Pernikahan di Indonesia diatur oleh Pasal 28B Undang-Undang Dasar 1945 Ayat (1), yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Hak konstitusional ini, seperti halnya hak konstitusional lainnya, tidak dapat dibatasi atau dikenakan syarat apapun kecuali oleh Undang-Undang.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 Pasal 4 memberikan ketentuan terkait pendaftaran kehendak nikah, mencantumkan syarat-syarat seperti surat pengantar nikah, foto kopi akta kelahiran, dan persetujuan kedua calon pengantin. Penting untuk dicatat bahwa Pasal 4 tersebut mencerminkan isi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Namun, secara tegas, Pasal 28B UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyebutkan adanya persyaratan kesehatan sebagai bagian dari hak konstitusional untuk membentuk keluarga. Oleh karena itu, segala persyaratan tambahan yang tidak termasuk dalam Peraturan Menteri Agama RI No. 20 Tahun 2019 dan yang tidak mencerminkan persyaratan UU Perkawinan harus dianggap ilegal.
Peraturan Menteri Agama RI No. 20 Tahun 2019 lengkap, syarat yang sah ada di Pasal 4 Ayat (1) halaman 5: Link
Isi lengkap Pasal 4 Ayat (1):
Menambahkan persyaratan kesehatan sebagai syarat pernikahan dapat dianggap sebagai pembatasan yang tidak sesuai dengan semangat konstitusi. Hak konstitusional untuk menikah seharusnya tidak terkait dengan kondisi kesehatan seseorang. Oleh karena itu, persyaratan kesehatan tambahan di luar yang telah diatur dalam peraturan yang berlaku dapat dianggap melampaui kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang dan konstitusi.
Contoh pelanggaran hukum dan konstitusi. Puskesmas secara hukum tidak terlibat dalam proses perkawinan dan syarat seperti ini adalah ilegal:
Kejahatan tersebut adalah hasil dari Peraturan Gubernur DKI Jakarta yang sangat ilegal dan inkonstitusional, tim investigasi.org sedang mempersiapkan upaya hukum (Somasi, Uji Materiil di Mahkamah Agung). “Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan telah menetapkan Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 185 tahun 2017 tentang konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin.” (Artikel Kompas “Sertifikat Kawin, Syarat Wajib Warga DKI Jakarta Langsungkan Pernikahan“)
Dengan demikian, perlu diawasi dan dievaluasi secara kritis setiap upaya untuk menambahkan persyaratan kesehatan tambahan dalam pernikahan, dan perlu dipastikan bahwa semua persyaratan tersebut sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Perkawinan yang berlaku.
Setiap orang yang mengalami syarat kesehatan yang tidak sah untuk menikah, dapat mengajukan pengaduan secara tertulis kepada Kementerian Agama (atau melalui aplikasi resmi pemerintah lapor.go.id), bila tidak dijawab memuaskan dapat diajukan pengaduan kepada Ombudsman (juga melalui lapor.go.id atau WhatsApp resmi Ombudsman 0821 3737 3737). Dan tentu saja dapat diajukan gugatan terhadap instansi yang menolak perkawinan dengan alasan syarat kesehatan yang tidak sah.
Tim investigasi.org sudah pernah berhasil untuk menghentikan persyaratan sertifikat dan aplikasi kesehatan ELSIMIL untuk menikah. Rincian tentang ELSIMIL dapat dibaca di artikel berikut: Kegilaan Terbaru: Persyaratan Aplikasi Kesehatan untuk Pernikahan!!!
Surat resmi Menteri Sekretaris Negara/Presiden yang menyatakan persyaratan ELSIMIL tidak berlaku:
Dasar perkawinan adalah agama, baik dari segi hak maupun kewajiban, dan pernikahan adalah salah satu hal yang paling sakral di hampir semua agama.
Misalnya dalam Islam terdapat 5 rukun nikah yang telah disepakati para ulama dan wajib dipenuhi agar pernikahan dinyatakan sah. Berikut adalah 5 rukun nikah dalam Islam:
1. Terdapat calon pengantin laki-laki dan perempuan yang tidak terhalang secara syar’i untuk menikah
2. Calon pengantin perempuan harus memiliki wali nikah
3. Pernikahan dihadiri dua orang saksi laki-laki untuk menyaksikan sah tidaknya pernikahan
4. Diucapkannya ijab dari pihak wali pengantin perempuan atau yang mewakilinya
5. Diucapkannya kabul dari pengantin laki-laki atau yang mewakilinya
Tidak ada agama yang memiliki persyaratan tes/sertifikat kesehatan atau berbagi data kesehatan pribadi dengan pemerintah. Menyatakan persyaratan tambahan untuk menikah bahkan bisa dianggap sebagai penistaan.
Selain masalah persyaratan kesehatan dalam pernikahan, perlu diperhatikan bahwa pemerintah tampaknya semakin mengarah pada upaya untuk mengontrol segala aspek kehidupan rakyat, dengan dalih utama kesehatan. Kesehatan adalah hak konstitusional setiap individu, bukan kewajiban, perlu diacatat bahwa kesehatan bersifat pribadi dan seharusnya bukan menjadi ranah pemberlakuan kewajiban.
Kebebasan dan kedaulatan rakyat yang diakui secara konstitusional melarang campur tangan pemerintah dalam aspek-aspek dasar kehidupan, termasuk kesehatan. Pemerintah seharusnya hanya memberikan layanan kesehatan yang aman dan berkualitas tinggi serta saran dan pedoman mengenai cara hidup sehat, tanpa menjadikannya sebagai kewajiban yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara.
Konstitusi dan Pancasila sebagai hukum tertinggi seharusnya dijunjung tinggi oleh pemerintah. Langkah-langkah yang terus melanggar prinsip-prinsip tersebut dapat dianggap sebagai tindakan yang melebihi kewenangan yang diberikan oleh konstitusi. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menghentikan kebijakan-kebijakan yang melanggar hak konstitusional rakyat dan memastikan bahwa kebebasan dan kedaulatan rakyat tetap terlindungi.