Di awal tahun 2023 ini, pihak legislatif (DPR – Dewan Perwakilan Rakyat) bersama pihak eksekutif (Pemerintah) sedang dalam proses mengganti semua Undang-Undang (UU) terkait kesehatan melalui Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Kesehatan (RUU OLK). Penggantian ini sudah banyak dibahas dan dikritik di media massa, dan sangat banyak organisasi profesi terkait kesehatan yang menolak RUU ini.
Dokumen RUU Omnibus Kesehatan lengkap dalam bentuk Word: https://docs.google.com/document/d/1OLgM8y764dTme7lxL0QF78gOugkdJUpM/edit?usp=sharing&ouid=113255136221430379168&rtpof=true&sd=true
Surat dari berbagai organisasi profesi kesehatan, termasuk IDI, kepada Presiden: https://drive.google.com/file/d/1liW6Si2sMRxNmU60rUvMA6H1alxuqRyr/view?usp=sharing
Namun, semua kritik yang ada sejauh ini hanya ditujukan terhadap proses pembuatan RUU yang tidak transparan dan partisipatif, utamanya karena RUU ini akan melemahkan posisi, kompetensi dan kedudukan organisasi profesi kesehatan seperti IDI. Kami telah membaca dokumen RUU secara lengkap dan menemukan bahaya ekstrim bagi kesehatan, kebebasan, dan kehidupan seluruh warga negara Indonesia, suatu masalah yang sama sekali tidak dibahas satu pun organisasi kesehatan atau Hak Asasi Manusia (HAM).
Oleh itu, sangat diperlukan analisis berbasis HAM dan sumber segala UU di Indonesia, yaitu Konstitusi:
Pada halaman 9, BAB II Hak dan Kewajiban, Pasal 4 RUU ini menjamin hak dasar setiap orang untuk kebebasan tubuh, kebebasan kesehatan, informed consent dan rahasia data pribadi dan data kesehatan:
Pasal 4
(1) Setiap Orang berhak:
a. hidup sehat secara fisik, mental, spiritual, dan sosial;
b. memperoleh Pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau agar dapat mewujudkan derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya;
c. memperoleh akses atas Sumber Daya Kesehatan;
d. secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri Pelayanan Kesehatan yang diperlukan bagi dirinya;
e. mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat Kesehatan;
f. menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap;
g. atas kerahasiaan informasi kesehatan pribadinya;
…
Namun, selanjutnya dalam (2) pada halaman 10, semua hak dasar kesehatan yang merupakan HAM ternyata dapat dicabut kapan saja:
(2) Hak secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dikecualikan untuk Pelayanan Kesehatan yang diperlukan dalam rangka penanggulangan KLB atau Wabah.
(3) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f tidak berlaku pada:
b. keadaan KLB atau Wabah;
(4) Kerahasiaan informasi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak berlaku dalam hal:
b. penanggulangan KLB/Wabah/bencana;
d. upaya pelindungan terhadap bahaya ancaman keselamatan orang lain secara individual atau masyarakat;
h. kepentingan lain…
(5) Ketentuan mengenai hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan kata lain:
Jika pemerintah mendeklarasikan KLB (Kejadian Luar Biasa) atau Wabah, yang dalam pengalaman sejauh ini ternyata bisa dilakukan tanpa bukti, data, fakta atau akuntabilitas yang memadai, tindakan medis apapun (termasuk bedah, obat, dan vaksin eksperimental tanpa bukti keamanan dan efektivitas) dapat dipaksakan bagi setiap orang, tanpa informasi apapun tentang resiko. Semua data pribadi dan kesehatan setiap orang juga ternyata dapat dipublikasikan begitu saja.
Contoh: 2 “kasus” Flu Burung (H5N1) ditemukan di luar negeri, Kemenkes menyatakan KLB di Indonesia tanpa adanya satupun kasus atau indikasi bahwa ada bahaya apapun (Artikel Kompas: Kemenkes Terbitkan SE Waspada KLB Flu Burung, Ini 9 Poin Instruksinya). Jika RUU Omnibus Law Kesehatan disahkan, menyatakan KLB seperti itu akan memungkinkan pemerintah untuk mencabut HAM, melakukan lockdown, tes dan vaksinasi paksa dst.
Kalau seperti itu, hampir bisa dipastikan bahwa tujuan pencabutan hak dasar medis dan HAM jelas adalah pengaruh dari perusahaan farmasi, terutama obat dan vaksin eksperimental.
