Kami telah mengungkap banyak kejahatan terkait vaksin Covid19 tetapi apa yang dilakukan pada ibu hamil mungkin yang terburuk. Pada artikel ini kami akan menunjukkan detailnya. Isi artikel ini dikutip dari bahan bukti yang telah diajukan ke majelis hakim dalam gugatan terhadap Presiden dan Menkes untuk menghentikan vaksinasi wajib Covid19.
Surat Edaran Menkes dari 2 Agustus 2021 adalah dasar untuk memulai vaksinasi Ibu hamil dan termasuk vaksin Sinovac. (Link Surat Edaran)
Namun dalam dokumen resmi BPOM tertulis “Tidak ada data keamanan dan efikasi yang tersedia untuk penggunaan Vaksin SARS-COV-2 inaktif *(Sinovac)* pada wanita *hamil* dan pada wanita menyusui.” Link dokumen Dokumen BPOM, Halaman 3)
Rekomendasi dikeluarkan oleh POGi untuk Sinovac di bulan Juni 2021:
Tapi uji ini dilakukan terhadap hewan:
https://m.merdeka.com/peristiwa/setelah-diuji-ke-hewan-pogi-sebut-sinovac-aman-untuk-ibu-hamil.html
Rekomendasi juga diambil berdasarkan interim recommendation WHO. Tapi interim recommendation tersebut juga dilakukan terhadap hewan:
“Data yang tersedia tentang Sinovac-CoronaVac pada wanita hamil tidak cukup untuk menilai kemanjuran vaksin atau risiko terkait vaksin dalam kehamilan. Namun, studi toksikologi perkembangan dan reproduksi (DART) pada hewan belum menunjukkan efek berbahaya pada kehamilan.”
(“The available data on Sinovac-CoronaVac in pregnant women are insufficient to assess vaccine efficacy or vaccine-associated risks in pregnancy. However, developmental and reproductive toxicology (DART) studies in animals have not shown harmful effects in pregnancy.”)
Dalam investigasi kami yang lebih dalam, kami telah menemukan data uji klinik Pfizer yang menjadi dasar untuk menyatakan vaksin Pfizer aman untuk ibu hamil oleh pemerintah Australia.
Satu-satunya uji klinik yang dilakukan adalah dengan 42 tikus, tidak pernah dengan manusia.
Kutipan dari dokumen internal antara Pfizer dan Pemerintah Australia (https://www.tga.gov.au/sites/default/files/foi-2389-01.pdf):
“Data untuk mendukung keamanan dalam kehamilan tidak memadai pada tahap ini. Oleh karena itu, vaksin ini tidak direkomendasikan untuk digunakan selama kehamilan.” (Halaman 20)
“Pertanyaan berikut belum terjawab: (…) Data vaksin pada ibu hamil dan ibu menyusui” (Halaman 23)
(“The data to support safety in pregnancy are inadequate at this stage. This vaccine is therefore not recommended for use during pregnancy.” (Page 20)
“The following questions have not yet been addressed: (…) Vaccine data in pregnant women and lactating mothers” (Page 23))
Tampaknya Pfizer cukup jujur dalam hal ini, tetapi pemerintah Australia (sama dengan pemerintah Indonesia) mengubah “tidak ada data” dan “tidak direkomendasikan untuk digunakan selama kehamilan” menjadi “aman dan efektif” dalam kebijakan dan informasi/narasi kepada publik.
Dalam uji coba pada tikus, tingkat cacat lahir yang tinggi dan hilangnya kesuburan diamati pada tikus yang divaksinasi:
Cacat lahir:
Sumber jurnal: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0890623821000800?via%3Dihub
Penjelasan: Hasil jumlah janin yang diamati memiliki supernumerary lumbar ribs pada kelompok kontrol/plasebo adalah 3/3 (2.1). Tetapi hasil jumlah janin yang memiliki supernumerary lumbar ribs pada kelompok yang divaksinasi adalah 6/12 (8,3). Oleh karena itu rata-rata, tingkat kejadiannya adalah 295% lebih tinggi pada kelompok yang divaksinasi.
Supernumerary lumbar ribs juga disebut tulang rusuk aksesori adalah varian tulang rusuk tambahan yang tidak umum yang muncul paling sering dari vertebra serviks atau lumbar.
Jadi apa yang ditemukan penelitian ini adalah bukti pembentukan janin yang tidak normal dan cacat lahir yang disebabkan oleh injeksi Pfizer Covid-19.
Masalah kesuburan:
Sumber jurnal: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0890623821000800?via%3Dihub
Penjelasan: Tingkat Pre-implementation loss (kehilangan pra-implantasi) pada kelompok tikus yang divaksinasi adalah dua kali lipat dari kelompok kontrol/plasebo (4.09 vs 9.77). Pre-implementation loss mengacu pada sel telur yang dibuahi yang gagal untuk berimplantasi. Oleh karena itu, penelitian ini menunjukkan bahwa injeksi Pfizer Covid-19 mengurangi kemungkinan tikus untuk hamil.
