Mahkamah Konstitusi Menyoroti Banyak Kelemahan Terkait Pemilihan
Putusan baru-baru ini oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sengketa Pilpres (PHPU), yang ditetapkan sebagai Putusan 1/PHPU.PRES-XXII/2024, telah mengungkap sejumlah kelemahan dan ketidaksesuaian dalam hukum dan pelaksanaan pemilihan (umum) di Indonesia. Meskipun dua permohonan dalam sengketa tersebut ditolak (Paslon 01 dan 03), MK telah memberikan sejumlah rekomendasi dan perintah yang menuntut perubahan dan perbaikan mendesak. Disini kami sampaikan analisis terkait isi putusan 1/PHPU.PRES-XXII/2024 (Paslon 01), namun perlu diketahui bahwa isi putusan 2/PHPU.PRES-XXII/2024 (Paslon 03) memiliki kesamaan isi terkait perintah maupun rekomendasi.
Tautan putusan 1/PHPU.PRES-XXII/2024 (Paslon 01) lengkap: https://drive.google.com/file/d/1X72tXttb1EyF5PX-Ax10mhli5r0yz0lS/view?usp=drive_link
Tautan putusan 2/PHPU.PRES-XXII/2024 (Paslon 03) lengkap: https://drive.google.com/file/d/1OUA6V7bvH6gCk6gPVJfUFJOuihACJucs/view?usp=sharing
Dalam putusannya, MK menggarisbawahi pentingnya optimalisasi kewenangan lembaga terkait pemilu, seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan lembaga penegak hukum seperti Gakkumdu, untuk memastikan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas. Selain itu, MK menekankan bahwa lembaga politik seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga harus aktif dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya, termasuk dalam pengawasan proses pemilu.
Tidak hanya itu, MK juga mencatat bahwa penanganan pelanggaran oleh Bawaslu terkadang terkesan formalistik, dan menegaskan perlunya perubahan mendasar dalam pengaturan pengawasan pemilu. Hal ini termasuk perluasan substansi laporan atau temuan Bawaslu untuk membuktikan pelanggaran pemilu, serta standar operasional yang lebih jelas dan tegas.
Penggunaan bantuan sosial (Bansos) dalam konteks pemilu juga menjadi sorotan dalam putusan MK. MK menekankan perlunya pengaturan yang lebih tegas mengenai penggunaan Bansos untuk mencegah pelanggaran pemilu dan menjaga netralitas proses pemilihan.
Keterlibatan presiden dalam pemilu juga menjadi perhatian MK, yang menyoroti perlunya pengaturan yang lebih detail untuk menghindari kontroversi dan memastikan netralitas proses pemilihan. MK juga menegaskan bahwa netralitas aparat negara, termasuk aparatur sipil negara (ASN), adalah aspek penting untuk menjaga kesehatan demokrasi.
MK juga menyoroti kelemahan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilihan umum, termasuk ketidakjelasan mengenai kegiatan kampanye sebelum dan setelah masa kampanye. MK meminta Pemerintah dan DPR untuk melakukan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan peraturan terkait untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam pemilihan umum mendatang.
Menanggapi penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi Suara Pemilu (Sirekap), MK menekankan perlunya pengembangan teknologi dan audit yang lebih teliti sebelum penggunaannya. MK juga merekomendasikan pengelolaan Sirekap oleh lembaga yang bukan penyelenggara pemilu untuk menjaga objektivitas dan validitas data.
Putusan MK ini menegaskan bahwa perubahan dan perbaikan Undang-Undang, peraturan-peraturan dan SOP (Standard Operating Procedures) yang direkomendasikan harus dilaksanakan oleh lembaga-lembaga terkait, termasuk DPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, dan pemerintah, sebelum pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada bulan November mendatang. Hal ini penting untuk mencegah terulangnya masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam proses pemilihan umum di masa mendatang.
Artikel ini mencatat bahwa MK telah memberikan perintah dan rekomendasi yang mendesak untuk memperbaiki sistem pemilihan umum di Indonesia demi menjaga integritas, transparansi, dan keadilan dalam proses demokrasi negara ini.