Bagaimana dengan hak “memperoleh Pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu…” sesuai Pasal 4 (1) b.? Hak ini juga diatur dalam Pasal 5 UU Kesehatan (36/2009) yang berlaku saat ini. Tetapi, semua vaksin eksperimental COVID-19 dan obat eksperimental COVID-19 seperti Remdesivir, yang tidak satu pun memiliki bukti efektivitas dan keamanan, bahkan sebaliknya banyak bukti bahaya ekstrim, dinyatakan “aman dan efektif” oleh BPOM (tanpa pernah melakukan uji atau penelitian). Produk-produk perusahaan farmasi ini hanya dinyatakan “aman dan efektif” berdasarkan pernyataan produsen vaksin/obat. Hak “memperoleh Pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu…” tidak berarti selama pemerintah bisa menyatakan zat apapun “aman dan efektif” tanpa akuntabilitas, serta tidak adanya perlindungan masyarakat dari (paksaan) obat & vaksin yang tidak aman.
Pasal 4 di atas sudah cukup untuk melihat bahwa tujuan RUU ini adalah menciptakan kediktatoran kesehatan, selain melanggar HAM secara berat hingga harus ditolak. Di samping itu, kami telah menemukan banyak tambahan kejahatan terhadap manusia:
Pasal 5 (halaman 11):
(1) Setiap Orang berkewajiban:
c. berperilaku hidup sehat dan menghormati hak Kesehatan orang lain;
d. mematuhi kegiatan penanggulangan KLB atau Wabah;
e. menjaga dan meningkatkan derajat Kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya; dan
f. mengikuti program jaminan kesehatan dalam sistem jaminan sosial nasional.
Semua ketentuan itu tidak jelas dan dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk membenarkan hampir semua tindakan paksa sewenang-wenang dan tanpa akuntabilitas.
Contoh: Vaksin Covid-19 terbukti tidak mencegah infeksi dan penularan, tidak ada dampak pada orang lain jika seorang tidak divaksin. Pemerintah bahkan mengakui fakta ini:
(Januari 2021, Republika) Judul: “Vaksinasi Bukan untuk Mencegah Penularan Covid-19”
“Jadi vaksin itu mencegah kita menjadi sakit, bukan mencegah kita menjadi tertular,” kata Nadia yang juga Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (Dirjen P2P) Kemenkes, Jumat (29/1).
https://www.republika.co.id/berita/qnorqe328/vaksinasi-bukan-untuk-mencegah-penularan-covid19
(December 2021, Republika) Judul: “Satgas: Vaksinasi Dosis Lengkap tak Bisa Cegah Penularan Kasus”
(Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito) “Terlepas dari adanya varian omicron, saat ini terdapat beberapa data yang menunjukkan negara dengan cakupan vaksinasi dosis lengkap nyatanya masih dapat mengalami kenaikan kasus,” kata Wiku saat konferensi pers, dikutip pada Rabu (22/12)…
“Namun, vaksin tidak dapat mencegah penularan. Penularan hanya dapat dicegah dengan disiplin prokes dan kebijakan pelaku perjalanan internasional yang ketat,” jelasnya.
Meskipun demikian, vaksin Covid-19 diwajibkan dan kewajibannya selalu dibenarkan dengan “menghormati hak kesehatan orang lain” oleh pemerintah. Asas menghormati hak kesehatan orang lain tersebut juga sempat tercantum dalam website Kemenkumham yang kemudian halaman tersebut sudah dihapus karena faktanya vaksin tidak mencegah penularan, sehingga tidak ada dasar hukum yang dibenarkan untuk mewajibkan vaksinasi dengan asas “menghormati hak kesehatan orang lain”.
Sistem peradilan juga gagal (dikendalikan oleh pemerintah?); dalam putusan No. 48 P/HUM/2021 Mahkamah Agung telah menyatakan kewajiban vaksin Covid-19 sah berdasarkan kewajiban “menghormati hak kesehatan orang lain” meskipun vaksin Covid-19 terbukti tidak mencegah penularan sama sekali dan tidak berdampak pada orang lain. Pasal 5 dalam RUU ini bersama sistem peradilan yang tidak kompeten dan/atau korup membuka pintu bagi pemerintah untuk membenarkan segala pelanggaran HAM dengan alasan “menghormati hak Kesehatan orang lain”.
Pasal 120 (Halaman 58):
(1) Dalam hal terdapat kejadian ikutan pasca pemberian obat pencegahan masal dan imunisasi dalam penanggulangan penyakit menular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 pembiayaan yang timbul menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan/atau sumber pembiayaan lain.
(2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. audit kausalitas;
b. pelayanan kesehatan; dan
c. santunan terhadap korban;
Ketentuan ini terlihat baik mengingat dalam kasus COVID-19, pemerintah sampai saat ini menolak untuk membuat peraturan tentang santunan/kompensasi korban vaksin, Menkes belum pernah mengeluarkan peraturan tentang santunan korban vaksin yang diatur dalam Perpres vaksin. (Perpres 14/2021, Pasal 15B “Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, bentuk, dan nilai besaran untuk kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Kesehatan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.”).
