vaksin. GAVI melakukan pembelaan bahwa tidak hanya vaksin Covid yang menyebabkan permasalahan menstruasi dan pendarahan, vaksin yang lain pun juga turut berandil.
Lewat bungkus kosakata scientific evidence, GAVI membantah “Sama sekali tidak ada bukti ilmiah atau kebenaran di balik kekhawatiran ini bahwa vaksin entah bagaimana mengganggu kesuburan, baik pada pria maupun wanita”.
Pernyataan antropologis Dr. Kathryn Clancy menambahkan sedikit pembelaan senada GAVI, lewat cuitannya ia mengatakan, “Sel-sel kekebalan bekerja dalam menciptakan dan kemudian menghancurkan lapisan rahim yang terjadi selama menstruasi; vaksin menghasilkan molekul inflamasi yang disebut sitokin dan interferon yang merangsang sel-sel kekebalan, termasuk yang berpotensi di dalam rahim.”
“Ini mungkin menyebabkan lapisan meluruh lebih cepat atau lebih intensif dari biasanya, menyebabkan perubahan pada siklus menstruasi.” jelasnya lagi.
Layanan Kesehatan Inggris (NHS) juga memperingatkan efek sakit kepala, mual, otot pegal, dan nyeri pada bagian tubuh yang telah disuntik vaksin. Memperingatkan resiko kecil adanya pembekuan darah pasca vaksin AstraZeneca.
Pembelaan datang dari Dr. Pat O’Brien. Wakil presiden Royal College of Obstretricians and Gynaecologists, mengatakan banyak wanita yang memang mengalami perubahan sementara dalam menstruasi mereka, karena saat ini wanita kisaran umur 20-an dan 30-an dan mendapatkan vaksin Covid.
Ia justru mengarahkan bagaimana permasalahan menstruasi dan pendarahan hebat yang dialami wanita pasca vaksin adalah sebuah kebetulan.
“Jadi tampaknya tak terelakkan bahwa pada beberapa wanita kedua peristiwa ini akan terjadi secara kebetulan. Namun, jika perubahan ini tetap ada, atau Anda mengalami pendarahan vagina baru setelah menopause, Anda harus menemui dokter Anda.”
Banyaknya laporan yang sebenarnya tidak diungkapkan kepada publik. Begitu pandangan para ahli menyikapi permasalahan menstruasi dan pendarahan hebat pasca vaksin Covid.
Ketiga vaksin yang digunakan di Inggris telah dianggap aman untuk wanita. Namun bagi mereka yang berusia di bawah 40 tahun ditawarkan alternatif dari AstraZeneca, karena memiliki resiko yang lebih kecil terjadinya pembekuan darah.
Bahkan Komite Bersama untuk Vaksinasi dan Imunisasi (JCVI) menyarankan bahwa ‘lebih baik’ bagi wanita hamil di Inggris untuk ditawarkan Pfizer dan Moderna jika stok tersedia. Beralasan bahwa penggunaan vaksin di AS dan Israel bagaimana wanita hamil diberikan suntikan tanpa masalah keamanan.
Seakan menutup mata adanya masalah akibat vaksin, justru mengarahkan kepada produk vaksin lainnya. Dengan adanya kontrakdiksi ini, semakin rentan tercium adanya persaingan bisnis, bukan untuk mencari kesehatan alami yang sebenarnya tidak diperlukannya vaksin berkali-kali.
Pertanyaannya, seberapa aman yang terjadi di Israel? Ketika lewat artikel kami, mengungkapkan the ugly truth bahwa Israel justru menjadi negara dengan tingkat kematian tertinggi di dunia pasca vaksinasi.
Oke.
Kembali ke negeri sendiri. Bagaimana dengan data dan transparansi KIPI terhadap para korban? Apakah kita tidak memiiki hak menerima data secara terbuka? Sebaliknya, publik justru sering dihadapkan pada pemaksaan (compulsory) vaksinasi. Apakah sikap tersebut mengandung keadilan dan kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana bunyi dari landasan negara ini, Pancasila?
Sampai hari ini, kami tidak dapat menemukan satu pun bukti laporan pernyataan otoritas terkait. Semua yang mengalami efek samping hingga kematian pasca vaksinasi, umumnya diklaim adanya komorbid (penyakit bawaan).
Berikut Jurnal terkait permasalahan gangguan menstruasi dan vaksid Covid via bmj.com.