Kita dapat menemukan petunjuk lebih lanjut tentang potensi masalah kesuburan dan kehamilan dalam dokumen biodistribusi dari Pfizer dan Moderna yang diperoleh melalui permohonan/gugatan keterbukaan informasi. Berlawanan dengan narasi bahwa vaksin tetap berada di otot lengan, pada kenyataannya vaksin itu terakumulasi di banyak organ. Kita bisa melihat konsentrasi tinggi tertentu di organ reproduksi, ovarium dan testis. Hal ini seharusnya tidak terjadi, konsekuensinya tidak pernah diuji atau diselidiki oleh produsen vaksin atau BPOM/Kemenkes dan fakta ini dirahasiakan kepada penerima vaksin. Nanopartikel lipid dari vaksin mRNA mengandung bahan kimia beracun yang tidak diketahui efeknya pada organ reproduksi dan tidak diketahui berapa lama mereka tinggal di organ tersebut. Selanjutnya adanya komponen vaksin ini pada organ reproduksi berarti sel-sel organ tersebut akan menghasilkan protein spike yang belum diketahui akibatnya, dan sistem imun akan menyerang dan menghancurkan sel-sel tersebut karena telah menjadi benda asing di dalam tubuh (sesuai cara kerja vaksin mRNA, tapi ini seharusnya hanya terjadi dalam otot lengan). Ini semua adalah hal yang sangat mengkhawatirkan yang seharusnya diselidiki dan diklarifikasi sebelum vaksinasi massal, tetapi itu tidak pernah dilakukan.
Dokumen Biodistribusi Pfizer https://investigasi.org/wp-content/uploads/2021/10/pfizerbiodistribusi.png
Dokumen Biodistribusi AstraZeneca https://investigasi.org/wp-content/uploads/2021/10/azbiodistribusi.png
Kemenkes & BPOM memiliki informasi/data yang sama.
Dalam dokumen internal antara pemerintah Australia dan Pfizer (https://www.tga.gov.au/sites/default/files/foi-2389-01.pdf), yang diperoleh melalui permohonan/gugatan keterbukaan informasi, kami dapat melihat bahwa panduan awal Pfizer yang menunjukkan masalah kehamilan dan kesuburan diubah untuk menyembunyikan masalah ini:
Dulu:
Dokumen yang dipublikasi untuk umum, setelah di ubah tampaknya atas permohonan oleh pemerintah Australia:
Dalam dokumen final yang dirilis sebagai panduan resmi untuk penggunaan vaksin Pfizer (https://www.tga.gov.au/sites/default/files/auspar-bnt162b2-mrna-210125-pi.pdf) kita dapat temukan poin penting berikut “Pemberian COMIRNATY pada kehamilan hanya boleh dipertimbangkan jika potensi manfaatnya lebih besar daripada potensi resikonya bagi ibu dan janin.” (Administration of COMIRNATY in pregnancy should only be considered when the potential benefits outweigh any potential risks for the mother and fetus.)
Pernyataan mirip juga dapat kita temukan dalam dokumen resmi BPOM, juga untuk vaksin lainnya, misalnya Moderna (https://pionas.pom.go.id/obat-baru/moderna-covid-19-vaccine-suspensi-injeksi-100-mcg halaman 4):Berdasarkan panduan tersebut, analisis risiko-manfaat seharusnya dilakukan, sebagaimana juga disyaratkan oleh peraturan EUA dari BPOM, tetapi seperti yang ditemukan oleh para penggugat dan seorang dokter berdasarkan permohonan UU KIP kepada BPOM, tidak ada analisis risiko-manfaat seperti itu. Tanpa analisis risiko-manfaat dan data seperti itu dari BPOM, mustahil bagi dokter mana pun untuk menentukan apakah dan kapankah vaksinasi Covid19 tepat dan aman untuk pasien hamil.
Lebih parah lagi, surat edaran dari Kemenkes (Link Surat Edaran) yang menjadi dasar pelaksanaan vaksinasi ibu hamil di lapangan tidak menyebutkan apa-apa tentang penilaian risiko-manfaat.
Produsen vaksin dengan jelas menyatakan bahwa analisis risiko manfaat diperlukan tetapi belum dilakukan oleh BPOM dan diabaikan dalam vaksinasi massal oleh Kemenkes. Ini adalah penyalahgunaan vaksin, tidak sesuai dengan spesifikasi produsen, membahayakan ibu hamil dan janinnya dan merupakan malpraktek medis. Ini adalah tindak pidana sesuai KUHP Pasal 90, Pasal 359, Pasal 360 ayat (1) dan (2) serta Pasal 361.