AKAN TETAPI huruf a. “audit kausalitas” sangat bermasalah. Dalam kasus vaksin Covid-19, semua “audit kausalitas” dilakukan oleh Komnas KIPI yang menyatakan semua kejadian sebagai kebetulan dan menolak memberikan bukti atau data apapun. Banyak anak meninggal setelah vaksin Covid-19, Komnas KIPI menyatakannya sebagai DBD. Seorang laki-laki sehat berusia 22 tahun (Trio Fauqi) telah meninggal beberapa jam setelah divaksin, Komnas KIPI menyatakannya sebagai kebetulan; otopsi dilakukan dan mereka menolak untuk memberikan laporan otopsi secara lengkap. Ketentuan dalam pasal ini memungkinkan pemerintah untuk menyangkal dan menyembunyikan semua penyakit dan kematian yang disebabkan oleh intervensi medis obat/vaksin paksa, kemudian menyatakan semuanya sebagai kebetulan. Pasal ini merupakan pelanggaran HAM berat, harus ada ketentuan pemeriksaan oleh badan yang independen dari pemerintah, Komnas KIPI terbukti tidak mampu dan dikendalikan oleh pemerintah.
Pasal 383 (Halaman 196):
(1) Penanganan terhadap populasi berisiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 huruf e dilakukan untuk mencegah dan mengurangi risiko penyebaran penyakit.
(2) Penanganan terhadap populasi berisiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemberian kekebalan;
b. pemberian profilaksis; dan/atau
c. pembatasan kegiatan sosial kemasyarakatan.
– Ketentuan “pemberian kekebalan” adalah omong kosong yang luar bisa. Dari sisi ilmu kesehatan, kekebalan tidak bisa diberikan, kekebalan adalah fungsi tubuh yang diberikan oleh tubuh manusia itu sendiri, oleh sistem imun. Fungsi dan tingkat efektivitas sistem imun bergantung pada gaya hidup, kondisi tubuh, dan nutrisi yang kita konsumsi. Seseorang yang makan junk food setiap hari akan memiliki sistem imun yang sangat buruk, seseorang yang makan makanan sehat dan berolahraga setiap hari akan memiliki sistem imun yang kuat. Konsep “pemberian kekebalan” berasal dari industri farmasi yang ingin menjual produknya. Ketentuan “pemberian kekebalan” dalam UU sangat tidak masuk akal dan membuka pintu untuk memaksa bahan kimia seperti obat dan vaksin kepada rakyat daripada pola hidup sehat yang memberikan kekebalan secara alami dan tanpa efek samping.
– Huruf c “pembatasan kegiatan sosial kemasyarakatan” adalah implementasi kediktatoran. RUU ini akan membatalkan UU 6/2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan dimana ada ketentuan bahwa segala tindakan pembatasan masyarakat harus berdasarkan data dan bukti (Pasal 49 (2) “Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.”). Dalam RUU ini tidak ada ketentuan apapun tentang kriteria untuk melakukan pembatasan sosial, pemerintah akan bebas untuk melakukan lockdown dan pembatasan apapun berdasarkan pernyataan saja, tanpa data atau bukti apapun.
Kesimpulan:
Semua kewajiban dan pembatasan terkait COVID-19 seperti kewajiban vaksinasi, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dst. melanggar hukum yang berlaku saat ini. Pemerintah berhasil mengatasi semua upaya hukum, termasuk dari kami, dengan (diduga) mengendalikan pengadilan. Akan tetapi mereka sadar bahwa mereka melanggar hukum dan HAM; RUU Omnibus Law Kesehatan adalah upaya rezim mengesahkan kediktatoran kesehatan dan mengontrol tubuh setiap warga negara.
RUU Omnibus Law Kesehatan akan mencabut segala hak, HAM dan demokrasi berdasarkan KLB atau wabah, tanpa penjelasan tentang kriteria-kriteria KLB atau Wabah. Cukup satu orang sakit, lalu dilakukan “tes” tanpa standar atau dasar apapun, lalu dinyatakan “positif” secara sewenang-wenang, sehingga pemerintah bisa menyatakan KLB dan semua HAM akan dicabut.
Soal IDI dan lembaga terkait, kami mendukung wacana pencabutan monopolinya karena mereka telah membohongi publik soal COVID-19, vaksin sehingga merugikan publik dan mengurangi bahkan meniadakan kepercayaan terhadap para dokter. Mereka korup dan menyebarkan informasi yang terbukti salah. IDI adalah lembaga yang lebih banyak bertindak untuk kepentingan industri farmasi, WEF dan elit global. Mereka mengkhianati amanah warga negara Indonesia dan para dokter jujur. Selain itu, IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) juga telah terbukti mempublikasikan dan menyebarkan data palsu tentang kematian anak, di mana mereka pun sudah mengakui bahwa data mereka palsu.
Semua data dan bukti ilmiah tentang penipuan Covid-19 dan vaksinnya dapat ditemukan di ebook gratis kami: https://investigasi.org/baru-gratis-ebook-berisi-data-lengkap-covid-19-dan-vaksinnya/
Kontak kami:
Whatsapp: 081294055112
Email: investigasidotorg@gmail.com