Ringkasan dari Rekomendasi dan Perintah Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan 1 & 2/PHPU.PRES-XXII/2024:
- Optimalisasi Kewenangan Lembaga Terkait Pemilu: Bawaslu dan Gakkumdu harus menjalankan kewenangannya secara optimal untuk memastikan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas. DPR juga harus aktif dalam fungsi konstitusionalnya, termasuk pengawasan dan penggunaan hak-hak konstitusionalnya untuk memastikan tahapan pemilu sesuai dengan hukum.
- Perubahan Mendasar dalam Pengawasan Pemilu: Mahkamah menegaskan perlunya perubahan mendasar dalam pengaturan pengawasan pemilu, termasuk prosedur penindakan pelanggaran pemilu oleh Bawaslu, agar pengawasan lebih efektif dan memberi manfaat yang lebih besar dalam mewujudkan pemilu yang jujur dan berintegritas.
- Pengaturan yang Jelas Mengenai Penggunaan Bantuan Sosial (Bansos): Mahkamah menekankan perlunya pengaturan yang jelas mengenai penggunaan Bansos dalam konteks pemilu untuk mencegah pelanggaran pemilu dan menjaga netralitas dalam proses pemilihan.
- Keterlibatan Presiden dalam Pemilu: Mahkamah menyoroti perlunya pengaturan yang lebih detail mengenai keterlibatan presiden dalam pemilu untuk menghindari kontroversi dan memastikan netralitas dan integritas proses pemilihan.
- Netralitas Aparat Negara dalam Pemilu: Netralitas aparat negara, termasuk ASN, dalam pemilu merupakan aspek penting untuk menjaga kesehatan demokrasi dan stabilitas politik. Perlunya pembentukan sistem yang kuat untuk mencegah ketidaknetralan aparat negara dalam penyelenggaraan pemilu.
- Evaluasi dan Perbaikan Sistem Kerja Bawaslu: Mahkamah menekankan perlunya evaluasi dan perbaikan terhadap sistem kerja Bawaslu dalam menangani laporan dugaan pelanggaran pemilihan umum untuk memastikan penanganan yang lebih efektif dan adil terhadap pelaporan yang diajukan.
- Pengembangan dan Audit Sirekap: Sirekap sebagai alat bantu untuk transparansi dan mengawal suara pemilih harus terus dikembangkan teknologinya dan diaudit oleh lembaga yang berkompeten dan mandiri sebelum digunakan. Pengelolaan Sirekap juga perlu dipertimbangkan dilakukan oleh lembaga yang bukan penyelenggara pemilu untuk menjaga objektivitas dan validitas data.
Kutipan-Kutipan lengkap Putusan 1/PHPU.PRES-XXII/2024 terkait penjelasan di atas:
Halaman 1578
Dalam hal ini, lembaga yang telah diberi kewenangan untuk menyelesaikan pemilu, seperti Bawaslu dan Gakkumdu, harus melaksanakan kewenangannya secara optimal demi menghasilkan pemilu yang jujur dan adil serta berintegritas. Selain itu, lembaga politik seperti DPR tidak boleh lepas tangan, sehingga sejak awal harus pula menjalankan fungsi konstitusionalnya, seperti fungsi pengawasan dan menggunakan hak-hak konstitusional yang melekat pada jabatannya seperti hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat guna memastikan seluruh tahapan pemilu dapat terlaksana sesuai dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Penegasan demikian diperlukan karena Mahkamah hanya memiliki waktu yang terbatas, in casu 14 (empat belas) hari kerja, untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Halaman 1596
Namun demikian, penanganan pelanggaran yang dilakukan Bawaslu tersebut sebagiannya terkesan formalistik. Oleh karena itu, Mahkamah perlu menegaskan dalam rangka perbaikan ke depan agar pengawasan Bawaslu memberi manfaat lebih untuk mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas, maka perlu dilakukan perubahan mendasar pengaturan tentang pengawasan pemilu, termasuk tata cara penindakannya jika terjadi pelanggaran pada setiap tahapan pemilu. Sehingga, Bawaslu harus masuk ke dalam substansi laporan atau temuan untuk membuktikan ada-tidaknya secara substansial telah terjadi pelanggaran pemilu, termasuk dalam hal ini pemilihan kepala daerah. Artinya, bilamana perubahan dimaksud tidak dilakukan, hal demikian akan mengancam terwujudnya pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas. Dengan adanya ancaman seperti itu, dapat menyebabkan Bawaslu kehilangan eksistensinya sebagai lembaga pengawas pemilu untuk mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas.