Kesimpulan:
Vaksin Covid19 dinyatakan aman untuk ibu hamil dan kesuburan oleh Kemenkes tanpa mereka pernah melakukan uji apapun, tanpa adanya uji dan data apapun terhadap manusia dan ada indikasi dari uji pada tikus dan biodistribusi bahwa ada masalah, atau setidaknya potensi masalah keamanan. Pedoman resmi oleh produsen vaksin dan BPOM tentang risiko-manfaat bahkan diabaikan oleh Kemenkes. Informasi tentang risiko dan ketidaktersediaan data keamanan (informed consent) juga tidak diberikan kepada ibu hamil sebelum vaksinasi yang merupakan tindak pidana tambahan.
Catatan tentang pengujian pada hewan:
Seperti yang telah kami tunjukkan di atas, dalam kasus vaksin Pfizer beberapa masalah telah diidentifikasi pada tikus percobaan hamil. Namun mitos bahwa pengujian pada hewan dapat memberikan indikasi tentang hasil pada manusia, terutama dari hewan kecil primitif seperti tikus yang sangat berbeda dalam banyak aspek dari manusia.
Contoh yang baik adalah obat Thalidomide “skandal medis terbesar dalam sejarah” sekitar tahun 1960 yang (sama dengan vaksin Covid19) tidak pernah diuji tentang perkembangan janin sebelum diberikan kepada ibu hamil sebagai obat mual di pagi hari. Obat tersebut telah menyebabkan deformasi yang mengerikan pada lebih dari 10.000 bayi yang lahir dengan lengan dan kaki yang cacat.
Wikipedia: https://en.wikipedia.org/wiki/Thalidomide_scandal
Mengenai pengujian hewan, berikut adalah hasil untuk Thalidomide: “Temuan yang tidak terduga adalah bahwa tikus itu resisten, kelinci dan hamster responsif bervariasi, dan jenis primata tertentu sensitif terhadap toksisitas perkembangan (kehamilan).” Dengan kata sederhana, tidak terjadi cacat lahir pada tikus, tetapi cacat lahir yang mengerikan pada manusia.
Studi berikut memberikan rincian tentang kasus Thalidomide dan analisis dan penjelasan yang sangat rinci mengapa hasil dari pengujian hewan sama sekali tidak cocok untuk memprediksi hasil pada manusia.
Studi: “Are animal models predictive for humans?” https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2642860/
Oleh karena itu, sangat tidak bertanggung jawab untuk meluncurkan vaksinasi massal pada wanita hamil yang hanya berdasarkan pengujian pada hewan, terutama setelah indikasi masalah keamanan yang ditemukan bahkan dengan hewan kecil seperti tikus.
Dalam konteks yang sama, sebuah studi baru peer reviewed menunjukkan bahwa vaksinasi Covid19 meningkatkan infertilitas pada pria.
Penelitian di Israel ini menunjukkan penurunan yang signifikan dari motilitas sperma (~20%) di antara pria muda beberapa bulan (!!!) setelah penerimaan vaksin Pfizer.
Meskipun para ahli menyatakan bahwa “prognosis jangka panjang tetap baik”, “pemulihan” yang diklaim tidak secara jelas dihasilkan dari data yang tersedia.
Yang terpenting, seperti halnya kesuburan dan kehamilan pada wanita, hal ini belum pernah diuji oleh Badan Pengawas dan Produsen Vaksin (BPOM) dalam uji klinis atau setelah vaksinasi massal dimulai.
Studi: “Covid-19 vaccination BNT162b2 temporarily impairs semen concentration and total motile count among semen donors“ https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/andr.13209
Artikel ini berfokus pada kebohongan dan penipuan dimana pemerintah mengetahui dari data uji klinis bahwa vaksinasi Covid19 tidak aman untuk ibu hamil. Artikel tidak menyertakan data tentang efek yang terjadi pada ibu hamil dalam vaksinasi massal, yang banyak terjadi, seperti aborsi spontan, bayi cacat, lahir mati, gangguan menstruasi, kehilangan kesuburan, dll. Pembaca yang ingin mengetahui data detail ini dapat mencari di database VAERS, misalnya di AS (https://openvaers.com), dengan kata kunci seperti “pregnant”, “pregnancy”, “fetus”, “menstruation”, “abortion”, “stillbirth”, dll.
Jangan tertipu, jauhi vaksin Covid19 eksperimental yang tidak efektif dan berbahaya. Sama sekali tidak perlu, Covid19 tidak berbahaya (angka kematian resmi di Indonesia adalah 0,127%) dan vaksinnya ada lebih banyak resiko dari manfaat.