Halaman 1618-1619
Selain itu, Pemohon tidak dapat menunjukkan dan tidak dapat pula membuktikan keterkaitan pembagian Bansos yang dimaksud Pemohon terhadap keterpilihan dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024. Terlebih, jika yang dimaksudkan Pemohon adalah adanya pelanggaran penyalahgunaan anggaran negara untuk kepentingan elektoral, maka hal tersebut jika benar sesungguhnya menjadi kewenangan Bawaslu ataupun juga DPR termasuk dalam hal ini lembaga penegak hukum yang diberi kewenangan konstitusional yang melekat sepanjang masa jabatannya terkait hak untuk meminta pendapat, hak interpelasi, bahkan hak angket sebagai bagian tugas pengawasan terhadap tindakan pemerintah yang diduga melanggar ketentuan perundang-undangan, demikian halnya untuk Bawaslu dan unsur penegak hukum juga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain pertimbangan hukum di atas, sebagaimana juga dipertimbangkan terkait dengan Bansos a quo, Mahkamah juga berpendirian berkenaan dengan regulasi pengaturan penggunaan Bansos terkait dengan pemilu belum diatur secara tegas dan detail, oleh karena itu Mahkamah menegaskan seyogianya hal-hal a quo diatur dalam undang-undang terkait, sehingga pada pelaksanaan pemilu yang akan datang termasuk pemilukada sudah dapat diidentifikasi hal demikian merupakan bagian dari pelanggaran pemilu, baik secara administratif dan/atau pidana.
Halaman 1630
Pada prinsipnya, Presiden sebagai diri perseorangan warga negara Indonesia boleh berpihak pada salah satu pasangan calon, namun karena Presiden sebagai pribadi warga negara Indonesia maupun dalam kapasitas jabatan presiden sulit dipisahkan sehingga sikap dan tindakan Presiden dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dapat dipersepsikan oleh masyarakat seakan-akan berpihak pada pasangan calon tertentu. Oleh karena itu, ke depan, untuk menghindari kontroversi di masyarakat, perlu diatur dalam undang-undang secara lebih detail, tegas, dan komprehensif perihal keterlibatan presiden yang sedang menjabat dalam pemilu presiden dan wakil presiden. Terlebih, berkenaan dengan Bansos atau program sejenis dengan nama yang berbeda, dalam perselisihan hasil pemilihan umum sebelumnya seperti Pemilu tahun 2009 dan tahun 2019 yang pada saat itu juga merupakan isu yang selalu dimunculkan atau didalilkan sebagai alasan adanya kecurangan dalam pemilu. Oleh karena itu, dalam rangka menjaga netralitas dan suasana kondusif dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden, siapapun yang sedang menjabat sebagai presiden seyogyanya menjadi pemimpin yang memberikan suri teladan dalam mewujudkan penyelenggaraan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang menjadi asas pemilihan umum. Demikian pula dalam kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, siapapun yang sedang menjabat sebagai presiden, menteri, kepala daerah, dan penyelenggara negara lainnya tidak boleh menggunakan posisi/kedudukannya untuk kepentingan mendukung pasangan calon baik dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden maupun pemilukada.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa penggunaan Perlinsos, termasuk Bansos, dalam kontestasi pemilihan umum masih memerlukan pengaturan yang jelas agar kedepannya tidak terjadi kekuranglengkapan pengaturan hukum dalam penyelesaiannya khususnya ketika ada peserta pemilu yang merasa diperlakukan tidak adil oleh penyalahgunaan dana Perlinsos. Demi menjamin penyelenggaraan pemilihan yang sesuai dengan asas pemilihan umum serta menjaga kualitas demokrasi, ke depannya, pembentuk undang-undang bersama penyelenggara pemilihan seharusnya dapat merumuskan pengaturan mengenai pemanfaatan bantuan termasuk Bansos yang bersumber dari APBN dan APBD untuk pemenangan pemilihan, sebagai suatu bentuk pelanggaran pemilu baik secara administratif dan/atau pidana pemilu. Terlebih, untuk menjaga suasana pemilihan umum yang fair dan sehat, maka menurut Mahkamah perlu adanya pengaturan mengenai kapan batas waktu dibolehkannya penyaluran bantuan Perlinsos oleh negara ke masyarakat ketika menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Pembatasan waktu tersebut tentu tetap harus memperhatikan kepentingan masyarakat yang membutuhkan bantuan dengan mekanisme sedemikian rupa sehingga tidak menghalangi masyarakat untuk menerima bantuan. Selain itu, pembatasan waktu demikian harus pula dikecualikan ketika terjadi keadaan force majeure yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, seperti bencana alam dan wabah penyakit sehingga memerlukan bantuan negara secara cepat. Pengaturan mengenai batas waktu tersebut dimaksudkan agar tujuan dari adanya Perlinsos terhindar dari anasir yang mengarah pada kecurangan ataupun pelanggaran pemilu.
Halaman 1651 – 1652
Mahkamah memandang bahwa netralitas aparat adalah aspek penting dari prinsip demokrasi yang melindungi kebebasan politik dan partisipasi masyarakat dalam proses politik. Tanpa netralitas, demokrasi dapat terancam oleh otoritarianisme. Dalam konteks demikian, maka netralitas aparat dalam pemilu tidak hanya merupakan prinsip etis yang mendasar, tetapi juga krusial untuk menjaga kesehatan demokrasi dan stabilitas politik suatu negara. Oleh karena itu, dalam rangka penataan ke depan, kesadaran dan pemahaman tentang penataan demokrasi, in casu penyelenggaraan pemilu perlu senantiasa mempertimbangkan tidak hanya aspek regulasi tapi juga aspek etik para pemegang jabatan publik. Dengan demikian, diharapkan dapat membentuk sistem yang kuat untuk mengantisipasi ketidaknetralan aparatur negara dalam penyelenggaraan pemilu sekaligus memastikan proses pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
[3.20] Menimbang bahwa selain pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah juga melihat adanya beberapa kelemahan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan pemilihan umum in casu UU Pemilu, sehingga pada akhirnya menimbulkan kebuntuan bagi penyelenggara pemilu khususnya bagi Bawaslu dalam upaya penindakan terhadap pelanggaran pemilu. Bahwa UU Pemilu belum memberikan pengaturan terkait dengan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kampanye yang dilakukan sebelum dan setelah masa kampanye dimulai, padahal Pasal 283 ayat (1) UU Pemilu telah menyebutkan larangan bagi pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta ASN untuk mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Namun, pasal-pasal berikutnya dalam UU Pemilu tersebut tidak memberikan pengaturan tentang kegiatan kampanye sebelum maupun setelah masa kampanye. Ketiadaan pengaturan tersebut memberikan celah bagi pelanggaran pemilu yang lepas dari jeratan hukum ataupun sanksi administrasi. Dengan demikian, demi memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaksanaan pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah selanjutnya, menurut Mahkamah, ke depan Pemerintah dan DPR penting melakukan penyempurnaan terhadap UU Pemilu, UU Pemilukada maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan kampanye, baik berkaitan dengan pelanggaran administratif dan jika perlu pelanggaran pidana pemilu.
Demikian halnya, jika ada pengaturan yang saling berkelindan sehingga menimbulkan ambiguitas, hal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan yang perlu dilakukan penyempurnaan oleh pembentuk undang-undang.
Bahwa dalam upaya menjaga netralitas aparat negara, khususnya bagi pejabat negara yang juga merangkap sebagai anggota partai politik, calon presiden dan wakil presiden, anggota tim kampanye maupun pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU sebagaimana diatur dalam Pasal 299 UU Pemilu, Pemerintah perlu membuat pengaturan yang jelas sehingga dapat memisahkan waktu pelaksanaan antara melakukan tugas sebagai penyelenggara negara dengan melakukan kampanye. Kedua kegiatan tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan maupun berhimpitan, karena berpotensi adanya terjadi pelanggaran pemilu dengan menggunakan fasilitas negara dalam kegiatan kampanye maupun menggunakan atribut kampanye dalam tugas penyelenggaraan negara menjadi terbuka lebar.
Bahwa dalam menarik kesimpulan terkait dengan dugaan pelanggaran pemilu terhadap suatu peristiwa, Bawaslu perlu menyusun standar operasional dan prosedur, tata urut, maupun pisau analisis yang baku dan memperhatikan berbagai aspek yang menjadi unsur adanya suatu pelanggaran pemilu baik yang dilakukan sebelum, selama, dan setelah masa kampanye. Hal tersebut agar diperoleh hasil kesimpulan yang memiliki pijakan yang kuat dan komprehensif atas suatu peristiwa yang diduga terdapat pelanggaran pemilu meskipun hasil kesimpulan tersebut dilakukan oleh anggota Bawaslu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, terhadap dalil a quo pun Mahkamah tidak dapat menindaklanjuti dengan tanpa bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon dalam persidangan.
Halaman 1676 – 1677
Bahwa terhadap dalil-dalil permohonan Pemohon mengenai adanya dugaan pelanggaran pemilihan umum, meskipun ketentuan UU Pemilu telah mengatur mengenai penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilu oleh Bawaslu [vide Pasal 454 dan Pasal 455 UU Pemilu], Mahkamah menilai ke depan perlu adanya evaluasi dan perbaikan terhadap sistem kerja Bawaslu dalam menangani laporan dugaan pelanggaran yang diajukan pelapor. Bawaslu perlu menetapkan standar yang jelas dan tegas mengenai penerapan syarat formil dan materiil dalam penilaian suatu laporan khususnya dalam kajian awal yang dilakukan Bawaslu. Meskipun Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum terkait Syarat Formal dan Materiil dalam Kajian Awal disebutkan bahwa syarat formal meliputi: nama dan alamat pelapor; pihak Terlapor; dan waktu penyampaian pelaporan tidak melebihi jangka waktu yaitu paling lama 7 (tujuh) hari.
Sementara itu, syarat materiil meliputi: waktu dan tempat kejadian dugaan pelanggaran pemilu, uraian kejadian dugaan pelanggaran Pemilu; dan bukti. Namun, sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon, terdapat banyak laporan yang tidak ditindaklanjuti dengan alasan baik tidak memenuhi syarat formil dan materiil ataupun salah satu syarat tersebut. Hal ini penting untuk ditegaskan agar ke depannya tidak ada lagi laporan kepada Bawaslu yang ditindaklanjuti namun tidak tuntas atau belum diberi penjelasan.
Halaman 1686
Bahwa sehubungan dengan hal tersebut, terkait dengan penggunaan Sirekap, menurut Mahkamah dalam rangka perbaikan ke depan, Sirekap sebagai alat bantu untuk kepentingan transparansi dan mengawal suara pemilih untuk diketahui lebih awal, teknologinya harus terus dikembangkan sehingga tidak ada keraguan dengan data yang ditampilkan oleh Sirekap. Untuk itu, sebelum Sirekap digunakan perlu dilakukan audit oleh lembaga yang berkompeten dan mandiri. Di samping itu untuk menjaga objektifitas dan validitas data yang diunggah, menurut Mahkamah perlu dibuka kemungkinan pengelolaan Sirekap dilakukan oleh lembaga yang bukan penyelenggara pemilu.